55 : Belajar Dari Masa Lalu

2750 Kata
            Raka tidak mau kehilangan Zinde, itu fakta. Sebagai seorang laki-laki dia tidak mau sampai mengulang kesalahan yang sama seperti yang pernah terjadi di masa lalu, dia tidak akan lagi mengabaikan eksistensi Zinde di hidupnya, dia tidak mau lagi menyia-nyiakan gadis sepertinya, karena Raka tau bahwa Zinde telah berkorban untuknya.             Malam ini, setelah acara makan malam yang diadakan oleh orangtuanya sudah selesai dilaksanakan, Raka mengajak Zinde untuk mengobrol di halaman belakang rumahnya. Mereka duduk pada salah satu ayunan yang sudah aja sejak dirinya kecil, ayunan yang menjadi saksi bisu dari pertumbuhan Raka sejak masih kecil hingga sudah dewasa.             Zinde yang sekarang tengah berjalan tepat di belakang Raka hanya bisa melihat tautan tangan mereka dengan perasaan sedih sebab, dia tau bahwa kemungkinan besar Raka mengajaknya mengobrol untuk membahas permasalahan yang bekalangan ini dia coba tutupi dengan rapat. Sebenarnya ada alasan mengapa waktu itu Zinde bercerita pada Lalisa, dia tahu bahwa Raka pasti akan mencari informasi tentangnya dan dengan begitu Zinde menceritakan segala hal kepada Lalisa dengan maksud bahwa agar Raka bisa mengetahui seluruh permasalahan tanpa harus melalui dirinya.             Karena jujur saja sepertinya Zinde tidak sanggup jika harus bercerita secara langsung kepada laki-laki ini, hatinya sudah merasakan sesak lebih dulu bahkan sebelum Raka mulai bicara.             “Duduk sini.” Raka menarik halus pergelangan tangan Zinde untuk mengikutinya duduk diayunan tersebut. Laki-laki itu menerawang jauh seakan mengingat beberapa memori kecil tentangnya yang pernah terjadi di tempat ini sebelum akhirnya dia mulai bercerita. “Sayang, kamu tau nggak kalo dulu bibir aku pernah pecah sampai jontor karena ngehantem besi dari ayunan ini, sumpah waktu itu aku jadi jelek banget. Waktu itu aku lagi berantem sama Aksa terus menghindar dari kejaran dia, aku lagi ke samping ayunan ini tapi sama Aksa ayunannya malah didorong sampai ngehantem muka aku dan ngebuat bibir aku jadi jontor parah banget.”             Zinde mendengarkan dengan saksama sambil tersenyum kecil membayangkannya, tapi dia masih belum bersuara, lebih tepatnya tidak tau harus berkata dan menanggapi seperti apa.             Raka yang menyadari gelagat itu malah lanjut beralih ke cerita selanjutnya, dia tau bahwa saat ini kondisi hati Zinde pasti sedang tak nyaman, walaupun gadis itu terlihat baik-baik saja tapi Raka yakin bahwa kepalanya sekarang sedang dipenuhi oleh berbagai hal beban pikiran.             “Dulu juga aku pernah tuh tiba-tiba kebangun di sini waktu pagi-pagi buta. Kamu ‘kan tau ya aku kadangan suka sleepwalking kalo abis kecapean banget, nah seingetku waktu itu aku habis main dari pagi baru pulang malem ke rumah biasalah main sama anak-anak komplek, main sepeda lah terus bola kaki lah pokoknya banyak. Terus pas malem-malem ternyata aku nggak sadar sleepwalking dan malah jalan ke sini buat pindah tidur. Terus paginya Mama yang ngebangunin aku sambil khawatir gitu takut aku kenapa-kenapa.”             “Ibu bukan sleepwalking kali, tapi kamu dipindahin sama hantu.” Zinde bicara secara tiba-tiba yang membuat Raka langsung kaget luar biasa, namun kekagetan itu dia tutupi dengan sebuah senyum lebar karena senang mendengar akhirnya gadis itu mau bicara padanya.             “Jahat banget masa dipindahin sama hantu, kamu ‘kan tau aku orangnya penakut.”             Zinde terkekeh kecil. “Lagian kamu nakal banget masa main dari pagi sampai malam, emangnya kamu kira enggak bakal ada hantu yang nempel kalo kamu pulang malam-malam? Hantu itu suka banget nempelin anak-anak nakal yang suka pulang malam.”             “Zinde, ih! Kamu mah malah nakutin!”             Tawa kecilnya berubah menjadi tawa yang lebih besar, tawa yang sangat Raka rindukan karena dia lupa kapan terakhir kala dirinya mendengar suara tawa dari gadis itu. Masih dengan sisa tawanya akhirnya Zinde sadar bahwa saat ini Raka sedang memperhatikannya sambil tersenyum manis, memandangnya seakan-akan dirinya adalah gadis paling bahagia di muka bumi ini, menatapnya seolah-olah bahwa dirinya lah yang paling Raka cintai kini sampai nanti.             “Kenapa kamu liatin aku?” tanya Zinde sedikit gugup, Raka ini benar-benar tidak mengalihkan tatapannya sama sekali, dia benar-benar menatap Zinde dengan sedemikian lekat takut-takut Zinde akan menghilang jika dia berkedip sekali saja.             “Nggak apa-apa. Aku bersyukur aja karena masih bisa mandangin kamu kayak gini, bisa liat kamu ketawa karena aku kayak tadi, bisa liat kamu yang bahagia ketika ada di samping aku. Aku jadi kepikiran gimana kalo suatu hari nanti pemandangan kayak gini bisa aku liat setiap hari? Pemandangan di mana kamu bakal selalu jadi yang pertama aku lihat ketika aku tidur dan bangun tidur, selalu ada kamu yang bakal sambut aku ketika aku baru pulang kantor. Kayaknya aku bakalan jadi laki-laki paling bahagia deh kalo bisa dapetin itu semua.”             Raka mengatakan kalimat itu sarat akan sebuah harapan, harapan yang ingin dia lihat beberapa tahun lagi— sesuai dengan apa yang dirinya katakan. Raka memang menginginkan Zinde akan selalu ada di sampingnya sampai nanti ketika mereka benar-benar menuju ke jenjang yang lebih serius. Raka ingin selalu menjaga gadis ini di sampingnya, dan kalimat itu sangat menjelaskan bahwa Raka tidak mau kehilangannya.             Zinde tidak menjawab, dia bungkam karena mengerti apa maksud dari perkataan Raka, dia memilih diam karena saat ini belum ada jawaban pasti yang bisa dia berikan kepada laki-laki di hadapannya ini. Zinde masih mencari celah dari sebuah jalan menuju pembatalan perjodohan yang tidak dia inginkan, tapi sayangnya jalan itu masih belum bisa dia temukan.             “Raka, kamu inget nggak dulu sesayang apa kamu sama Nabila?” Alih-alih menjawab, Zinde justru memberikan sebuah pertanyaan yang tidak pernah Raka duga sebelumnya. “Dulu, setiap hari lihat kamu yang selalu gangguin dia dan ada di samping dia setiap saat, aku jadi kepikiran gimana rasanya bisa disayang kayak gitu sama kamu, aku kepikiran gimana sih rasanya jadi orang yang paling dicintai kamu.”             Zinde menerawang jauh, mengingat kembali sebuah kilasan cerita dari kisah Raka dan Nabila yang waktu itu pernah membuatnya begitu iri. * Raka memasuki ruang kelas dengan senyum lebar, langkahnya tidak langsung terarah pada kursinya melainkan pada kursi Nabila. Senyum Raka makin lebar saat melihat Nabila sudah ada disana, dengan kepala yang ditidurkan pada lipatan tangannya di atas meja. Sejenak Raka mengernyit, tidak biasanya Nabila tampak tidak semangat seperti ini. Tapi, Raka tidak memperdulikan itu semua, dia justru kembali pada misi awalnya mendatangi Nabila. "NANA!" sapa Raka riang, namun Nabila tidak menoleh sama sekali. Laki-laki itu duduk dikursi barisan dua sebelah kanan, tepatnya didepan Nabila yang duduk pada barisan ketiga. "Nana, Raka hari ini ada photoshoot buat endorse, Nana mau kan temenin Raka?" Raka mengabaikan Nabila yang masih tetap pada posisinya, dia fikir Nabila hanya lelah namun tidak tertidur, karena helaan napas gadis itu tidak teratur seperti orang tertidur. Raka kembali berceloteh, "Nana, mau ya? Nanti Raka traktir deh, Janji! Raka nggak punya temen hari ini, Aksa sibuk ngurusin persiapan Ulang Tahun Sekolah." Mengingat Aksa, Raka justru cekikikan karena pertengkaran singkatnya tadi dengan adik kembarnya itu. Biasanya memang Aksa yang akan menemaninya photoshoot endorse, jangan pernah mengharapkan Barga karena laki-laki itu pasti tidak akan mau. Lagipula, Raka tidak pernah memaksa Aksa untuk menemaninya, adiknya sendirilah yang menawarkan diri untuk menemani, tentu saja ada alasan dibalik itu semua. Aksa tidak mau Raka meminta Nabila untuk menemaninya, Aksa nggak mau ngasih kesempatan sedikitpun untuk Raka lebih jauh kepada gadis itu. Aksa berusaha menyamai langkah Raka yang lebih dekat dengan Nabila karena mereka sekelas, maka Aksa menjadi ketua OSIS sekarang, dia kadang punya waktu lebih untuk menemani Nabila ketika lomba, atau ketika ada sebuah acara, Nabila pasti akan ikut serta. Raka sampai geleng-geleng kepala waktu itu, ketika menyaksikan sendiri kegigihan seorang Raden Aksa Bagaskara saat kampanye untuk pemilihan ketua OSIS. Adiknya itu sangat bersemangat hanya karena ingin selangkah lebih dekat dengan Nabila. Segala cara dia upayakan untuk mengejar ketertinggalannya dari Raka. Persis seperti apa yang diucapkan Aksa tadi sebelum dia pergi menemui Nabila. "Gue tau, lo pasti bakal minta tolong Nabil." Raka tersenyum bangga didepan ruang OSIS, "Iya dong! Lo urusin aja sana kertas warna-warni, terus balon-balon, apalah itu. Gue mau kencan sama Nana!" Aksa berdecak saat Raka menjulurkan lidah kearahnya. Tapi, mengingat bahwa apa yang dikerjakannya ini adalah sebuah acara penting, Aksa jadi teringat sesuatu, maka dengan senyum miringnya Aksa kembali membalas ucapan Raka. "Oke. Puas-puasin aja satu hari lo bareng Nabil." Aksa tersenyum miring, "karena gue punya waktu dua minggu lebih buat deket sama Nabil." Raka baru ingat kalo sebentar lagi ada Ulang Tahun Sekolah. "Sialan." Raka mengumpat. "UDAH LO SANA KERJA YANG BENER! JADI KETUA OSIS JANGAN CUMA NUMPANG NAMA DOANG!" Raka berteriak keras, dia kesal sendiri. Padahal tadi Raka sengaja membuat Aksa panas, tapi sekarang malah dia sendiri yang panas. Itu resiko yang harus diambil, saat lo sama saudara lo jatuh cinta sama gadis yang sama. Walaupun sebenernya Raka nggak rela, kalo harus lihat Nabila dekat-dekat sama yang lain. Karena Nabila bukan barang yang pantes di oper sana-sini. Nabila itu berharga. Dan Nabila juga merupakan ciptaan tuhan yang wajib untuk selalu Raka sayangi. "Nana, ja─" Raka menghentikan ucapannya ketika melihat Nabila masih bertahan dengan posisi tidurnya, Raka mengernyit, Nabila kurang tidur, ya? Melirik jam tangannya sekilas, Raka bersyukur karena masih ada sepuluh menit sebelum bel masuk berbunyi. Laki-laki itu lantas membuka cepat tas punggungnya, mengeluarkan sebuah jaket yang masih terbungkus rapi dengan plastik─barang endorse yang memang dia niatkan untuk dipakai─Raka membukanya dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara berisik dari plastik tersebut. Setelah selesai dengan plastik, Raka kembali merogoh tas punggungnya dan mengeluarkan parfume miliknya, disemprotkan sedikit pada jaketnya, lalu dengan gerakan pelan Raka mulai menyampirkan jaket itu dibahu Nabila. "NA─” "Psttt!" "Loh, ada apaan ini?" Lalisa mengangkat kedua alisnya bersamaan, namun tidak Raka hiraukan. Raka kembali memakai tas punggungnya, tanpa ragu tangannya terulur untuk mengusap sebentar kepala Nabila, senyum kecil terbit di bibirnya setelah dia mengucapkan satu kalimat untuk pengantar tidur gadis itu. "Selamat tidur, Nana-nya Raka." ** "Soal nomor lima, siapa yang mau maju kedepan?" Nabila langsung melihat buku tulisnya saat mendengar pertanyaan Bu Sisca, "Maju nih, Sa, bawa buku gue kalo mau." Nabila menggeser buku tulisnya kedepan Lalisa, yang malah dibalas tatapan aneh oleh gadis itu. "Lo aja belum maju, tapi malah nyuruh gue." Nabila menggeleng pelan, menarik jaket Raka yang sedari tadi berada diatas mejanya, lalu meletakkan kepalanya diatas jaket itu. "Lo aja sana." dia menggeser bukunya lebih dekat ke arah Lalisa. "Lo aja, Bil. Lo nggak bakal dapet poin kalo nggak maju." "Lo aja," pinta Nabila pelan. Bu Sisca yang ternyata memperhatikan gerak-gerik Nabila dan Lalisa sedari tadi merasa bingung, biasanya Nabila adalah siswi yang paling aktif di bidang Matematika pelajarannya, tapi hari ini gadis itu sedikit berbeda. "Nabila?" Nabila spontan menegakkan tubuhnya, "iya, Bu?" "Kamu maju nomor lima, ya." Nabila tidak punya alasan untuk menolak perintah guru. Sejak sampai disekolah, sebenarnya Nabila sudah merasa tidak enak badan, gadis ini terlalu memikirkan perkataan Ayahnya tadi pagi, berusaha keras mencari solusi namun malah membuatnya sakit kepala. Awalnya Nabila tidak mau percaya, karena Ayah tidak pernah ikut campur dalam masalah sosialnya, Ayah tidak pernah melarangnya untuk berteman dengan siapapun karena Ayah begitu percaya dengan Nabila, tapi kenapa masalah Raka harus seperti ini? Dengan langkah berat Nabila mulai maju kedepan, Lalisa sampai membantunya karena berat badannya sempat tidak seimbang, membuat Nabila hampir saja terjerembab jika Lalisa tidak memeganginya. "Lo sakit tah, Nab?" tanya Lalisa khawatir. Nabila menggeleng pelan, "enggak, udah, gue mau maju dulu." Raka selalu memperhatikan gerak-gerik gadis itu, sejak dia bangun dari tidurnya tiga puluh menit yang lalu, Raka tidak bisa lagi fokus ke pelajaran karena Nabila mengambil semua perhatiannya. Raka merasa aneh melihat Nabila selemas itu, biasanya gadis itu aktif disemua mata pelajaran terutama Matematika, tapi sekarang? Untuk maju mengerjakan soal saja jalannya seperti orang linglung. "Kayaknya Nabila sakit deh." "Duh, dia malah maksa maju lagi." "Kalo pingsan kayak mana?" Suara bisik-bisik temannya di kursi depan membuat Raka perlahan dilanda rasa khawatir, tapi dia masih saja diam di tempat duduknya seraya memperhatikan Nabila yang mulai menulis di papan tulis. "Tiga." Raka berucap seraya bangkit dari kursinya, pergerakannya mengundang tatapan aneh dari teman-temannya tapi Raka tidak memperdulikan itu. "Dua." Raka mulai berjalan kedepan kelas, Bu Sisca yang baru sadar langsung memanggilnya. "Raka? Kamu mau ngapain?" Mendengar nama Raka disebut Nabila langsung berbalik, laki-laki itu sudah ada dihadapannya dengan senyum tipis. Mendadak kepalanya semakin pening, Nabila bahkan sampai terhuyung dan hampir jatuh, untung Raka dengan sigap memegangi lengannya. "Satu." Nabila pingsan dalam pelukan Raka. ** Tuk! "Aduh!" Nabila mengusap keningnya yang baru saja terkena sentilan Raka. Dia baru saja sadar dari pingsannya, belum sempat membuka mata, tapi Raka lebih dulu menyakiti keningnya. Keterlaluan. "Nakal." Nabila mengernyit, tapi Raka kembali melanjutkan kalimatnya. "Nana nakal, udah berani bikin Raka khawatir," ucapnya sebal. "Kalo emang sakit itu jangan dipaksa maju kedepan, emangnya Nana itu Strong Woman Do Bong Soon apa? Nana nggak sekuat itu, tau!" "Gue nggak apa-apa, Ka." Nabila bangkit dari posisi tidurnya menjadi duduk. "Nggak apa-apa gimana? Nggak sarapan tadi pagi sampe kena magh, terus banyak fikiran sampe pusing, itu Nana bilang nggak apa-apa?" Kok Raka cerewet sih? "Nana mikirin apa sih sampe banyak fikiran kayak gitu? Kalo mikirin sesuatu yang nggak penting, Raka mau marah aja sama Nana, bodo Raka kesel lihat Nana sakit! Tapi kalo dari sekian banyak fikiran itu salah satunya ada Raka, nggak apa-apa, Raka nggak jadi marah." Nabila sontak tertawa mendengarnya. "Jangan ketawa!" sela Raka. "Lah, kenapa?" "Nanti Raka yang pingsan kalo denger Nana ketawa." Raka beranjak menuju meja UKS, mengambil satu piring nasi uduk yang tadi dibelinya ketika Nabila masih pingsan. Raka tau kalau Nabila belum sarapan itu karena suster penjaga UKS tadi yang bilang. Padahal Nabila berangkat pagi hari ini, tapi kenapa dia nggak sempat sarapan? Raka tidak mau bertanya, yang penting Nabila sembuh sekarang. "Makan ya," Raka menyodorkan nasi uduk itu kepada Nabila yang langsung diterimanya dengan senang hati. "Makasih." Nabila tersenyum dan langsung memakannya. Raka memilih untuk memperhatikan Nabila tanpa banyak bicara lagi, pengaruh gadis ini untuknya begitu luar biasa. Padahal dulu, hanya ada beberapa kejadian kecil yang terjadi di antara mereka, tapi bagi Raka kejadian itu sungguh luar biasa. Raka menyukai Nabila, karena Nabila adalah Nabila. Bukan karena dia mirip orang lain, atau karena sifatnya mirip dengan seseorang. Tapi karena Nabila menjadi dirinya sendiri. Awalnya memang sebatas rasa kagum, lalu menjadi suka, tapi setelah melihat bagaimana Nabila yang sebenarnya, Raka langsung jatuh cinta. Dengan sigap Raka mengambil air minum ketika Nabila batuk, "pelan-pelan aja makannya," tutur Raka pelan seraya menepuk-nepuk punggung Nabila pelan. "Lo ngelihatin gue terus, Ka. Guenya jadi keselek." Raka mengangkat bahu tak perduli, mau gadis itu protes karena Raka memandanginya, Raka tidak perduli, karena melihat Nabila sudah menjadi candu untuk Raka. "Sini Raka suapin." Raka ingin mengambil alih piring dari tangan Nabila, tapi gadis itu malah menjauhkannya. "Gue makan sendiri aja." Tolak Nabila halus. "Nana?" panggil Raka. Nabila mendongak dan berdeham menjawab pertanyaan Raka, mulutnya penuh jadi dia tidak bisa bicara. "Jangan sakit lagi, ya." Nabila tersenyum lalu mengangguk cepat, ucapan Raka serta tatapan mata laki-laki itu yang begitu tulus, entah mengapa membuat hati Nabila menghangat. Padahal selama ini Nabila selalu biasa saja jika Raka berperilaku manis kepadanya, tapi sekarang ada yang aneh dengan hatinya. "Misi." Raka berdecak sebal melihat kepala Lalisa yang menyembul dari balik pintu, "Ganggu aja sih kutu!" Lalisa masuk ke dalam UKS, lalu melemparkan jaket Raka yang dibawanya kewajah Raka, "kan lo yang ngechat gue minta bawain jaket! Nggak tau terima kasih bener emang!" "Kenapa ini?" "Ini artis i********:, gagal ngajak lo ikut nemenin dia buat photoshoot endorse, jadinya mau foto diUKS aja katanya," jelas Lalisa. Raka tadi memang mengiriminya pesan untuk membawakan jaket miliknya diatas meja Nabila. "Udah diem, fotoin gue cepet!" Raka memakai jaket itu, lalu menyerahkan ponselnya kepada Lalisa. "Kalo udah selesai fotoinnya, lo langsung pergi, ya," suruh Raka, sedangkan Lalisa langsung mendengus mendengarnya. Untuk barang-barang endorse yang masih ada dimobilnya, Raka bisa memfotonya nanti, dia ingin memposting jaket ini saja dulu. Lalisa mulai membidik, dia langsung berdecak kagum melihat hasil fotonya yang menurutnya bagus. "Gila! Berbakat jadi photografer kayaknya gue ini!" ujarnya bangga. "Bukan lo yang berbakat, tapi guenya aja yang emang bagus difoto," jawab Raka, dia mengambil ponselnya ditangan Lalisa, lalu mendorong gadis itu cepat keluar UKS. "Jahat banget ih─NABILA, CEPET SEMBUH! LALISA MAU MAKAN DULU YA DIKANTIN!" Pamit Lalisa, Nabila mengacungkan ibu jarinya diudara. "Ka?" panggil Nabila, dia penasaran dengan hasil bidikan Lalisa. "Sabar." Nabila memperhatikan Raka yang sibuk mengetikkan sesuatu diponselnya, sepertinya sudah selesai karena Raka sekarang tersenyum lebar lalu mengarahkan layar ponselnya kearah Nabila. Lagi, rasa hangat itu menjalar dihati Nabila melihat beranda i********: paling atas, ada foto Raka disana yang diambil Lalisa menggunakan kamera ponsel, tapi bukan foto itu yang menjadi fokus Nabila, melainkan caption yang tertera disana.   raka.bgskra [photo] ♡765 likes raka.bgskra getwellsoon buat yang tadi tidur pake jaket ini, jangan sakit lagi, jangan bikin aku khawatir❤ Jaketnya nyaman dipake buat tidur sama dia, iyalah, orang gue belinya di @jaket.id  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN