43 : Hari Pertama Bekerja

1077 Kata
            Nabila melangkahkan kedua kakinya dengan yakin memasuki Rumah Sakit Pelita, dirinya sekarang sudah bekerja di Rumah Sakit tersebut atas rekomendasi dari Dokter Sonda yaitu pemilik Rumah Sakit itu sendiri. Nabila memang pintar dan prestasinya sudah terbukti dimana-mana, hal itulah yang membuat Sonda tanpa berpikir dua kali langsung menerima Nabila ketika Daniel bilang bahwa Nabila ingin bekerja di Rumah Sakitnya.             Kebetulan juga ada Jeno yang merupakan keponakannya, memiliki profesi yang sama dengan perbedaan spesialis dengan Nabila, maka dirinya bisa memasukkan dua orang itu sekaligus ke dalam Rumah Sakitnya sebagai tambahan Dokter.             Nabila selalu mengulas senyum tiap kali ada yang saling pandang dengannya, dia tidak tahu apakah itu pasien, keluarga pasien, atau bahkan orang-orang yang sudah bekerja di sini, biar nanti Nabila coba ingat-ingat wajahnya selagi memulai pekerjaan agar dia bisa menyapa juga bila bertemu jadi tidak hanya melempar senyum saja.             “Oit!” sapaan serta tepukan halus membuat Nabila refleks menoleh lalu menemukan Jeno sudah berdiri di sampingnya. Mereka berdua kini tengah menunggu lift untuk naik ke lantai empat di mana ruangan mereka berada.             “Halo, partner kerja,” sapa Nabila pada laki-laki itu.             Jeno tertawa kecil. “Adem banget pagi-pagi udah liat yang cantik aja,” godanya pada Nabila yang justru dibalas dengan decakan.             “Jangan mulai deh, Jen.”             “Iya, iya, enggak. Gue bercanda.”             Memang ini salah satu yang Nabila butuhkan dari kehadiran Jeno di Rumah Sakit ini. Dia tidak akan kesepian karena menjadi orang baru jika sudah mengenal Jeno, sifatnya yang supel pasti akan membawa Nabila pada obrolan-obrolan singkat sehingga dia tidak akan sendirian. Walaupun nantinya ruangan mereka juga berada di tempat yang berbeda, namun Jeno sudah berjanji untuk sering-sering mengunjungi Nabila dijam kosongnya, apalagi ketika makan siang akan bisa dipastikan bahwa Nabila tidak mungkin sendirian.             “Gue tebak pasti Barga cemburu banget ketika tau lo bakal kerja bareng gue.”             Memang benar, tapi Nabila menolak untuk mengaku.             “Enggak, Barga nggak cemburu.”             “Hm, padahal dulu dia kesel banget pas gue bilang mau ngerebut lo.”             Jeno langsung tertawa kencang ketika Nabila serta merta menatapnya dengan tatapan memperingati, kenapa sih gadis ini sensitif sekali tiap kali Jeno membahas tentang pacarnya ataupun hal-hal yang bisa menimbulkan perselingkuhan? Padahal ‘kan niat Jeno hanya bercanda.             Ya, niatnya saat ini memang hanya untuk bercanda.             Tidak tau untuk besok, besoknya lagi, besok-besoknya lagi, kita lihat saja nanti.             Pintu lift terbuka Nabila dan Jeno segera masuk ke dalam, tujuan Nabila adalah lantai empat tapi ternyata Jeno akan pergi ke lantai enam karena katanya dia ada sedikit urusan dengan pamannya, Dokter Sonda.             “Bil, nanti kalo mau makan siang jangan lupa kabarin gue.” Jeno mengingatkan kala Nabila ingin keluar di lantai empat, gadis itu hanya mengangguk dan mengacungkan jempolnya sebagai jawaban untuk Jeno.             Nabila langsung berjalan menuju ruangannya, kemarin Dokter Sonda sudah mengenalkannya pada salah satu senior bernama Dokter Rani yang akan memberitahunya beberapa hal sebelum mulai bekerja, Nabila juga diberikan asisten pribadi bernama Mark yang akan membantunya selama dia bekerja disini.             Ketika membuka pintu ruangan gadis itu sudah dihadapkan oleh orang-orang yang sudah dia jelaskan sebelumnya. Ada Dokter Rani di sana dan satu orang laki-laki yang sepertinya seumuran dengannya dan Nabila yakini bahwa dia adalah Mark.             Penyambutan Nabila sungguh sederhana, mereka menyambutnya dengan baik dan Nabila suka orang-orang di sini karena mereka ramah. Hari pertama pasti akan dijalaninya dengan gembira. Perjuangannya menempuh pendidikan hingga sampai di titik ini akhirnya terbalaskan.             Yang tidak akan pernah Nabila lupakan hari ini adalah, mengabari Barga bahwa hari ini ternyata menyenangkan. *             “Pak Raka ada Ibu Zinde di luar.”             Raka yang sedang tenggelam di dalam tumpukan pekerjaan langsung tersadar dengan ekspresi sangat terkejut begitu mendengar suara sekretarisnya dari telepon.             Zinde sekarang ada di kantornya dan ada di luar ruangannya?!             “Pak? Ini Ibu Zindenya di suruh masuk aja apa gimana?”             “Suruh masuk aja sendiri, ya. Terima kasih.”             Tak lama setelah telepon tertutup, pintu ruangan Raka langsung terbuka dan benar saja ada Zinde di sana. Dia menyapa Raka dengan cengiran lucu yang tentu saja langsung membuat Raka gemas setengah mati.             “Kamu ngapain?” Raka berdiri dari kursi kerajaannya, meninggalkan tumpukan pekerjaan yang membuatnya pusing sedari tadi, lalu menghampiri Zinde yang sudah mendudukkan dirinya di sofa pada ruangan Raka.             “Main? Hm, nggak tau sih aku tiba-tiba pingin ke sini aja, aku ganggu kamu, ya?” tanya Zinde merasa tak enak karena dia sempat melirik tumpukan pekerjaan di meja laki-laki itu.             “Enggak kok, kamu enggak pernah ganggu aku.”             “Bohong.”             “Bener, justru aku seneng kamu ke sini, sekalian biar aku bisa charger energi.” Setelah mengatakan itu Raka langsung menarik Zinde dan memeluk gadis itu kelewat erat. “Kangen banget,” ujarnya.             Zinde membalas pelukannya, mengusap punggung Raka dengan pelan, berharap sedikit beban dari pundak laki-laki itu bisa terangkat. “Aku juga kangen sama kamu.”             “Aku duduk di sini dan kamu lanjutin kerjaan kamu juga enggak apa-apa, Ka. Sekarang juga udah jam tiga dan jam empat kamu pulang ‘kan?” tanya Zinde selepas Raka melepaskan pelukan mereka.             “Masa kamu ke sini tapi aku anggurin.”             “Nggak apa-apa, aku bisa duduk di sini nungguin kamu sampai nanti kita pulang bareng, kamu lanjutin aja kerjaan kamu.”             “Bener nggak apa-apa?”             Zinde mengangguk yakin, “iya, enggak apa-apa. Yang penting aku udah berhasil lihat kamu hari ini.”             Usapan lembut mendarat di atas kepala gadis itu ulah dari tangan Raka. “Kalo kamu laper dan mau makan sesuatu langsung bilang ke sekretaris aku aja, ya sayang.”             “Siap.”             Tak heran lagi, semua orang di kantor ini pun mengetahui hubungan Raka dan Zinde, walaupun tidak sering kemari tapi semua orang sudah mengetahui tentangnya, maka tak heran lagi jika Zinde bisa melakukan hal demikian.             Dia bisa dengan mudahnya meminta makanan pada sekretaris Raka jika dia kelaparan, namun saat ini Zinde tidak akan melakukan apapun selain memperhatikan Raka yang sedang sibuk dengan pekerjaannya.             Selama satu jam penuh akan Zinde gunakan dengan memandangi wajah laki-laki itu sampai dirinya puas dan semoga saja sesuatu yang mengganggu isi kepalanya bisa Zinde hilangkan.             Sebenarnya ada sebuah alasan dibalik kunjungan Zinde hari ini. Ada sebuah masalah yang baru saja hadir dan hanya dirinya sendiri yang mengetahuinya, Zinde tidak bisa menceritakan masalah ini kepada siapapun karena dia takut orang-orang akan terluka nantinya. Maka selama masih bisa memandangi Raka sepuasnya maka akan Zinde lakukan.             Dia tidak perduli jikapun nantinya dia akan benar-benar pergi untuk meninggalkan laki-laki itu. Yang penting hari ini dia akan terus bersama Raka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN