39 : Girls Time

1149 Kata
            Salah satu moment paling menyenangkan yang masuk ke dalam list kesukaan Nabila adalah berkumpul dengan dua sahabatnya— Lalisa dan Zinde. Menghabiskan waktu dengan mereka berdua selama sehari penuh, melakukan hal-hal dalam ranah waktu girls time menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan untuk dilakukan.             Mereka sudah membuat rencana sebelumnya, dengan masing-masing orang memberi satu ide dan sisanya akan mengalir dengan bebas. Zinde meminta agar mereka pergi ke salon, lalisa yang meminta untuk berbelanja, dan Nabila yang meminta untuk bisa makan bersama. Sebenarnya tanpa perlu rencana pun mereka sudah akan bisa melakukan hal-hal tersebut, tapi entah kenapa karena sudah terbawa sejak dulu jadi rutinitas ini akan selalu berjalan jika mereka pergi bersama.             Sesuai dengan keinginan pertama dari Zinde, maka mereka bertiga sudah sama-sama berkumpul di salah satu salon langganan Zinde. Berhubung salon itu juga memiliki penanganan spa yang baik jadi sekalian saja untuk mereka refreshing.             Namun acara seperti ini tidak akan lengkap tanpa bercerita.             “Zinde, Raka gimana? Masih sama?” tanya Nabila memulai percakapan, mengingat terakhir kali bertemu keadaan gadis itu tidak cukup bagus karena marah pada Raka.             “Sibuknya masih sama. Tapi perlakuannya udah beda sih, dia lebih care dari yang sebelumnya dan gue suka dia yang sekarang. Kalo masalah sibuk masih bisa gue toleransi karena gue tau dia beneran sibuk, dia nggak bohong jadi gue nggak masalah.”             “Syukur kalo gitu,” sahut Lalisa tiba-tiba bergabung dengan obrolan, “soalnya gue pusing banget tiap lo berdua lagi berantem pasti gue selalu jadi sasaran spam chat. Apalagi waktu Nabila masih di Malang. Lo harus tau Bil, kalo gue selalu jadi penengah yang baik tiap mereka berdua ada masalah. Zinde yang sibuk cerita dan galau nggak selesai-selesai pasti minta nginep di rumah gue beberapa hari karena dia nggak suka sendirian ‘kan kalo lagi galau.”             “Terus kalo Raka ngapain memang?” tanya Zinde penasaran.             “Raka bakalan spam chat juga nanyain kabar Zinde dari pagi sampe malem enggak berhenti kalo Zinde nolak ketemu sama dia. Sumpah, dibayar juga enggak gue jadi mata-mata, capek iya, tapi tetep aja gue bantuin, kurang baik apa coba gue?”             Nabila tertawa mendengarnya. “Pantesan lo sama Aksa cocok banget, soalnya sifatnya nggak jauh beda ternyata.”             Lalisa cengengesan, “oh, ya jelas sih, gue sama Aksa kan memang cocok lahir batin.,” sahut Lalisa dengan bahagia. “Lo sendiri gimana, Bil? Barga gimana?”             “Kalian liat sendiri aja dia gimana sekarang? Masih sama kok, dia masih sayang gue,” jawaban Nabila tentu saja mengundang sorakan dari Lalisa dan Zinde, sebenarnya tidak ada salahnya menjawab seperti itu tapi bagi Lalisa dan Zinde akan aneh rasanya mendengar Nabila yang berkata demikian.             Karena kalimatnya terdengar seperti terdeteksi bucin.             “Tapi yang gue lihat selama beberapa tahun terakhir tuh Barga jadi berubah banget. Berubah ke yang lebih baik pastinya, setelah beneran jadian sama lo waktu itu dia jadi lebih terbuka? Ya, semacam itu, karena dulu jarang banget kumpul sama kita kalo nggak ada lo, tapi waktu lo di Malang bahkan dia mau-mau aja tiap diajakin kumpul bareng, dan yang lebih penting Barga jadi banyak omong sih.” Lalisa menjelaskan beberapa perubahan yang terjadi pada Barga, ternyata bukan hanya Nabila saja yang merasa demikian tapi yang lainnya juga.             Mungkin karena sudah lama bersama jadi Nabila tidak begitu memperhatikan bahwa laki-laki itu sudah berubah, tapi jika dijabarkan seperti ini rasanya benar juga. Barga yang dulu sudah benar-benar menghilang walaupun masih ada satu atau dua sifatnya yang masih sama.             Percakapan itu terus berlanjut selama kegiatan mereka masih terlaksana, apapun akan mereka bicarakan, mulai dari a sampai dengan z pasti akan selalu ada topik yang akan mereka bahas walaupun kadang di luar konteks pertemanan tapi mereka akan selalu bisa mengobrol dengan nyaman.             Hal itu yang membuat Nabila suka berteman dengan mereka berdua. Mereka tidak pernah menyembunyikan apapun dan mau berbagi terhadap satu sama lain. Pertemanan seperti inilah yang memang Nabila butuhkan, selalu ada antara satu sama lain.             Dua jam berlalu dan kegiatan di salon pilihan Zinde telah selesai. Mereka bertiga akan melanjutkan kegiatan kedua sesuai dengan keinginan Lalisa yaitu berbelanja. Menghabiskan banyak waktu untuk berkeliling ke area pakaian, sepatu, tas, dompet dan sebagainya. Walaupun hanya beberapa barang yang pada akhirnya mereka beli, tapi tidak ada rasanya berkeliling selama berjam-jam, apalagi jika bersama.             Selama berbelanja mereka memang hanya fokus untuk mencari barang dan berpencar di area yang mereka inginkan. Tidak banyak percakapan sebab, keinginan untuk berkeliling lebih mendominasi.             Hingga pada akhirnya mereka selesai di jam tujuh malam lalu mengunjungi satu restoran favorite ketiganya sejak jaman SMA, kala itu Zinde yang sering mengajak mereka bertiga kemari, dan sekarang mereka sudah bisa kemari dan membayar makanan masing-masing. Tapi karena Nabila yang mengajak, maka Nabila juga yang ingin membayar semuanya.             “Bil, gue penasaran deh, setau gue kuliah dokter itu berat banget, tapi selama lo kuliah di Malang lo kuat nggak sih? Maksud gue, lo ‘kan pinter gue akui, kuliah dokter juga itu pilihan lo bukan karena disuruh sama orangtua lo, ada masanya lo capek nggak sih?” tanya Zinde penasaran, dia sudah ingin bertanya hal ini sejak lama namun tak pernah ada waktu yang tepat untuk menanyakan hal tersebut.             “Ada kok,” jawab Nabila jujur. “Kadang juga gue sering ngeluh ke kalian kok walaupun kalian nggak sadar. Kalo gue suka tiba-tiba hubungin dan bilang kangen ke kalian berdua itu tandanya gue lagi capek banget dan pingin banget pulang. Gue nggak pernah bilang secara langsung ke semua orang, tapi Barga selalu bisa nangkap sinyal lelahnya gue. Nggak tau kenapa dia bisa paham banget kalo gue lagi capek, sakit, kesel, marah, mungkin kalian nggak tau tapi beberapa kali Barga sempet nyamperin gue ke Malang ketika dia ada penerbangan ke sana.”             “Gila, bucin juga cowok lo,” ujar Zinde heran.             “Tapi kalo dipikir-pikir lo sering tiba-tiba telpon gue dan bilang kangen? Berarti lo sering capek dong, Bil?”             Pertanyaan Lalisa hanya dibalas senyum oleh Nabila.             “Nabila aja bisa secapek itu, apalagi gue. Untung gua nggak ambil kuliah kedokteran.” Zinde yang membalas. “Ngomong-ngomong, makasih ya udah luangin waktu kalian hari ini buat kumpul bareng, karena jujur aja gue kangen banget kumpul bertiga kayak gini. Terakhir tuh sebelum Nabila berangkat ke Malang ‘kan, ya? Dan setiap dia pulang kita nggak pernah jalan seharian kayak gini karena kita tau kalo dia pasti capek, tapi akhirnya sekarang kesampean juga.”             Lalisa dan Nabila mengangguk bersamaan.             “Gue juga seneng kita bisa kumpul lagi kayak gini.”             Dan selama sehari penuh mereka habiskan dengan kegiatan yang menyenangkan, benar-benar pergi bersama tanpa kehadiran laki-laki di antara mereka, membahas dan melakukan apapun yang menyenangkan hingga pukul tujuh malam ketiganya harus berpisah.             Hal-hal seperti ini pasti terjadi jika mereka sudah butuh refreshing dari padatnya pekerjaan dan lelah dengan apapun yang menjadi rutinitas mereka. Maka tak heran bahwa pertemanan ketiganya benar-benar awet sampai sekarang, karena mereka memang selalu ada untuk satu sama lain.             Sejak dulu dan sampai sekarang akan selalu seperti itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN