Perang yang Dimulai dalam Diam

1159 Kata
Pagi itu, langit Jakarta tampak biasa saja. Cerah, macet, dan penuh hiruk pikuk. Tapi di lantai 19 sebuah apartemen di SCBD, Alika tidak bisa merasakan apapun kecuali gelisah. Ia berdiri di depan meja makan. Di hadapannya tergeletak sebuah kotak kecil berwarna hitam pekat. Tak ada nama pengirim. Hanya tulisan tangan halus di atas amplop: "Untuk Alika Valendria." Tangannya gemetar saat membuka kotak itu. Di dalamnya, sehelai gaun malam merah yang pernah ia kenakan saat ulang tahun Rayven—saat ia dipaksa "melayani" suaminya di depan para kolega mafia dengan senyum pura-pura. Di bawah gaun, ada foto polaroid yang sudah agak pudar. Itu foto dirinya. Mengenakan gaun yang sama. Tapi di foto itu, lehernya dipenuhi bekas merah. Matanya kosong. Bibirnya tampak dipaksa tersenyum. Alika menjatuhkan kotak itu, tubuhnya terdorong mundur hingga bersandar di dinding dapur. Napasnya terputus-putus. Kepalanya berdenyut. Pikirannya melompat kembali ke malam itu. *** [Kenangan – Satu Tahun Lalu] Rayven mencengkeram rambutnya dari belakang, tubuh besar pria itu menindihnya di atas ranjang marmer hotel mewah. Alika meronta, tapi suaminya hanya tertawa pelan. "Aku suka kalau kamu menangis," bisiknya kasar. "Itu bukti kamu hidup." Alika memejamkan mata. Tangisnya tidak bersuara. Tubuhnya sakit. Tapi lebih sakit lagi adalah saat Rayven mencium lehernya dan berkata, “Kalau kamu kabur, aku akan bikin kamu lebih rusak dari malam ini.” *** “Cukup!” Alika berteriak, lalu menghempaskan kotak itu ke tempat sampah. Tapi tangannya masih gemetar. Tubuhnya terasa dingin. Ia terduduk di lantai, membungkus tubuhnya dengan selimut, menahan isak yang mengoyak dadanya. Ia berpikir untuk menelepon Nathaniel. Tapi... bukankah pria itu sudah bilang mereka harus jaga jarak? *** Nathaniel berdiri di depan ruang rapat. Di tangannya, ia memegang laporan pembatalan klien asing—perusahaan Jepang yang awalnya akan menandatangani kerja sama litigasi, tapi tiba-tiba mundur dengan alasan “isu reputasi.” Ia tahu ini bukan kebetulan. Rayven sedang bermain dengan jaringan bisnisnya. Tok. Tok. Seorang staf masuk. “Pak, ada Miss Aurelia di ruang tunggu. Mau saya arahkan ke sini?” Nathaniel mendesah. “Biarkan dia masuk.” Aurelia muncul dalam balutan blazer hitam dan rok pensil. Kali ini ekspresinya bukan hanya dingin—tapi tajam. “Kamu tetap urus kasus Alika?” tanyanya tanpa basa-basi. Nathaniel tak menjawab. Aurelia mendekat. “Nathan. Aku bukan musuhmu. Tapi kamu membuatku menjadi satu. Kau sadar itu?” “Kalau kamu ingin menyelamatkan reputasi firma, cari cara lain. Aku nggak akan lepaskan dia,” ucap Nathaniel pelan. Aurelia menatapnya lama, lalu berkata datar, “Jangan bilang aku belum memperingatkan.” *** Hari itu, Alika akhirnya memutuskan untuk pergi keluar. Ia butuh udara. Butuh alasan untuk merasa manusia lagi. Dengan mengenakan hoodie dan topi, ia memberanikan diri naik ojek online ke kampus. Sampai di gerbang Fakultas Hukum, ia merasa asing. Beberapa teman menatapnya heran, bahkan ada yang membisikkan sesuatu sambil menahan tawa. Tentu saja. Gosip sudah menyebar. Alika menikah dengan pria tua dan menjadi istri simpanan. Disembunyikan sugar dady-nya. Cerita yang layak sinetron, menyebar begitu saja ketika Alika tiba-tiba tidak masuk kuliah lagi dan temannya tahu kalau Alika menikah. “Hei, Lika?” suara lembut memanggilnya. Ia menoleh. Seorang pria muda berkacamata—Ryan, teman sekelasnya. “Kamu balik kuliah? Aku kira kamu... kamu kan katanya—” “Aku masih mahasiswa,” potong Alika cepat. “Aku mau lulus.” Ryan tersenyum kikuk. “Kamu butuh bantuan... soal kasusmu? Aku ada akses ke perpustakaan hukum keluarga, mungkin bisa bantu cari celah tentang seorang sugar baby yang menjadi simpanan om-om?” Alika menatapnya terkejut. “Kamu nggak takut... terlibat dengan aku?” Ryan tertawa kecil. “Aku nggak sepopuler itu sampai dicari mafia, contohnya. Hahaha, seperti kamu orang penting saja?” Alika tercekat. Teman-temannya memang tidak tahu Alika ini seorang istri mafia seram yang sedang diburu. Bila temannya menyentuhnya pun, Rayven tidak akan sungkan untuk membunuh teman berengseknya ini. *** Sore itu, Alika baru saja keluar dari ruang konseling dosen saat seseorang memanggil namanya. “Lika.” Ia menoleh. Nathaniel berdiri di bawah pohon beringin besar, mengenakan kemeja putih dan celana gelap. Sorot matanya menenangkan. “Kamu... ngapain di sini?” gumam Alika. “Aku tahu kamu ke kampus. Aku khawatir.” “Aurel pasti marah.” Nathaniel menghela napas. “Dia selalu marah belakangan ini.” Alika menunduk. “Kita nggak boleh dekat, kan? Aku cuma klien.” Nathaniel mendekat. “Aku di sini bukan sebagai pengacara.” Alika menatapnya. “Lalu... sebagai apa?” Hening beberapa detik. Angin sore mengibaskan rambut Alika, dan saat Nathaniel menyentuh pipinya yang dingin, ia menjawab: “Sebagai seseorang yang nggak tahan membiarkan kamu sendirian dalam perang ini.” Alika tidak tahu harus bicara apa. Tapi tubuhnya bergerak lebih dulu. Ia memeluk Nathaniel. Lama. Dalam. Nathaniel tak menolak. Di bawah bayang pohon, pelukan itu menghapus batas. *** Mereka duduk berdua di mobil, parkir di pinggir jalan. “Terima kasih sudah datang ke kampus,” kata Alika lirih. Nathaniel menoleh. “Apa kamu dapat ancaman lagi?” Alika ragu. Tapi akhirnya mengangguk. “Paket. Gaun merah. Foto lama.” Nathaniel mengepalkan tangan di atas kemudi. “Rayven mulai main psikologis.” “Dia selalu begitu. Bahkan waktu kami masih serumah. Dia suka... kasar. Bahkan saat di ranjang.” Alika menatap jendela. “Aku ingat dia paksa aku... sambil tertawa. Seolah tubuhku cuma barang.” Nathaniel tak sanggup bicara. Tapi tangannya meraih tangan Alika. “Setiap malam setelah itu, aku mandi dua jam. Sampai kulitku merah. Tapi rasanya masih kotor,” lanjut Alika, suaranya nyaris tak terdengar. Nathaniel mendekatkan wajahnya. “Kamu bukan kotor. Kamu korban. Dan aku... aku janji kamu nggak akan disentuh seperti itu lagi.” Alika menoleh. Mata mereka bertemu. Dengan lembut, Nathaniel menyentuh pipinya. “Kalau kamu izinkan... aku akan tunjukkan kalau sentuhan itu bisa sembuhkan. Bukan menyakiti.” Alika tak menjawab. Tapi tubuhnya bergerak lebih dulu. Ciuman itu datang perlahan. Tidak terburu-buru. Tidak penuh nafsu. Tapi penuh luka yang ingin disembuhkan. Tangan Nathaniel menyentuh wajahnya, lalu turun ke bahunya—lembut, penuh izin. Ciuman itu berbeda. Tidak seperti malam bersama Rayven yang selalu dingin dan mendominasi. Ini hangat. Pelan. Seperti bisikan yang berkata: “Kamu aman.” Namun, sebelum ciuman itu larut terlalu dalam, Alika menarik diri. “Kamu... kamu tunangan orang.” Nathaniel menghela napas, menunduk. “Aku tahu.” Alika menggigit bibir. “Lalu kenapa kamu buat aku berharap?” Nathaniel tak bisa jawab. Tapi ia tahu: ia telah menyeberang batas, dan sekarang tak ada jalan mundur. *** Malam harinya, saat Alika kembali ke apartemen... Sebuah batu menghantam jendela dapur. Ia terkejut, menjerit. Kaca tidak pecah, tapi retak besar membentuk pola bintang. Di bawah balkon, ada sesuatu. Cat merah disiram di dinding. Di tengah-tengahnya: “Istriku tetap milikku.” Alika mundur dengan napas tersengal. Ia mencoba membuka pintu... tapi tombol digital di pintu apartemen tak merespons. Layar hanya menampilkan tulisan: “Akses diblokir.” Alika mencoba menelepon Nathaniel. Tapi sinyal hilang. Ia terkunci. Terjebak. Dan ia tahu... Rayven sudah datang lebih dekat dari yang ia bayangkan. --- Follow me on IG: @segalakenangann
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN