Barga tidak pernah mau memberitahu setiap kali Nabila bertanya bagaimana kabar laki-laki bernama Jeno. Nabila baru tahu Barga kembali berteman dengan Jeno setelah dia dinyatakan telah sembuh total dari traumanya di tahun-tahun lalu, karena sebelum itu dia masih belum bisa mendengar nama-nama orang lain— terutama untuk para laki-laki, selain dengan orang-orang yang selalu berada di sekitarnya; Ayahnya, Ayah dari triplets, Dokter Sonda dan triplets itu sendiri, sisanya tidak akan mau Nabila ingat kehadirannya.
Dulu memang separah itu dan penyembuhannya pun membutuhkan waktu yang lama, Nabila harus bolak-balik ke rumah sakit untuk check up selama enam bulan lamanya, memastikan bahwa setiap pertemuan akan ada perubahan karena banyak sekali orang-orang yang berharap bahwa gadis itu bisa sembuh dan kembali seperti Nabila yang dulu.
Besar harapan jatuh dari kedua orangtua gadis itu. Mengingat bahwa Nabila adalah anak semata wayangnya maka gadis itu amat di jaga dan diberikan pengobatan penuh agar bisa sembuh.
Dan sekarang setelah dirasa bahwa dirinya sudah baik-baik saja, ditambah dengan pertemuannya bersama Jeno siang tadi mengantarkan Nabila pada sebuah pernyataan yang dilayangkan pada Barga pada pukul delapan malam.
“Tadi siang aku ketemu Jeno di rumah sakit.”
Barga yang benar-benar baru saja menjatuhkan dirinya untuk duduk di kursi teras Nabila langsung menoleh ke arah gadis itu dengan cepat. “Aku baru banget mampir, baru nyampe, tapi kamu langsung bilang kalo tadi siang kamu ketemu sama cowok lain?”
Mulai deh nyebelinnya keluar.
“Cowok lain apa sih? Jelas-jelas Jeno itu temen kamu ‘kan? Kamu sendiri loh yang dulu cerita ke aku kalo kalian udah baikan lagi, bahkan dia sempat bantu kamu cari info tentang keberadaanku.”
“Ya, kenapa harus Jeno?”
“Aku juga enggak tau? Namanya juga kebetulan ketemu terus aku harus apa? Masa pura-pura nggak kenal? Itu mah kamu kali tiap ketemu temen SMA dan kalo di bilang ‘ih barga sekarang udah berubah ya, nggak kayak dulu yang irit ngomong’ kamu pasti langsung pura-pura nggak kenal dan pergi ninggalin orang itu, iya, ‘kan?” balas Nabila panjang lebar, menceritakan sedikit kejadian yang dialami oleh Barga beberapa tahun lalu.
“Kok kamu jadi ngungkit-ngungkit itu sih?”
“Aku ‘kan cuma cerita, kenapa kamu sensi banget sih?”
Yah, ini berdua malah berantem.
Bahkan suara dehaman keras dari Ayah Nabila terdengar dari dalam rumah yang menandakan bahwa mereka berdua sudah terlalu berisik dan ribut dengan dunia mereka sendiri. Tak jarang hal seperti ini terjadi, sekali dua kali mereka memang pernah bertengkar kecil dan memperdebatkan hal-hal tidak penting.
Itu tadi contohnya.
Tapi kali ini Barga serius, setiap kalimatnya tadi sudah sarat akan kekhawatiran sejak pertama kali gadisnya itu membuka obrolan. Jeno katanya? Untuk apa Jeno bertemu dengan Nabila? Apa Jeno berencana merebut gadis ini kembali dan ingin menjadikannya rival lagi? Begitulah kira-kira isi kepala Barga saat ini, berbagai kemungkinan yang bahkan belum terbukti benar atau tidaknya.
“Terus setelah ketemu Jeno ngapain kamu?” tanya Barga lagi kembali ke topik utama karena sumpah demi apapun dia benar-benar penasaran sekarang.
Nabila mendecih kesal, pertanyaan Barga benar-benar aneh sekali menurutnya, tapi biarkan sajalah karena pada akhirnya Nabila bercerita juga. “Dia bilang kalo selama ini dia hilang karena kuliah dokter di luar negeri, jangan bilang kamu udah tau sebelumnya? Tapi oke itu nggak penting. Yang pasti ternyata Jeno itu keponakannya Dokter Sonda dan dia berencana buat kerja di Rumah Sakit itu juga, dengan begitu kemungkinan besar aku sama Jeno bakal masuk barengan sebagai Dokter baru di sana bulan depan nanti.”
“Bila, kamu batal aja deh ya kerja di sana? Nanti aku minta bantuan Papa buat cariin Rumah Sakit lain, kamu ‘kan tau jaringa Papaku luas banget.” Barga berucap cepat setelah Nabila berhasil menyelesaikan ceritanya, sebuah kalimat panjang yang sangat menandakan bahwa laki-laki itu takut, takut kehilangan sosoknya, padahal Nabila tidak akan kemana-mana.
Setelah menghela napas kasar dan menatap Barga lekat-lekat gadis itu bertanya, “kenapa? Kenapa kamu mau aku pindah rumah sakit?”
“Biar kamu nggak deket-deket sama Jeno,” jawab Barga cepat.
“Barga kamu sadar enggak sih, sekarang aku merasa bukan lagi ngobrol sama Barga tapi sama Raka. Sifat kamu sekarang ini bener-bener bukan Barga banget, kamu cemburu, iya, ‘kan?” tebak Nabila yang sudah pasti tepat sasaran, gadis itu akan selalu bisa membaca gerak-gerik yang sedang terjadi pada kekasihnya.
“A-aku….” Dan benar saja Barga langsung kehilangan seluruh kalimatnya.
Nabila tertawa kecil lalu menggapai sebelah tangan Barga untuk dia genggam sedemikian erat. Sejak kapan Barganya menjadi pencemburu seperti ini? Sejak kapan Barganya bisa bertingkah seperti anak kecil kala cemburu dirinya dekat dengan orang lain? Setau Nabila, Barga akan selalu biasa saja dan cuek dengan hal-hal sekitar.
Tapi ternyata Barga yang sekarang sudah tidak seperti itu lagi.
“Memangnya kamu pikir aku mau ngapain sih? Aku mau pergi gitu dari kamu?” tanya Nabila dengan suara lembut, kedua netranya tak lepas memandangi Barga begitupula dengan kedua tangannya yang sedang menggenggam salah satu tangan laki-laki itu. “Aku nggak akan kemana-mana, aku rasa kamu tau dan paham alasan aku nggak bakal ninggalin kamu. Aku sayang kamu, Barga dan akan selalu seperti itu. Nggak mungkin aku ninggalin kamu yang udah setia sama aku selama bertahun-tahun?”
Barga melunak, melihat Nabila yang tiba-tiba menjadi manis seperti ini membuat Barga tidak bisa mempertahankan perilaku cemburunya barusan. Semua seolah menguap tergantikan dengan rasa sayangnya setelah melihat wajah gadis itu. Nabila benar, gadis itu hanya mencintainya jadi apa lagi yang perlu dirinya khawatirkan?
Maka dengan satu gerakan Barga menarik Nabila untuk masuk ke dalam pelukannya, memberikan kehangatan disela-sela dinginnya hilir angin malam, menenggelamkan kepala gadis itu pada dadanya yang berdegup cepat setiap saat berada di dekatnya. Barga mengusap kepala Nabila dengan gerakan halus, takut menyakiti.
“Aduh, rasanya capek aku langsung hilang kalo udah peluk kamu gini. Padahal tadi seharian aku sibuk banget terbang, capek tau malah cemburu.” Barga mengadu, menceritakan keluh kesahnya yang justru dibalas tawa kecil oleh Nabila.
“Salah sendiri kenapa cemburu, padahal aku cuma cerita biasa aja. Aku cuma seneng karena nanti waktu kerja aku nggak perlu takut sendirian, seenggaknya kalo aku kenal Jeno di sana aku jadi bisa punya temen ngobrol.”
Justru itu yang aku takutin, Bila.
“Kalo aku sendirian aku takut jadi bosan, Barga. Kamu tau sendiri aku orangnya kayak apa dan aku rasa Jeno juga asik-asik aja buat dijadiin teman. Kamu nggak perlu khawatirin aku karena nanti kamu bisa minta tolong Jeno buat jagain aku di sana.”
Aku nggak mau titip kamu ke dia, karena aku takut dia rebut kamu dari aku.
“Barga, kamu denger aku ‘kan?”
Barga mengulas senyum tipis lalu kembali mengusap kepala gadis itu dengan pelan, “aku denger.” Tanpa berani menjawab seluruh kalimat yang sempat dirinya katakan di dalam hati.
Barga tau, Jeno pernah menyukai gadis ini. Dan Barga takut jika rasa itu berbalik, bagaimana jika nanti Nabila yang menyukai Jeno?