54 : Merangkum Kisah Tentang Zinde Yang Dulu

2106 Kata
            Nabila berjalan santai di koridor lantai satu, menuju parkiran. Bel pulang sekolah lima menit lagi akan berbunyi, dan Nabila memutuskan untuk menunggu Lalisa saja lalu meminta sahabatnya itu untuk mengantarnya pulang, alasan lain kenapa Nabila tidak langsung pulang karna dia ingin meminjam catatan Lalisa, agar tidak ketinggalan mata pelajaran. Nabila berjongkok di dekat parkiran, tas punggung yang dipakainya terlalu berat sehingga membuat pundaknya sakit. Nabila yang kesal karena tidak menemukan satu pun kursi di lapangan parkir, akhirnya hanya bisa berjongkok menunggu Lalisa menghampirinya. "Guys! Ada gembel nih!" Nabila menghela napas pelan saat menyadari siapa pemilik suara tadi, dengan sedikit ragu dia mendongak dan langsung mendapati wajah Zinde bersama tiga siswi lain yang Nabila sebut sebagai dayang Zinde, sudah berdiri dihadapannya. Gadis berambut sebahu disebelah kiri Zinde menyahut, "gembelnya nggak punya rumah kayaknya, Zi." Tawa ketiga gadis lainnya langsung melebur. Zinde menyenggol Nabila dengan salah satu kakinya. "Wey, Mbel! Katanya baru menang lomba. Masa balik-balik dari Semarang langsung jadi gembel sih?" tanyanya sarkas, senyum jahatnya mengembang ketika Nabila balas menatapnya. "Jangan hari ini sih, bisa nggak?" Nabila berucap lirih. Dia sudah lelah karena belum sempat tidur, dan sekarang jadi tambah lelah karena melihat Zinde─ gadis yang selalu membullynya disekolah. Nabila sudah biasa mendapatkan kalimat-kalimat pedas dari gadis ini, Nabila tidak bisa membalas atau berontak, karena memang pada dasarnya Nabila tidak pernah memiliki alasan untuk membalas, dia tidak pendendam, jadi semua perlakuan Zinde selalu dibiarkan olehnya dan diterimanya dengan lapang d**a. Tapi ada alasan lain kenapa Nabila tidak per─ Byurr... Nabila langsung menunduk, saat merasakan rambutnya basah. Zinde menumpahkan air minumnya yang masih terisi penuh ke kepala Nabila, dengan sengaja tentunya. "Gue kasih air bersih. Kalo-kalo selama di Semarang, lo nggak sempat mandi gitu, kan?" Zinde tertawa puas, melakukan hal-hal seperti ini kepada Nabila sudah menjadi kebiasaan yang menyenangkan untuknya. Apalagi, karena rasa bencinya kepada gadis itu, gadis yang sudah berani membuat Raka beralih darinya. "Anggep aja ini ucapan selamat khusus dari Zinde buat Nabila," katanya dengan nada manis yang dibuat-buat. Hawa dingin menghampiri tubuh Nabila, membuat gadis itu langsung memeluk dirinya sediri. Apa air yang ditumpahkan Zinde banyak? Kenapa bajunya juga ikut basah? Untuk kesekian kalinya, Nabila tidak bisa melakukan apa-apa selain diam. Lagipula, siapa yang berani dengan ketua dance yang merupakan anak dari pemilik sekolah ini? *             "Nabil! Jangan masuk!" Aksa tiba-tiba keluar dari UKS dan menghampiri Nabila dengan gerakan tergesa-gesa. Setelah Aksa, Zinde menyusul dibelakangnya dengan wajah memerah. "LO!" Gadis itu menunjuk Nabila. "Udah gue bilang, jangan deket-deket Raka lagi! Lo itu cuma bawa s**l buat Raka!" "Wey, Jiji! Gue yang nginjek Raka, bukan Nabil! Kan gue udah jelasin sama lo!" Aksa balas membentak Zinde, dia tidak suka ada yang membentak Nabila seperti itu. Nabila tetap Nabila, dia memang ramah kepada orang lain, murah senyum, dan sosok yang membuat seseorang mudah nyaman jika berbicara dengannya. Tapi, berbeda ketika dihadapkan dengan sosok Zinde, Nabila akan menjadi lebih pendiam dari pada yang biasanya. "Dia yang salah!" Zinde masih ngotot, benar-benar Zinde sekali, yang selalu menyalahkan situasi apapun kepada Nabila, seakan-akan bahwa Nabila lah pembawa s**l dari segala hidupnya. Ketika Aksa ingin menyela, Nabila justru menahan