Aurelia duduk di tepi ranjang dengan napas bergetar. Malam sudah jauh lewat tengah, tirai kamar apartemen Nathaniel menutup rapat, hanya cahaya lampu tidur temaram yang menyinari wajah pria yang terbaring tenang di bawah selimut. Tapi ketenangan itu tidak mampu menenangkan hatinya—karena di sela napasnya yang berat, bibir Nathaniel baru saja menyebut nama itu. Alika. Kata yang baginya seperti belati. Kata yang seharusnya sudah mati bersama ingatan Nathaniel. Kata yang seharusnya terkubur, hilang, tak kembali lagi. Aurelia meremas jemarinya, matanya berkaca-kaca, namun bukan hanya karena sedih—ada amarah, ada panik, ada rasa ingin menjerit. Sudah ia lakukan segalanya. Ia berkorban, ia berjaga siang malam, ia bahkan menelan harga dirinya untuk tetap berada di sisi Nathaniel, memastikan pr