Terlahir dari sebuah keluarga yang memiliki status berada merupakan salah satu hal yang yang sangat sangat Zinde Ceysara syukuri, dirinya tidak mau munafik dan mengatakan bahwa lebih baik terlahir dari keluarga yang sederhana daripada kaya raya, karena nyatanya Zinde menikmati semua hal yang kedua orangtuanya miliki.
Jika biasanya anak-anak dari keluarga kaya memiliki masalah dengan keluarga mereka maka Zinde akan lain cerita. Karena nyatanya selain kekayaan keluarga, Zinde juga memiliki otak yang cerdas dan paras yang amat cantik, hubungan keluarganya pun baik-baik saja sejauh ini tidak pernah ada masalah serius yang bisa membuatnya sakit kepala. Itulah mengapa Zinde sangat mensyukuri semuanya karena sepertinya Tuhan memberinya nasib yang baik.
Hanya lewat Raka dia pernah merasakan kepahitan, itupun hanya sementara karena sekarang semuanya sudah baik-baik saja.
Itu semua adalah pemikiran yang selalu Zinde pikirkan dulu sekali.
Namun sekarang semuanya seolah berubah. Setelah kemarin kedua orangtuanya meminta untuk bertemu dan membahas beberapa hal yang di luar dugaannya, Zinde kaget luar biasa. Dia dijodohkan, dengan seseorang yang bahkan belum sama sekali dirinya kenal. Katanya itu anak dari rekan bisnis Papa yang nantinya akan menjadi penerus keluarga, jika bisnis keluarganya ingin semakin berkembang dan bekerjasama dengan bisnis rekannya maka Zinde harus menikah dengan laki-laki itu.
Zinde masih ingat betul bagaimana untuk pertama kalinya dia membantah keinginan kedua orangtuanya.
“Pa, ini papa nggak serius ‘kan buat jodohin aku?” tanya Zinde setengah tak percaya, hati nuraninya masih sedikit menyimpan harap bahwa semua ini hanya omong kosong belaka.
Tapi nyatanya sebuah gelengan yang diberikan oleh sang Papa cukup untuk menjadi bukti dari retaknya hati Zinde saat ini. “Enggak, Papa enggak bercanda. Semua ini bahkan sudah direncanakan dari sejak kamu kecil, Papa sudah bicara dengan teman Papa itu lama sekali dan kamu tidak bisa menolak karena ini sudah janji Papa dengan teman Papa itu.”
“Pa! Tapi ‘kan Papa tau sendiri Zinde udah punya pacar! Raka, dia pacar Zinde yang bahkan udah Papa kenal banget!” Emosinya tak terkendali, dia terlalu marah apalagi setelah mengingat hati laki-laki itu yang pasti akan patah juga jika mendengar berita ini.
“Papa tau dan udah kenal banget sama Raka, dia memang anak yang baik maka dari itu Papa izinkan kamu menjalin hubungan dengan laki-laki itu. Tapi pada akhirnya Papa tidak akan memberi restu jika kamu ingin menikah dengannya, karena Papa sudah memilih dan anak teman Papa itu yang nantinya akan menjadi suamimu kelak. Papa biarkan kamu menjalin hubungan dengan Raka karena Papa pikir itu hanya sementara, anggap saja hubungan ini sebagai coba-coba dan permainan untuk kau.”
“PAPA!” Bentak Zinde marah, kedua matanya sudah memerah tanda dia akan menangis.
Coba-coba katanya?! Menganggap hubungan ini seperti permainan?! Bagaimana bisa Zinde melakukan itu disaat dirinya sudah mencintai Raka bertahun-tahun, rela menunggunya melupakan Nabila, berusaha membuat laki-laki itu mencintainya sampai pada akhirnya dia sampai di titik ini. Titik dimana hanya dirinyalah satu-satunya gadis yang bisa Raka lihat, laki-laki itu sudah berhasil mencintainya sebagaimana Zinde mencintainya, lalu bagaimana bisa Zinde melepaskannya?!
“Papa nggak ngerti, aku nggak bisa dan nggak akan pernah bisa ngelepas Raka. Aku cinta sama dia dan aku nggak mau yang lain selain dia!”
“Terserah, mau seperti apapun kamu merengek, pada akhirnya kamu harus menerima perjodohan yang sudah Papa rencanakan sejak dulu!”
Papa itu adalah seseorang yang tidak akan pernah bisa Zinde lawan, apa yang dikatakannya maka akan selalu Zinde lakukan, dia selalu berusaha menjadi anak gadis yang baik guna membayar semua kemewahan yang sudah dia terima sejak kecil. Dia tidak pernah melawan untuk apapun yang diperintahkan, bahkan Zinde selalu menghormati pria paruh baya itu.
Namun sekarang semua rasa hormat itu seakan hilang jika pada akhirnya dia merasa bahwa hanya seperti boneka yang dikendalikan. Yang hanya bisa menuruti setiap katanya dari awal sampai akhir. Zinde tidak mau, dia tidak bisa menuruti permintaannya yang satu ini.
Maka di siang hari itu dia memutuskan untuk keluar dari ruangan Papanya, menghabiskan waktu setengah jam untuk menangis di butik miliknya dan menghampiri Raka di jam tiga sore padahal laki-laki itu sedang sibuk bekerja.
Untungnya Zinde pandai dalam hal make-up jadi dia tidak perlu khawatir bahwa Raka bisa menemukan bengkak kecil pada matanya sehabis menangis. Dirinya datang dengan sebuah senyum padahal hatinya tengah gelisah setengah mati, rasanya Zinde ingin menangis lagi ketika Raka memeluknya secara tiba-tiba lalu mengatakan bahwa dirinya rindu. Bagaimana bisa Zinde hidup tanpa laki-laki ini?
Selama satu jam penuh, sesuai dengan kalimatnya yang mengatakan bahwa dia akan menunggu, Zinde benar-benar melakukannya. Ketika Raka benar-benar disibukkan dengan segala pekerjaan yang menumpuk, maka dari tempatnya duduk Zinde hanya menatapinya tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun.
“Sayang.”
Sapaan lembut itu mengantarkan Zinde untuk kembali pada masa di mana sekarang dia berpijak, rooftop kamarnya. Zinde bahkan baru ingat jika dia sudah pulang dan Raka memilih untuk menginap di tempatnya.
Ada dua buah lengan yang melingkar indah di perutnya, mengganggu ketenangan Zinde yang sedang menatapi langit sembari melamunkan hal-hal yang sudah terjadi di hari ini. Jika tidak salah menebak pasti sekarang pukul satu atau dua dini hari, mungkin Raka terbangun karena tidak menemukan Zinde di sampingnya, nyatanya dia memang tidak bisa tidur karena terlalu banyak pikiran.
“Kamu kenapa enggak tidur?” Suara Raka terdengar berbisik di telinga kirinya, Zinde mengintip dan kedua netra laki-laki itu kembali tertutup dengan dagu yang menumpu di bahu kirinya, pasti dia masih mengantuk.
“Aku nggak bisa tidur,” jawab Zinde jujur.
“Kamu ada masalah, ya?” tanya Raka tiba-tiba, “sebenernya aku nggak mau tanya karena aku mau nunggu kamu sendiri yang cerita, aku nggak mau maksain privacy kamu buat harus selalu dibagi sama aku. Tapi sebenernya aku tau kamu habis nangis tadi sore, waktu kamu dateng ke kantor aku, aku tau ada yang nggak beres sama kamu, make-up kamu kurang pinter nih, ketauan sama aku kan jadinya.”
Zinde terkejut tentu saja, bagaimana bisa Raka mengetahui hal itu padahal dirinya sudah menutupi dengan amat sangat rapi.
“Aku udah kenal kamu lamaaa banget, kamu nggak akan bisa nutupin hal kayak gitu dari aku.” Raka berkata lagi, yang tak lain langsung menjawab seluruh tanya yang ada dikepala Zinde saat ini.
“Aku nggak apa-apa kok, serius. Aku cuma capek aja hari ini.”
Raka tidak menjawab selama beberapa detik, namun pada akhirnya dia bangun dan menarik lengan Zinde untuk kembali ke tempat tidur.
“Sini biar kamu nggak capek lagi sekarang kita tidur, aku bakal peluk kamu sampai pagi.”
Zinde menurut dengan kelegaan luar biasa, berharap bahwa Raka percaya dengan kalimatnya barusan.
Namun Zinde lupa kalau Raka sempat berkata bahwa dirinya sudah mengenal gadis itu lama sekali, maka tentu saja Raka tau kalau gadis itu sedang berbohong saat ini.