“Beneran selesai dalam waktu lima menit ‘kan?”
Nabila terkekeh samar kala mendengar pertanyaan atau lebih tepatnya pernyataan yang keluar dari bibir Barga. Memangnya kenapa kalau dia berhasil menyelesaikan makanannya dalam kurun waktu lima menit? Apakah Barga mengharapkan sebuah hadiah dari Nabila saat mengatakan itu?
Konyol sekali.
Tapi tak apa, Nabila iya iya saja untuk menjawab pertanyaan laki-laki itu. Mungkin inilah salah satu sifat manjanya ketika dia sedang sakit, tapi kalau dipikir-pikir selama enam tahun mereka berpacaran rasanya Barga jarang sekali menunjukkan sifat manjanya. Itu artinya laki-laki itu jarang sakit, bahkan bisa dihitung jari kapan waktu Barga benar-benar tumbang.
“Katanya kamu mau tanya-tanya? Sini kita ngobrol.”
Benar juga, bukannya tadi Nabila sendiri yang bilang bahwa dia ingin bertanya pada laki-laki itu?
Nabila pasrah saja ketika tangan Barga menariknya untuk duduk di sofa ruang tamu, laki-laki itu tidak menghidupkan televisi dan hanya memandangi Nabila dengan tatapan lembut. “Kamu mau tanya apa?” Bahkan suaranya sangat amat lembut ketika bertanya.
Sebelah tangan Nabila terangkat untuk mengusap wajah laki-laki itu, diperhatikannya wajah Barga dengat amat teliti. “Rambut kamu udah lumayan panjang,” komentar Nabila saat menyadari rambut belakang laki-laki itu sedikit lebih panjang daripada yang biasanya.
“Aku belum sempet cukur, kamu mau temenin aku?”
“Boleh, tapi nanti, ya, waktu kamu udah sembuh.”
Barga mengangguk setuju, “katanya tadi mau tanya?” adalah pertanyaan yang sama dengan yang sebelumnya Barga lontarkan, namun sejujurnya Nabila juga tidak tau ingin bertanya apa karena kenyataannya Raka sudah lebih dulu memberitahu alasan mengapa Barga bisa tumbang hari ini.
Sejujurnya Nabila hanya ingin mengobrol dengan Barga sedikit lebih lama.
“Kamu kenapa bisa sakit?” Tidak apa-apa memberikan pertanyaan yang sudah dia ketahui jawabannya, setidaknya pertanyaan ini bisa menjadi pembuka dari obrolan mereka yang lain.
Hanya saja Nabila tidak menduga bahwa jawaban Barga tidak sesuai dengan apa yang Raka katakan.
“Aku sakit karena kangen kamu.”
“Barga, aku serius, nggak lagi bercanda.”
“Aku juga serius. Aku kangen kamu, kangen banget selama empat hari enggak bisa lihat kamu.”
“Oke, aku percaya.” Barga langsung nyengir lebar mendengar jawaban gadisnya. “Ganti pertanyaan kalo gitu, selama empat hari kemarin kamu ngapain aja?”
Barga terdiam, tampak sedang berpikir, berusaha mengingat kembali apa saja gerangan yang dia kerjakan selama empat hari belakangan. “Ngurus laporan tentang pesawat terbang yang jatuh, bantu handle semua pekerjaan pilot yang kebetulan bawa pesawat, dia temen aku, dan terbang.”
“Cape banget, Ga?”
Barga mengangguk. “Banget. Aku tau kalo aku bakal cape kayak gini.”
“Terus kalo kamu tau bakal cape, kenapa dulu kamu tetap ambil penerbangan?”
“Karena aku mau? Enggak tau, tapi aku tertarik banget sama dunia penerbangan. Bila, kamu harus tau kalo salah satu cita-cita aku itu bawa kamu keliling dunia naik pesawat terbang, dan aku sendiri yang terbangin pesawatnya.”
Nabila tertawa dan tak lupa mengaminkan perkataan Barga barusan. Jika memang bisa terjadi, Nabila juga tidak akan menolak jika diajak berkeliling dunia, apalagi bersama dengan orang yang dia cintai, ya, tentu saja Barga.
“Bila,” panggil Barga pelan, “sini deketan.”
Ada tatapan tajam dari Nabila yang tertangkap oleh kedua netra Barga, laki-laki itu kontan tertawa kala menyadari apa maksud dari lirikan gadis itu yang dilayangkan untuknya. Padahal ‘kan Barga tidak berniat aneh-aneh sedikitpun, dia hanya ingin memeluk gadis itu.
“Aku cuma mau peluk, serius. Enggak bakal aneh-aneh,” jelasnya cepat agar gadisnya tak salah paham.
Baiklah, Nabila langsung menurut dan mendekat ke arahnya karena dia juga rindu. Sebelah tangan Barga langsung bertengger di pundak Nabila, memeluknya dari samping dengan erat.
“Bila,” panggil Barga lagi kali ini lebih pelan, “kamu punya rencana menikah… kapan?”
“Mendadak banget nanyanya?!” Nabila langsung memutar tubuhnya untuk bisa melihat wajah Barga lebih jelas dan laki-laki itu sedang tersenyum, berbanding terbalik dengan ekspresi Nabila saat ini yang justru sangat terkejut.
“Aku punya planning dan aku juga butuh jawaban kamu buat memperjelas apa yang udah aku rencanakan.”
“Memangnya planning kamu apa?”
“Nikah sama kamu lah,” jawab Barga enteng seraya menarik pundak Nabila untuk kembali berada di sisinya. Nabila juga balas melingkarkan kedua tangannya di perut laki-laki itu.
“Bila, kamu inget nggak janji yang pernah aku ucapin ke kamu?” tanya Barga.
“Inget. Dulu kamu bilang kalo dalam beberapa tahun lagi kamu akan melamar aku dengan cara yang lebih baik, kamu juga bilang kalo kamu mau buktiin sama semesta kalo akhir cerita dari kisah kita bakalan berakhir bahagia, iya, ‘kan?” jawab Nabila tepat sasaran seraya mengeluarkan sebuah kalung yang sudah dia pakai selama bertahun-tahun lamanya, kalung dengan bandul sebuah cincin pemberian Barga beberapa tahun lalu yang masih dia simpan hingga sekarang.
Nabila memang tidak memakainya di jari, tapi Nabila tidak pernah melepaskan cincin itu semenjak dia jadikan bandul dari kalungnya.
Barga melirik cincin itu dan lantas menarik senyum tipis, senang sekali rasanya melihat cincin itu lagi.
“Sebenernya kamu udah berhasil buktiin sama semesta, soalnya kamu bisa lihat sendiri kalo sekarang kita berdua udah bahagia,” ujar Nabila lagi, namun balasan yang didapatkan dari Barga justrulah sebuah gelengan.
“Kenapa?”
“Aku belum berhasil buktiin sama semesta.”
“Kenapa gitu? Memangnya kamu nggak bahagia sama aku?”
“Bukan gitu,” sela Barga cepat sambil tertawa. “Tentu aku bahagia sama kamu. Tapi akhir kisah paling bahagia yang aku mau adalah menikah sama kamu. Kalo sampai akhir kisah itu terwujud baru aku bisa buktiin sama semesta soal janji aku waktu itu.”
“Barga.” Nabila memanyunkan bibirnya, merasa terharu dengan apa yang laki-laki itu katakan.
“Kok jadi sedih sih? Jangan sedih dong, kan aku maunya kamu bahagia terus,” kata laki-laki itu sambil mengeratkan pelukannya pada pundak Nabila. “Jadi, kapan rencana kamu mau nikah sama aku?”
“Jujur aku nggak begitu yakin, tapi mungkin… dua tahun lagi?”
“Bila, dua tahun terlalu lama, coba dihitung udah berapa lama kita pacaran? Enam tahun ‘kan? Kalo dua tahun lagi berarti total delapan tahun kita deket nantinya. Kalo kamu takut soal ke depannya kamu jangan takut, selama setahun ini aku udah bener-bener nabung buat bisa nikahin kamu. Bahkan aku juga punya tabungan dari tahun-tahun sebelumnya, hasil-hasil dari aku balapan selalu aku tabungin buat masa depan kita, kamu harus tau itu.”
“Okay, okay.” Nabila mengalah, laki-laki ini benar-benar, kenapa dia selalu punya seribu satu cara untuk meyakinkan Nabila tentang segala hal? Dia bisa mengcover seluruh ketakutan yang sempat gadis itu pikirkan dan menenagkannya dengan kalimat-kalimat yang menenangkan. “Tahun depan?” tanyanya sekali lagi, mengurangi waktu dari yang sebelumnya dia sebutkan.
Dan benar saja, Barga langsung tersenyum lebar. “Iya, tahun depan!” jawabnya setuju dengan semangat.
“Okay, tahun depan,” ulang Nabila seraya semakin mendekatkan tubuhnya dengan Barga.
“Ngomong-ngomong kamu masih pusing nggak? Kok kayaknya udah sehat aja?” tanya Nabila lagi, punggung tanganya menyentuh dahi Barga untuk mengecek suhu tubuhnya dan untung saja panas laki-laki itu sudah benar-benar turun dan kembali normal.
“Udah, aku udah sembuh karena udah kamu pelukin terus daritadi,” jawab Barga tidak nyambung.
Tapi tidak apa-apa, setidaknya Nabila sudah berhasil menjaga laki-laki ini. Memastikan dirinya sembuh dari deman, mengobrol banyak hal, dan benar-benar bertemu sesuai dengan janji yang sudah mereka buat sebelumnya.