37 : Barga Sakit (2)

1070 Kata
            Selama tiga puluh menit Nabila berbaring dengan memeluk Barga akhirnya laki-laki itu benar-benar terlelap dengan deru napas yang teratur. Nabila kembali mengecek suhu tubuh Barga dengan punggung tangannya dan masih hangat, belum ada tanda-tanda bahwa panasnya akan turun. Maka sebisa mungkin gadis itu bangun, mencoba untuk tidak memberikan gerak yang terlalu berlebihan agar tidur Barga tidak terusik karenanya.             Setelah berhasil bangun Nabila langsung mengompres dahi Barga dengan air dingin yang sudah dia bawa sebagai kompresan. Meletakkan handuk basah itu dengan amat telaten sebelum akhirnya mengusap permukaan wajah Barga dengan gerakan lembut.             Sesekali tangan Nabila juga bergerak untuk mengusap kerutan di dahi Barga akibat tidurnya yang kurang nyaman, sepertinya laki-laki itu sedang bermimpi buruk.             Nabila tak tahu saja bahwa sejak sepuluh menit lalu Raka sudah berdiri di daun pintu kamar Barga dan menyaksikan semua hal yang Nabila lakukan terhadap kakak kembarnya itu. Bagaimana Nabila menjaga serta memperhatikan sang kakak membuat Raka sekali lagi yakin bahwa mereka berdua memang pantas bersama.             “Ekhem.” Barga berdeham dengan sedikit keras karena Nabila tak kunjung menyadari kehadirannya. “Sumpah lo fokus banget sampe nggak sadar gue ada di sini.”             “Siapa bilang gue nggak sadar?” sahut Nabila enteng tanpa perlu menoleh, netranya masih menatap lekat wajah Barga yang terpejam sempurna karena tertidur.             “Lo udah tau dari tadi gue berdiri di sini?”             Nabila mengangguk, “langkah kaki lo berisik, udah pasti gue tau.”             Raka tertawa namun tak urung dia mendekat untuk melihat lebih dekat keadaan Barga. “Gimana? Udah mendingan? Udah lo peluk belum?”             “Apaan deh lo.”             Laki-laki itu tertawa lagi, “tapi tidurnya nyenyak gitu sih, gue yakin udah lo peluk beberapa jam.”             “Bisa diem nggak?!” ancam Nabila sedikit kesal, kenapa Raka ini pikirannya kotor banget sih? Menyebalkan sekali rasanya tiap kali berbicara dengan laki-laki ini karena rasanya Nabila harus menghabiskan banyak tenaga dan emosi hanya untuk bicara dengannya.             “Na, lo belum makan ‘kan?” tanya Raka dan Nabila langsung menggeleng. “Mama nyuruh gue nyamperin lo buat ngajak makan, Abang nggak apa-apa ditinggal sebentar dia juga lagi tidur, lo makan dulu karena bentar lagi kami mau pergi, Mama nggak mau lo makan sendirian.”             Tanpa pikir panjang Nabila langsung menyiyakan ajakan Raka, dia juga tak mungkin menolak keinginan Mama Sera dan kalau dipikir-pikir juga Barga ini sudah besar, Nabila juga sudah meninggalkan kompres untuknya jadi tak masalah kalau dia tinggal sebentar.             Lagi pula laki-laki itu butuh istirahat bukan?             Akhirnya mereka benar-benar turun ke ruang makan dan makan bersama, ada banyak sekali obrolan yang terjadi di antara mereka. Daniel yang paling banyak bertanya soal Nabila, dia penasaran tentang kisah Nabila selama berkuliah di Malang dan dengan senang hati gadis itu menceritakan semuanya. Sesekali baik Raka maupun Aksa ikut menimbrung pembicaraan dan menyela apapun hingga membuat candaan. Sedangkan Sera lebih banyak menyimak dalam diam dan mendengarkan semua obrolan yang terjadi di meja makan pada siang hari itu.             Ketika mereka selesai makan Sera sempat bertanya apakah Nabila tidak apa-apa jika mereka meninggalkannya sendirian untuk menjaga Barga? Karena kalau memang Nabila kesulitan maka Sera tidak akan ikut pergi siang hari ini, tapi Nabila tidak mempermasalahkan apapun.             “Aku udah sering urus Ayah kalo dulu Ayah sakit, jadi nggak apa-apa, kalian boleh pergi biar aku yang jaga Barga di sini.” Begitu katanya kala Sera sudah bertanya untuk yang ketiga kalinya.             Tentu saja pada akhirnya mereka percaya pada Nabila karena bagaimana pun juga keluarga mereka sudah lama mengenal, baik Sera maupun Daniel sudah sangat paham bagaimana sifat dan kelakuan gadis itu. Daniel terkadang heran, mengapa gadis seperti Nabila justru mau berpacaran dengan anaknya yang justru seperti triplek berjalan.             Tapi Daniel justru bersyukur karena kedatangan gadis itu, Barga justru berubah menjadi pribadi yang lebih baik dan tidak irit bicara seperti beberapa tahun lalu. Bahkan laki-laki itu berubah menjadi pria yang hangat dan selalu mau membuka percakapan.             “Kalo gitu kami pergi sebentar, ya, Nabila. Tolong di jaga Barganya,” pesan Daniel sebelum mulai melajukan mobilnya meninggalkan pekarangan rumah mereka.             Sesuai keluarga Barga pergi, Nabila akhirnya kembali masuk ke dalam dan berniat mengecek keadaan Barga. Namun alih-alih menemukan laki-laki itu di kamarnya, Barga justru sudah duduk rapi di meja makan, menyambut Nabila yang baru masuk ke rumah dengan senyumnya.             “Baru pada pergi, ya?” tanya laki-laki itu.             “Kok kamu udah di sini aja? Masih pusing nggak?” Dengan refleks gadis itu langsung mendekat, menyentuh dahi Barga dengan punggung tangannya dan untung saja panas laki-laki itu sudah menurun dan wajahnya sudah tidak pucat seperti tadi.             Dalam kata lain, saat ini Barga sudah lebih baik.             “Aku laper,” Barga mengadu dengan wajah memelas, Nabila yang melihat itu lantas mendecih dan mulai berjalan ke dapur, mengambil makanan untuk laki-laki itu.             “Kamu tuh kalo sakit jadi manja banget, aku kadang heran —kaget malah kalo ternyata kamu punya sisi karakter yang kayak gini juga,” ujar Nabila selagi tangannya sibuk mengambil lauk pauk untuk makan Barga, sedangkan laki-laki itu hanya tersenyum dan mendengarkan semua yang dikatakan Nabila dari tempat duduknya. “Padahal ‘kan, dulu tuh kamu nggak begini, kamu inget nggak sih kalo dulu kamu tuh sempet jadi manusia paling dingin se-seantero sekolah, apa kamu jangan-jangan sempat lupa ingatan waktu aku di Malang makanya sekarang jadi kayak gini?”             “Kamu kenapa sih? Perasaan tadi aku yang tidur tapi kenapa kamu yang banyak ngayal berasa abis mimpi?” Barga langsung mengacak rambut Nabila kala gadis itu mendekat untuk memberikan makanannya. “Bil, kamu tau nggak sih, kamu ngambilin makan aku kayak gini rasanya kamu udah jadi istri aku sekarang.”             “Barga jangan mulai deh!” sahut Nabila menahan malu.             “Iya, iya, maaf.”             Nabila menarik kursi di sebelah Barga, menemaninya makan selagi mengobrol dengan laki-laki itu. “Kamu beneran udah mendingan sekarang?”             Barga mengangguk, tidak bisa menjawab karena mulutnya sedang penuh sekarang.             “Aku mau tanya kenapa kamu bisa sakit tapi kamunya lagi makan, yaudah habisin dulu makannya baru kita ngobrol.”             Barga menghabiskan kunyahannya, “Lima menit, tunguin aku makan sebentar, ya. Aku makan nggak lama kok.”             Nabila menurut saja, benar-benar selama menunggu Barga makan gadis itu tidak pernah mengalihkan tatapannya selain kepada Barga. Barga juga, walaupun dia tidak bicara tapi matanya kerap kali tetap memandang Nabila dan memberikan sebuah senyum singkat hingga kedua matanya menghilang karena menyipit.             Sesi makan itu akhirnya berakhir sesuai dengan perkiraan Barga, lima menit sesuai waktu yang dijanjikan, dengan keadaan Barga yang sekarang sudah cukup membaik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN