40 : Bertemu Teman Lama

1065 Kata
            Tidak terasa Nabila sudah mengambil jatah libur untuknya beristirahat dari rutinitas selama dua minggu. Karena tidak mau terlalu lama berdiam diri dan sudah merasa mulai bosan dengan kegiatan yang itu-itu saja akhirnya hari ini Nabila akan mengunjungi Rumah Sakit Pelita untuk bertemu dengan dokter Sonda yang kebetulan seorang Dokter dan juga pemilik Rumah Sakit itu.             Nabila sudah memberitahu Barga sebelumnya bahwa dia sudah siap mengambil kesempatan untuk bekerja di Rumah Sakit itu, dan tentu saja Barga senang, dia memberitahu Papanya agar akses Nabila masuk ke sana akan lebih mudah. Padahal tanpa akses orang dalam pun Nabila sudah pasti akan diterima karena gadis itu merupakan salah satu lulusan terbaik akibat otak cerdasnya.             Pukul sepuluh kurang lima belas menit Nabila sudah sampai di Rumah Sakit dan janji temunya dengan Dokter Sonda adalah pukul sebelas, masih ada waktu lima belas menit sebelum Nabila harus mendatangi ruangannya, lagipula dia tidak bisa ke sana sekarang karena Dokter Sonda pasti masih memiliki kegiatan dengan pasiennya, maka Nabila memilih untuk berkeliling lebih dulu setelah mengabari Barga lewat pesan chat bahwa dia sudah sampai.             Namun ketika sampai dibelokan salah satu koridor Nabila secara tak sengaja bertabrakan dengan seseorang, bahunya tegap dan Nabila bisa langsung memastikan bahwa itu laki-kaki.             “Maaf, maaf banget, aku nggak sengaja,” ujarnya langsung berbalik merasa tak enak.             “Nggak apa-apa, harusnya gue yang minta maaf, bahu lo pasti sakit,” balas laki-laki itu. Benar juga, Nabila tak bisa mengelak karena kenyatannya bahunya benar-benar sedikit sakit setelah bertabrakan.             “Loh? Nabila?”             Familiar.             Laki-laki itu mengetahui namanya dan entah mengapa Nabila merasa familiar dengan suaranya. Menoleh untuk memastikan siapa gerangan di depannya Nabila justru langsung terkejut ketika benar nyatanya mereka berdua memang saling mengenal.             “Jeno? Jeno ‘kan, ya, bener?” tanya Nabila takut salah memastikan.             “Iya, gue Jeno. Temennya Barga.”             Jeno, benar dia Jeno. Laki-laki yang sempat pernah menjadi sahabat lalu berubah menjadi musuh yang merangkap rival dan kemudian berteman lagi dengan Barga. Ada sebuah jalinan kenangan masa lalu di antara mereka, sekadar pertemuan biasa di depan gerbang sekolah kala Nabila mengejar Raka waktu itu.             Familiar ‘kan?             “Apa kabar? Nggak pernah dengar kabarnya lagi deh dari Barga.”             Jeno mengajak Nabila untuk menepi dan duduk pada salah satu kursi Rumah Sakit sambil berkata, “Iya, gue kuliah di luar negeri Bil makanya enggak pernah keliatan, ini juga baru banget pulang dari tiga bulan yang lalu kayaknya? Haha lupa gue.”             “Terus sekarang di sini ngapain Jen? Lo sakit atau jenguk ada yang sakit?” tanya Nabila lagi, entah kenapa senang saja mengobrol dengan Jeno karena rasanya obrolan mereka selalu sefrekuensi.             “Oh, enggak. Gue abis ketemu sama oom gue, ngajuin buat kerja di sini sih soalnya dia juga nawarin, dari dulu juga udah pingin di sini.”             “Ih seriusan?!” Jeno langsung mengangguk untuk menjawab pertanyaan Nabila. “Jangan bilang lo kuliah di luar negeri ambil dokter?!” tanyanya lagi, tambah antusias.             “Iya, dokter hehe.”             “Loh sama kayak gue?!” sahut Nabila semakin antusias.             Jeno juga sama kagetnya. “Dulu lo sama gue jadi peserta di ajang olimpiade yang sama, ternyata kuliah juga ambil jurusan yang sama, dan kalo liat lo ke sini sih kayaknya kita punya tujuan yang sama, ya?” tebak Jeno tepat sasaran.             Kenapa sih mereka berdua selalu nyambung dan punya minat serta keinginan di bidang yang sama? Rasanya Nabila menemukan setengah dari dirinya karena Jeno memang senyambung itu dengannya, laki-laki itu juga menyenangkan diajak bicara.             “Lo masih sama Barga, Bil?” pertanyaan tiba-tiba dari Jeno yang langsung dibalas anggukan dari Nabila. “Anak itu apa kabarnya, ya? Katanya sekarang udah jadi pilot bukan?”             Anggukan kedua dari Nabila. “Iya, Jen. Barga sekarang udah jadi pilot dan sibuk banget karena jam terbangnya padet.”             “Gue udah lama nggak balapan sama dia, jadi kangen.”             “Jangan coba-coba lo ajakin Barga balapan lagi,” ancam Nabila dengan cebikan kesal. “Barga udah lama nggak balapan juga, gue nggak mau dia kenapa-kenapa lagi, jadi jangan diajakin, ya, Jen.”             Jeno tertawa melihat bagaimana Nabila sangat mengkhawatirkan temannya itu. Jelas sekali terlihat di wajah gadis itu bahwa dia memang benar-benar khawatir dan mau tak mau Jeno langsung mengiyakan permintaannya.             “Lo sendiri gimana, Bil? Udah nggak kenapa-kenapa ‘kan, setelah kejadian terakhir itu?”             Nabila mengulas senyum lembut, sebenarnya tak menyangka bahwa Jeno akan mengungkit hal ini, tapi tak masalah karena dirinya sudah baik-baik saja. “Udah baik kok, buktinya sekarang gue udah bisa ngobrol sama lo gini, gue udah nggak apa-apa.”             “Bagus deh kalo gitu gue ikut seneng dengernya. Gue masih inget banget gimana khawatirnya Barga waktu itu, dia sampai datengin gue dan hampir nonjok gue di depan orang banyak karena ngira gue dalang dari penculikan lo, padahal gue nggak tau apa-apa.”             “Sorry ya, Jen.” Nabila langsung merasa bersalah. “Gue tau mereka pasti kalut banget dulu, bahkan Zinde juga sempet cerita kalo Barga marah-marah sama dia padahal dia juga nggak tau apa-apa. Semua emang murni dilakuin sama orang asing yang nggak dikenal tapi syukurnya mereka semua udah ketangkep dan dikasih pelajaran sesuai sama apa yang udah mereka lakuin ke gue. Maaf sekali lagi, atas nama Barga gue minta maaf karena udah ngelakuin hal kayak gitu ke lo.”             “Kenapa jadi lo yang minta maaf deh? Lo nggak salah kali, justru lo korban di sini.” Jeno terkekeh lagi. “Tenang aja, pacar lo itu udah minta maaf sama gue dan buktinya sekarang kita udah nggak marahan lagi, walaupun emang nggak sedeket dulu tapi gue seneng udah baikan sama Barga, karena gimanapun juga dia dulu temen gue.”             “Seneng dengernya,” sahut Nabila tulus. Menyadari bahwa ada juga banyak orang yang menyayangi Barga membuat Nabila bersyukur.             “Lo juga, gue seneng denger kabar kalo lo udah beneran baik-baik aja, Bila.”             Ponsel Nabila tiba-tiba saja bergetar, ada panggilan masuk dari Dokter Sonda dan dia baru sadar bahwa sekarang sudah jam sebelas lewat sedikit yang berarti dia lupa waktu karena berbicara dengan laki-laki ini.             Dengan panik Nabila bangkit berdiri, lalu berkata pada Jeno bahwa dia harus pergi sekarang karena tak enak sampai Dokter Sonda menghubunginya. Tak masalah, pertemuan mereka kala itu bisa dijadikan sebuah pengalaman untuk mengenang yang telah lalu.             Dan mengingat bahwa Jeno juga akan bekerja di sini, berarti masih ada lain waktu untuk berbicara lagi ‘kan? Nabila senang karena setidaknya dia bisa punya teman nantinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN