“Jadi intinya tuh lo cemburu ‘kan, karena Nabila ketemu lagi sama Jeno?”
“Gue nggak ada bilang kalo gue cemburu!”
“Udahlah, Abang tuh nggak akan mau ngaku kalo dia cemburu.”
Barga menatap kedua saudara kembarnya dengan raut kesal, saat ini mereka sedang berkumpul di kamarnya, sewaktu pulang tadi Barga membawa dua box pizza ukuran besar dan mengajak dua saudara kembarnya makan bersama secara tiba-tiba, padahal alasan yang lebih penting ialah untuk bercerita tentang Nabila.
Tapi alih-alih mendapatkan saran atau kalimat yang menenangkan, kedua saudaranya itu justru meledekinya habis-habisan karena dirinya yang tidak mau jujur. Mereka bilang Barga itu cemburu, padahal dia sendiri merasa lebih ke takut daripada cemburu. Barga tau betul bagaimana sifat Jeno dulu sewaktu masih berteman dekat, laki-laki itu kerap kali menjadi incaran wanita karena parasnya yang tampan, bagaimana jika Nabila ikut jatuh dalam pesonanya?
“Abang, lo tuh kenapa sih? Udah jelas-jelas Nabil pilih lo dari beberapa tahun yang lalu dan ninggalin gue sama Raka, terus kenapa lo masih ragu sama perasaan dia? Padahal lo sendiri paham gimana sifat pacar lo itu, dia sayang banget sama lo kalo perlu gue ingetin, jangan coba-coba lo pikir dia bakal nggak setia.” Aksa mengingatkan dengan nada bicara yang sedikit kesal, apa sih yang perlu dikhawatirkan dari seorang Nabila? Aksa bahkan merasa bahwa Nabila sudah tepat memilih Barga, jadi tidak akan mungkin jika gadis itu sampai berpaling.
“Gue percaya sama Bila, sumpah gue tuh percaya. Tapi masalahnya yang nggak gue percaya disini itu Jeno, lo semua tau dia itu cakep dan gue kalah untuk hal itu, mana dia juga lulusan kedokteran dimana itu bidang yang Nabila suka banget. Tadi Nabila juga sempet cerita kalo ternyata mereka punya banyak kesamaan dan suka ketemu dibidang-bidang yang mereka suka, makanya gue tuh… khawatir. Lo berdua paham nggak sih, gue bukan cemburu.”
Raka dan Aksa langsung saling pandang lama begitu mendengar kalimat panjang yang Barga ucapkan lebih tepatnya seperti isi hati. Mungkin mereka berdua sedang memikirkan hal yang sama tentang apa yang terjadi dengan Abangnya tersebut.
“Bang, ini lo lagi insecure?” tanya Aksa hati-hati takut menyinggung, namun bukan omelan yang didapatkan Barga justru hanya menghela napas panjang mendengar pertanyaan Aksa.
Benar, Barga sedang tidak percaya diri sekarang.
“SERIUS ABANG GUE INSECURE?! SEORANG BAGASKARA LAGI INSECURE?!” Heboh Raka seperti biasanya, dia memang sulit sekali melihat situasi dan selalu bertingkah semaunya, tapi tak apa itu memang tipikal Raka dan tidak akan ada yang bisa menghentikannya.
Namun kehebohan itu tidak berhenti sampai di sana, pasalnya Raka langsug mengoceh panjang lebar dan menjelaskan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh dirinya.
“Bang, lo pikir deh, lo juga kerja sebagai pilot itu jadi suatu pencapaian yang besar menurut gue, lo berhasil wujudin apa yang lo mau itu jadi sebuah kebanggaan, Bang. Lo pasti ngerti nggak semua orang di dunia ini punya minat dan bakat yang sama, begitupun dengan lo sama Nana. Tapi bukan berarti karena Nana punya banyak kesamaan dari laki-laki lain yang merupakan teman lo sendiri lo malah jadi ngerasa nggak percaya diri dan takut dia jadi berpaling. Lo lupa kalo Ayah lo itu Daniel Bagaskara? Dia punya semuanya bahkan kalo lo mau minta jodohin sama Nana tanpa perlu lo susah payah berjuang juga dia bisa. Jangan lo pikir lo nggak punya apa-apa, bahkan menurut gue sendiri lo lebih keren dari Jeno.”
Baiklah, terimakasih Raka untuk kalimat panjang lebarnya.
Tapi itu tidak membantu sama sekali, karena wajah Barga tidak sedikit pun menunjukkan perubahan ekspresi. Dia justru kelihatan semakin sedih entah karena apa.
Aksa yang mulai merasa kesal pada akhirnya berjalan mendekati Barga yang tengah duduk di atas kasur— karena sebelumnya Aksa duduk di sofa bersama Raka untuk menikmati pizza yang diberikan. Dia berdiri dan bersidekap menatap Barga dengan pandangan remeh.
“Mana Abang gue yang dulu dingin dan nggak peduli sama omongan orang?”
Tembakan pertama.
“Mana Abang gue yang dulu ngorbanin banyak hal demi bisa dapetin Nabila. Jagain Nabila selama masa penyembuhan, nggak pernah pergi kemana-mana dan selalu ada disamping dia?”
Tembakan kedua.
“Mana Abang gue yang dulu seneng kebangetan karena diterima jadi pacarnya Nabila?”
Tembakan ketiga.
“Buat apa lo kejer dan dapetin semua itu kalo sekarang baru ketemu Jeno dikit lo langsung khawatir berlebihan?”
Barga langsung diam seribu bahasa.
“Abang, denger gue,” ujar Aksa serius. “Nabila itu sayang sama lo, dan case close. Lo nggak perlu takut sama apapun lagi karena kenyataannya hati dia cuma buat lo.”
Aksa ini… luarnya saja yang kelihatan seperti anak kecil namun dia bisa menjadi paling dewasa jika memang dalam hal-hal terdesak. Dia juga yang pasti akan selalu mengingatkan tiap kali Barga atau Raka berbuat sesuatu hal yang keterlaluan, apalagi jika menyangkut pacar masing-masing. Karena Aksa terkenal sangat menyayangi Lalisa dan mengusahakan yang terbaik untuk gadis itu. Barga sih terlihat hampir mirip walaupun dirinya lebih dewasa dibandingkan saudara ketiganya itu. Tapi Raka, mungkin Aksa kadang terlalu lelah menasehati Kakaknya yang satu itu karena terlalu sering berbuat jahat kepada Zinde.
Sebenarnya tidak berbuat jahat sih, hanya saja perlakuannya jauh dari kata romantis. Dan Aksa akan menjadi orang nomor satu yang memaki-maki Raka, memarahinya sebelum akhirnya dia nasehati panjang lebar jika menyakiti Zinde.
Itulah mengapa Nabila bilang pada Lalisa bahwa Aksa dan Lalisa memang cocok satu sama lain, karena nyatanya mereka memang saling membantu, baik untuk masalah mereka sendiri maupun masalah orang lain. Mereka berdua akan turut serta jika memang diperlukan sebuah pencerahan, dan menasehati yang bersangkutan hingga ke titik di mana orang tersebut akan sadar bahwa apa yang sedang dia lakukan itu tidaklah benar.
Dan sekarang sedang terjadi pada Barga.
Karena setelah Aksa mengatakan kalimat terakhirnya, Barga langsung sadar bahwa itu semua benar.
Nabila sayang sama lo, lo nggak perlu takut sama apapun lagi karena kenyataannya hati dia cuma buat lo.
Aksa benar, Nabila sudah memilihnya dan berarti gadis itu sudah menyerahkan hatinya sepenuhnya pada Barga. Apalagi yang perlu Barga takuti?
Masalah Jeno, biarkan saja jika nantinya dia memang ingin menggoda Nabila karena gadis itu tidak akan pernah bisa tergoda, hatinya hanya untuk Barga, dari dulu dan sampai sekarang.
Barga seharusnya hanya perlu menaruh rasa percayanya sebagaimana Nabila selalu percaya kepadanya, karena mereka berdua memang tidak akan pernah saling meninggalkan entah sampai kapanpun itu.