lengannya sehingga laki-laki itu diam. "Iya, gue yang salah. Masa lo lupa? Kan emang gue yang nginjek Raka." Nabila menatap Aksa, tatapannya sarat akan permohonan agar laki-laki itu mengiyakan saja perkataannya. Zinde tidak akan berhenti berulah jika Nabila tidak mengikuti ucapannya. Dan jika Nabila melawan, sudah dipastikan beasiswanya pasti akan dicabut. Zinde maju mendekati Nabila, mencengkeram kuat bahu Nabila dengan tatapan nyalang. "Ngaku juga kan lo!" Firasat Guanlin memang tak pernah salah, perasaannya yang tidak enak sudah terbukti sekarang. Biasanya dia hanya melihat adegan bully ini dari kejauhan tanpa berniat membantu sedikitpun, karena Guanlin tau pasti akan ada seseorang yang membantu Nabila. Tapi sekarang, setelah melihat lebih dekat, Guanlin merasa ingin bertindak. Guanlin menarik kasar lengan Zinde sehingga cengkeraman gadis itu pada bahu Nabila terlepas, merasa kesal dengan tindakan Guanlin barusan, Zinde tentu saja murka. "Apa lagi lo ini bocah! Nggak usah ikut campur!" Zinde membentak marah. "Lo itu perempuan, tapi kelakuan lo kayak preman," ucap Guanlin pelan. "Gu-guanlin, udah." Nabila menarik ujung seragam Guanlin, agar laki-laki itu berhenti. Karena apapun bentuk pembelaan yang didapatkan oleh Nabila, itu justru membuat semuanya semakin kacau. Zinde kembali beralih pada Nabila, "MULAI SEKARANG JAUHIN RAKA!" Dia menoleh pada ketiga temannya, lalu tersenyum miring. "Siram." Detik itu juga, Nabila langsung basah kuyup, ketiga teman Zinde yang ternyata sudah berdiri dibelakang Nabila membawa air dalam satu ember penuh, dan kini air itu berpindah tempat membasahi seluruh tubuh Nabila. Bahkan Guanlin dan Aksa yang berdiri disamping Nabila juga ikut setengah basah. Nabila memeluk tubuhnya sendiri, dia sudah berganti pakaian dengan seragam putihnya tadi, sehingga seragamnya yang basah mencetak sedikit bagian tubuhnya, Nabila merasa risih. "ZINDE!" Teriakan itu berasal dari Raka dan Barga. Raka muncul dari dalam UKS. Tadi, ketika Zinde datang menemuinya diUKS, Raka langsung menyumpalkan telinganya dengan headset yang sudah dia minta bawakan oleh Aksa, lalu dia tertidur agar tidak mendengar omelan Zinde, tapi ketika matanya menangkap gerombolan orang yang makin ramai didepan UKS Raka jadi curiga bahwa Zinde berbuat ulah lagi. Sedangkan Barga baru saja memunculkan dirinya setelah bersembunyi cukup lama diantara gerombolan siswi, seperti biasa, dia hanya menyaksikan menunggu sampai sejauh mana teman sekelasnya itu bisa berbuat ulah. Ketika Raka dan Barga mendekat kearah Nabila, gadis itu sudah lebih dulu ditarik oleh Guanlin. Laki-laki itu menyampirkan selimut─yang sempat dia ambil dari dalam UKS─pada bahu Nabila, membantu gadis itu menutup seluruh tubuhnya karena seragamnya basah. "Yaampun, Nabila!" Lalisa berlari terburu-buru mendekati Nabila, dia mendapatkan kabar dari teman sekelasnya bahwa Nabila kembali di bully lagi, maka niatnya yang tadi ingin tidur dikelas segera menghilang, Lalisa langsung berlari menuju UKS dengan semua tenaga yang dia bisa. Guanlin dan Lalisa membawa Nabila menjauh dari kerumunan orang-orang tanpa mengatakan apapun. Sebelum sempat menghilang, Lalisa memutar tubuhnya dan berteriak keras kearah Zinde. "DASAR NENEK SIHIR!!" *             Orang pertama yang Nabila cari setelah masuk bis adalah Arin, dia adalah anak IPS yang mewakili cabang Fisika, beberapa kali Nabila dan Arin dipasangkan menjadi perwakilan sekolah sehingga membuat keduanya berteman, dan semalam Arin sudah menyetujui akan duduk bersamanya selama perjalanan. "Loh … Rin?" Nabila mengernyit bingung mendapati kursinya sudah ditempati, tapi rasa bingung itu berubah menjadi keterkejutan ketika menyadari siapa yang kini duduk bersama Arin. Dia Zinde. "Lama, ya, nungguin putri raja," Zinde bergumam tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel, "Rin, pindah bentar ketempat Barga, gue ada perlu sama putri raja." Putri Raja? Arin langsung berdiri dengan gelagapan, siapa juga yang berani melawan perintah Zinde? Nabila menangkap permohonan maaf dari tatapan Arin, karna membiarkannya terjebak bersama Zinde disini. "Duduk. Lo b***k Nabila? Gue udah bilang mau ngomong sama lo." Suara Zinde menyentak kesadaran Nabila, gadis itu segera menduduki tempat Arin tadi, tepat disebelah Zinde. Zinde masih fokus pada timeline i********: diponselnya, tanpa repot-repot menoleh pada Nabila dia kembali berkata, "muak gue liat muka lo tau nggak." Rasa benci itu masih ada ternyata. "Berterima kasihlah sama bokap gue, karna kalo dia nggak ngancem gue, mungkin gue bakal tetep gangguin lo seminggu belakangan." Jadi itu alasan Zinde tidak mengganggunya? "Lo bisu tah?! Heh! Gue nggak lagi ngomong sama tembok ya!" Zinde memang tidak membentak, hanya saja nada suaranya terdengar sangat sinis. "I-iya gue denger." "Bagus." Zinde tersenyum puas, namun sedetik kemudian dia tersentak. Seperti teringat sesuatu, Zinde lantas mematikan ponselnya lalu beralih untuk menatap Nabila. "Udah ngerasa cantik ya lo sekarang?" tanyanya sarkastik, kedua matanya meneliti Nabila dengan tajam. Ada banyak sorot yang terlihat dimatanya, Nabila bisa saja mendeskripsikannya, hanya saja itu terlalu menyakitkan. Intinya sorot mata Zinde padanya, penuh dengan dendam. "Direbutin sama tiga cowok sekaligus, udah ngerasa cantik?" Nabila menggeleng lemah. "Jawab! Punya mulut tuh dipake!" "Nggak, Zi." Nabila menunduk. Di keramaian bis, kenapa Nabila justru merasa sendirian sekarang? Zinde menatap remeh gadis didepannya, berdecak kesal karena Nabila terus saja menunduk membuatnya semakin marah karena merasa tidak dianggap. "Lo udah mengabaikan peringatan gue buat jauhin Raka, sampe berbusa mulut gue ngingetin lo itu itu terus, tapi lo tetep nggak mau denger. Jadi, jangan salahin gue kalo gue udah berani main yang lebih jauh sekarang. Itu balasan karena lo nggak nurut omongan gue, dan balasan karna lo udah ambil Raka─" "Zinde." "Ah, pahlawan lo dateng, Nab." Zinde tertawa sinis, lalu menoleh pada Barga yang sekarang berdiri disebelah kursinya. "Bila, pindah kekursi lo sekarang, bis udah mau jalan." "Tunggu." Zinde langsung menahan lengan Nabila, "Lomba ini penting, gue nggak mau lo kacauin kemenangan kita. Lo harus hati-hati, oke, Nabila?" katanya dengan senyum manis. Barga langsung menepis genggaman Zinde dilengan Nabila, mengambil alih lengan Nabila untuk digenggam. "Gue ingetin satu hal," gumam Barga pelan, matanya tidak lepas menatap Zinde dengan tajam. "Lo yang harus hati-hati." Tidak memberi cela untuk Zinde membalas, Barga langsung beranjak menarik Nabila untuk kembali ketempat duduknya. Arin yang menangkap kedatangan mereka berdua langsung menggumamkan kata maaf pada Nabila dan dibalas senyum tipis oleh gadis itu. Nabila tidak membantah ketika Barga menyuruhnya duduk, bahkan Nabila tidak bisa lagi bertanya kenapa dia bisa duduk dengan Barga. Otaknya masih berusaha mencerna apa yang sebenarnya sedang direncanakan Zinde untuknya, karena setelah mendengar peringatan gadis itu, Nabila merasa dirinya dalam bahaya. * Perlombaan sempat kacau. Barga tiba-tiba membatalkan ikut dalam anggota inti futsal, untung saja mereka membawa anggota cadangan sehingga tidak terlalu repot untuk mengurus cabang itu. Hanya saja, karena masalah hilangnya Nabila, lomba cabang Matematika terpaksa tidak turun, karena tidak ada cadangan untuk lomba tersebut. Sejak semalam pihak sekolah sudah mencari keberadaan Nabila. Dimulai dari menanyakan kepada petugas depan tentang terakhir kalinya melihat gadis itu, serta meminta akses cctv yang akan mereka dapatkan pagi ini. Barga tidak bisa tidur, pikirannya terlalu kalut karena tidak diberikan izin untuk mencari Nabila sendirian, bagaimapun pihak sekolah memberi alasan bahwa mereka disini atas nama sekolah, jadi sekolah yang akan turun tangan dan bertanggung jawab, pihak sekolah hanya tidak mau Barga bertindak gegabah. Pihak sekolah juga sudah menghubungi keluarga Nabila, dan mereka akan sampai pagi ini. "Lo yakin nggak liat Nabila?" Pertanyaan yang sama, untuk yang kesekian kalinya Barga lontarkan pada Arin. Dengan gelengan terpatah Arin menjawab, "dia keluar sekitar jam tujuh lewat, dia cuma bilang mau cari angin gue inget banget dia cuma bawa hp sama dompet. Sekitar jam sembilan lebih gue ke minimarket diujung hotel sana, mau beli sesuatu sekalian mau cari Nabila, gue bahkan udah kirim sms kedia ngasih tau kalo gue di minimarket, dia bales katanya bakal nyamperin gue." Untuk yang kesekian kalinya juga, Arin menyodorkan ponselnya menampilkan chat terakhir antara dirinya dengan Nabila, "Tapi sekitar tiga puluh menit, dia nggak juga nyamperin gue, akhirnya gue balik ke hotel dan ngeliat dikamar cuma ada Zinde sama Abel, gue panik. Akhirnya gue kekamar lo." Barga ingat, dia juga sempat mengirimkan pesan untuk Nabila di jam sembilan dan gadis itu memang sempat menjawabnya dengan mengucapkan semoga cepet sembuh untuk mual yang Barga rasakan. Tapi setelah mendapat kabar dari Arin, ponsel gadis itu tiba-tiba saja mendadak tidak aktif. Sekarang pukul sembilan pagi, beberapa siswa sedang mengikuti perlombaan, dan sekarang di salah satu ruangan hotel yang dipinjam oleh pihak sekolah beberapa dari mereka berkumpul. Ada beberapa guru yang beristirahat karena semalaman mencari Nabila, lalu Barga serta beberapa cadangan futsal yang tidak ikut, ada Arin yang juga membatalkan lombanya dengan Abel, terakhir Zinde. "Zinde." Barga mendekat, menghampiri gadis itu yang sedang terpejam di pojok ruangan. "Apa? Lo mau bilang ini ulah gue?" Zinde membuka matanya, menatap Barga dengan raut lelah. "Ini ulah lo?" Zinde berdecak, "harus berapa kali sih gue bilang? Gue nggak ada campur tangan sama hilangnya Nabila! Gue dikamar seharian bareng Abel, dan gue nggak ngomong satu kata pun ke Nabila setelah sampai di Bogor. Dan untuk batalnya lomba ini serta hilangnya cewe yang lo suka itu, lo mau nuduh gue?!" Beberapa guru yang mengetahui masalah antara Nabila dan Zinde memang sudah sempat bertanya kepada gadis itu, tapi Zinde sudah menjawab bahwa dia tidak tau apa-apa soal ini. "Gue nggak punya masalah ya sama lo, tapi tolong, jangan hakimi gue untuk sesuatu yang sama sekali nggak gue lakuin!" Bentak Zinde marah, bahkan kedua mata gadis itu sudah berkaca-kaca. Dia kesal, semua tatapan orang-orang disini seperti menyalahkannya, sehingga dia memilih untuk menenangkan dirinya dipojok ruangan. Dengan tatapan mengahkimi seperti itu, mereka tidak tau bahwa diam-diam Zinde juga khawatir dengan Nabila sekarang. Tidak ada yang tahu itu. BRAK! Zinde berjengit kaget ketika Barga menendang salah satu kursi secara tiba-tiba, bahkan Pak Arif yang sedang tertidur sampai terbangun karena ulah Barga barusan. Barga mengusap wajahnya kasar, dia ingin sekali pergi dari sini dan mencari Nabila, tapi dia harus menunggu hingga Papanya datang sehingga tanggung jawab sekolah terbebas darinya. *             Dibalik semua kekacauan yang pernah Zinde buat di masa lalu, Raka percaya bahwa saat ini Zindenya sudah berubah menjadi gadis yang lebih baik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN