07 : Interogasi Rahasia

1410 Kata
Penantian Daniel ternyata tidak sia-sia. Setelah menunggu selama kurang lebih enam jam dari saat dia sampai dirumah, akhirnya pukul satu malam, dia mendengar suara gerbang depan terbuka disusul dengan deru motor yang memasuki garasi. Daniel berdiri dari sofa duduknya saat terdengar bunyi kunci pintu berhasil terbuka, lalu siluet putra sulungnya terlihat dalam remang-remang cahaya. "Balapan lagi kamu, Bang?" Dilihatnya Barga mematung setelah mendengar suaranya, sepertinya putra sulungnya itu terkejut akan kehadirannya. Daniel menghela napas pelan lalu menghidupkan lampu ruang tamu, Barga masih berdiri di depan pintu dengan kepala tertunduk, Daniel bergerak mendekati Barga yang masih sekarang sudah mulai mendongakkan wajahnya. Reaksi pertama yang Daniel berikan ketika melihat wajah Barga adalah terkejut. Bagaimana tidak, setelah menunggu enam jam, dia malah dihadiahi oleh luka lebam di sebagian wajah putra sulungnya itu. "Kamu berantem?!" Daniel tidak bisa menahan intonasi suaranya, dia bukan marah, tapi terkejut. "Papa jangan berisik!" Barga mendesis kesal, dia takut Mamanya akan bangun dan mengetahui kondisinya seperti sekarang. Cukup Papanya saja yang memergokinya, tapi Mamanya jangan, karena Barga belum siap kena ceramah panjang lebar dari Mama Sera. Daniel menjambak rambutnya frustasi, "Apa karena Papa nggak ngebolehin kamu ikut balapan, kamu jadi ikut tinju sekarang?" Barga berdecak. "Abang nggak ikut tinju," jawabnya jujur. "Terus lebam ini kamu dapet dari mana?" "Jeno." Mendengar nama itu tersebut dari bibir Barga sontak membuat Daniel berkacak pinggang. "Kamu lemah banget sih, Bang," komentarnya tak terima. "Pasti kamu nggak bales pukulan dia, iya kan? Cuma karena dia yang udah …." "Abang cape, mau istirahat," Barga menyela cepat, tidak mau membahas lebih lanjut seputar laki-laki bernama Jeno itu. "Oke, ganti topik." Daniel mengerti bahwa Barga tidak benar-benar ingin istirahat, Putra sulungnya itu hanya menghindari segala topik seputar Jeno, seseorang yang cukup berpengaruh untuk sebagian hidup Barga. "Loh," Daniel memperhatikan Barga lebih lekat, merasa ada yang janggal. "Luka kamu siapa yang ngobatin?" "Kepo." Daniel mengumpat pelan, "Kamu bukan anak Papa, kamu anak Limbad!" Barga tersenyum geli, melihat Papanya seperti itu membuatnya ingat pada Raka. Dalam hati Barga membenarkan perkataan Mama Sera waktu itu, yang bilang bahwa adalah hasil jiplakan Daniel tanpa ada yang dikurang-kurangi ataupun dilebih-lebihkan. Barga membuktikannya sekarang, mereka berdua memang sangat mirip. Aneh, tampan, dan tentunya pria penghancur hati banyak wanita. "Barga." Barga mengerjap, Daniel sedang serius. Daniel akan selalu memanggil nama tengah putranya jika dia sedang serius. "Kamu nggak mau berhenti balapan?" Barga tampak berfikir sebentar, sebelum melontarkan sebuah pertanyaan balik kepada Daniel. "Papa mau lihat Abang n*****a, atau balapan?" "Papa mau Abang jujur sama perasaan Abang." Tatapan lelah dilayangkan Barga untuk Daniel. "Besok sekolah," katanya memberitahu bahwa dia benar-benar tidak ingin melanjutkan percakapan ini. "Kalo tahu besok sekolah, kenapa masih kelayapan sampai jam satu malem?" "Abang nggak balapan tadi." Barga menunduk melihat tautan tangannya sendiri. "Bukan nggak balapan— balapan sebenernya tapi nggak sampai selesai, karena ditengah pertandingan Jeno nabrak Abang dan langsung nonjok Abang tanpa aba-aba." Daniel mengerjap bingung, kok tumben Barga mau ngomong agak panjang? "Bang, kamu lagi seneng, ya?" lagi-lagi Daniel membelokkan topik, aneh memang, padahal tadi dia sendiri yang kelihatan serius, tapi giliran diseriusin balik sama Barga, pertanyaan Daniel malah melenceng kemana-mana. "Papa nggak cape apa berdiri terus?" Jika Daniel membelokkan topik karena rasa penasarannya, lain halnya dengan Barga, laki-laki itu akan membelokkan topik jika dirasa hal tersebut tidak perlu diketahui oleh siapapun, selain dirinya. "Oh iya, sini duduk." Daniel langsung menarik Barga untuk duduk disofa ruang tamu, namun Barga menolak karena sekarang sudah sangat larut, dia harus tidur sebentar karena besok masih harus pergi sekolah. "Mau tidur." Daniel melirik jam dinding diruang tamu, sudah setengah jam ternyata dia menahan Barga. Maka dengan berat hati, Daniel harus menyudahi kegiatan interogasi ini. "Satu pertanyaan lagi," tawar Daniel pada putranya. Barga diam menunggu Daniel mengajukan pertanyaannya, Papanya itu tampak berfikir keras seperti sedang melawan hatinya, antara ingin bertanya atau tidak. "Abang suka juga sama Nabila?" "Kok jadi nanya itu?" Barga balik bertanya. Daniel mengangkat bahu. "Papa cuma pingin tahu aja." Barga menghiraukannya, akhirnya dia berjalan menuju tangga untuk sampai kekamarnya di lantai dua. Sedangkan Daniel masih menunggu selama Barga melangkahkan kakinya begitu pelan, di anak tangga pertama Barga berhenti, berbalik menatap Daniel seraya mengatakan. "Abang nggak suka Nabila." Kini Daniel harus mengerjap beberapa kali melihat Barga hilang di anak tangga teratas, sebuah pertanyaan muncul dikepalanya tak kala melihat wajah serius yang ditunjukkan Barga tadi. Apa waktu itu dia sempat salah menyimpulkan kalau Barga berbohong? ### Suasana pagi ini cukup menegangkan, terutama untuk Nabila. Telur dadar kecap yang sudah dibuatkan oleh Farisha untuk sarapannya belum tersentuh sama sekali. Nabila hanya menunduk, tidak bersuara ataupun melakukan gerakan dari saat Farhan mengatakan bahwa dia ingin berbicara padanya. "Apa yang Mama bilang semalem, itu benar Bila?" Nabila menelan salivanya gugup, dia bisa saja membohongi Farisha, tapi tidak dengan Farhan. Sangat mudah bagi Farhan membaca gerak-gerik Nabila ketika berbohong, dan sekarang dia menunggu Nabila untuk berbicara yang sebenarnya. "Sebenarnya apa yang kamu sembunyiin dari Ayah? Belakangan ini, setiap dua minggu sekali kamu selalu keluar malam, Bila. Ayah bukan permasalahin waktu belajar kamu, karena jujur aja Ayah juga nggak bisa lihat kamu terus-terusan belajar, Ayah takut kamu sakit." Farhan memperhatikan putri tunggalnya yang masih saja tertunduk, sebagai seorang Ayah yang mempunyai anak perempuan, Farhan harus tegas, karena bagaimanapun juga, menjaga anak perempuan lebih sulit daripada anak laki-laki. "Ayah cuma nggak mau kamu salah pergaulan." Akhirnya Farhan mengungkapkan apa yang sedari tadi dia tahan. "Maaf Ayah." Nabila mulai terisak ditempat duduknya, dia merasa sangat bersalah karena terlalu sering berbohong untuk menemui Barga. Nabila selalu ingat pesan Farhan yang mengatakan bahwa sekali saja Nabila melontarkan kebohongan, maka akan ada kebohongan-kebohongan lain yang terucap, dan sekarang Nabila sangat membenarkan hal itu. Nabila sangat menyayangi kedua orang tuanya, karena dia merupakan anak tunggal, jadi bisa dibilang Farhan dan Farisha juga memberikan kebahagiaan yang luar biasa untuknya, walaupun dengan kesederhanaan, tapi mereka tentu berhasil membuat Nabila bahagia dengan cara mereka. "Maaf, Bila udah bohong," gadis itu berucap lirih, selain rasa bersalah, ada rasa takut juga yang mendominasi. "Sekarang kasih tahu Ayah, apa yang kamu lakuin kemarin dan malam-malam sebelumnya," ucap Farhan begitu tegas, berbeda dengan raut wajahnya yang sudah merasa tidak tega. Farhan tetap pada pendiriannya, dia tidak boleh terlalu membebaskan Nabila. "Bila punya teman disekolah, namanya Barga." Nabila mulai berbicara, lebih tepatnya bercerita, dia akan berbicara terus terang tanpa melebih-lebihkan apapun. "Walaupun nggak satu kelas tapi Bila tahu dia orang baik, dia sering bantuin Bila …." bayangan akan Barga yang sering membantunya dari gangguan Zinde mulai terputar kembali dikepala Nabila. "Tapi dia punya hobi yang bisa Bila bilang nggak bagus, dia sering balapan." Farhan tersentak kaget ditempatnya, dia tidak menyangka bahwa putrinya memiliki teman seperti itu. Tapi sebesar apapun keterkejutannya, dia tetap harus mendengarkan Nabila hingga selesai. "Satu tahun yang lalu Bila pertama kali ngomong sama dia, waktu itu dia kecelakaan nggak jauh dari sini, itu pertama kalinya dia ikut balapan dan ternyata dia belum bener-bener bisa bawa motor besar. Bila yang kebetulan habis dari apotik ketemu dia, dan akhirnya ngobatin semua luka dia disana, selain karena dia temen satu sekolah Bila nggak ada hal apa-apa lagi yang jadi alasan kenapa Bila bantuin dia, Ayah tahu kan sifat Bila kayak mana? Ayah pasti ngerti." Nabila mengambil nafas sejenak, "mulai dari hari itu Bila janji sama dia, kalo seandainya dia kecelakaan lagi dia bisa panggil Bila, karena memang jarak jalan itu ke rumah nggak begitu jauh yah, dan Bila juga kasihan lihat dia kayak gitu. Tapi akhir-akhir ini juga Bila kurang paham, dia lebih sering kecelakaan, bahkan semalam dia kayak habis berantem." "Kamu yakin dia orang baik?" Entah kenapa pertanyaan itu melucur begitu saja dari mulut Farhan sebelum Nabila selesai bercerita. "Barga baik." Nabila mengatakannya dengan yakin, karena memang selama ini laki-laki itu tidak pernah menyakitinya, walaupun mereka tidak pernah berinteraksi apa-apa disekolah, selain Barga yang tiba-tiba membantu tiap kali Nabila dikerjai oleh Zinde. "Kamu nggak tahu apa alasan dia lebih sering kecelakaan akhir-akhir ini?" Nabila menggeleng pelan. "Jauhin dia." Nabila tersentak kaget, "A-ayah." Farhan sangat yakin kalau anak gadisnya itu sedang kecewa sekarang, dilihat dari bagaimana Nabila langsung mengalihkan tatapan darinya. Farhan tidak pernah ikut campur dalam masalah pertemanan Nabila, karena Farhan begitu yakin kalau anak gadisnya itu bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk untuknya. Nabila selalu menjadi yang pertama dalam hal apapun, dan sungguh semua itu membuat Farhan bangga, tapi kembali lagi pada satu hal, Farhan bukannya ingin melarang, tapi dia ingin yang terbaik untuk Nabila. "Atau suruh dia berhenti buat balapan." Farhan kembali bicara, mencari keringanan untuk Nabila. Nabila mengerjap, "Ayah tahu kan, Bila nggak mungkin ngelarang dia buat jauhin hobi dia. Siapa Bila sampai Barga harus dengerin Bila? dia nggak akan dengerin Bila." "Kamu cuma punya dua pilihan, jauhin dia atau suruh dia berhenti buat balapan." Nabila tidak lagi menjawab, selera makannya hilang hingga sarapan buatan Farisha tidak dimakannya sama sekali. Nabila beranjak untuk mengambil tas punggungnya, menyalimi tangan Farisha dan Farhan bergantian. "Assalamualaikum." pamit Nabila hingga akhirnya hilang dari balik pintu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN