Pintu kamar terbuka dengan suara pelan—terlalu tenang untuk seseorang seperti Rayven. Tapi justru ketenangan itulah yang membuat Alika menggigil. Ia masih duduk di tepi ranjang, mengenakan gaun satin merah anggur yang terlalu mahal untuk disebut pakaian, dan terlalu terbuka untuk disebut sopan. Wajahnya dipulas dengan make-up halus yang ia pakai dengan tangan gemetar, mengikuti “perintah” Rayven. Pria itu melangkah masuk dengan senyum lebar di bibirnya, mengenakan tuksedo hitam mengilap. Parfum khasnya menguar seiring langkahnya, dan matanya langsung menyapu tubuh Alika dari ujung kaki hingga helai rambutnya. “Cantik sekali malam ini,” ujarnya, suaranya rendah, nyaris seperti desisan ular yang siap menjerat mangsanya. “Kamu tahu, ini seperti malam pertama kita dulu… Waktu kamu masih belu