Setelah menyadari bahwa kekasihnya itu sakit, Nabila langsung buru-buru turun kembali ke dapur untuk menyiapkan kompresan air dingin dan meminta obat penurun demam pada Mama Sera. Wanita itu juga panik dan sempat naik ke atas untuk memeriksa sendiri keadaan anaknya, sedangkan Papa Daniel, Raka dan Aksa tidak ikut menengok karena mereka seolah memang sudah menyangka bahwa hal ini akan terjadi.
“Sebenernya dari semalem juga udah firasat sih gue kalo Abang bakalan sakit, soalnya ‘kan subuh tadi gue yang buka gerbang dan gue sempat liat mukanya yang emang udah beneran pucat parah.” Raka bicara pada Nabila yang masih menyiapkan kompresan air dingin, sedangkan dirinya sibuk mencari obat penurun demam sesuai pinta sang Mama.
“Empat hari kemarin dia beneran nggak ada istirahat sama sekali, ya?”
“Gue nggak tau pasti sih ini bener apa enggak, tapi lo udah tau ‘kan kalo ada pesawat dari maskapainya Abang juga yang baru kecelakaan tepat empat hari lalu?” tanya Raka dan Nabila mengangguk, Barga memang sudah menceritakan itu kepadanya. “Nah, abang tuh pergi ke sana buat bantu urus-urus semua hal tentang kecelakaan pesawat itu. Dia juga mau enggak mau harus jadi pilot pengganti buat penerbangan lain, makanya enggak ada istirahatnya sama sekali selama empat hari itu.”
“Pantes dia sampe nginep di bandara,” keluh Nabila merasa khawatir.
“Pas banget nggak sih, lo main ke sini dia malah sakit, kayaknya semesta sengaja banget memang nyuruh lo ke sini buat jagain dia. Karena biasanya kalo lagi sakit kayak gini Barga tuh bakal manja minta ampun, dan gue yakin dia bakal manja banget ke lo nanti.”
“Orang sakit pasti bakal manja, Raka. Gue yakin Zinde juga kayak gitu ke lo.”
“Tapi, Na, kayaknya lo beneran bakal jagain Abang sendirian deh karena nanti siang semua orang rumah pada mau pergi karena udah nyusun janji dari jauh-jauh hari dan nggak bisa dibatalin.”
“Oh ya? Memang janji apaan? Ini beneran gue ditinggal sendirian banget?”
Raka mengangguk, membenarkan. “Mau ketemu sama kolega Papa yang nantinya bakal bantu perusahaan. Gue sama Aksa harus ikut karena kami berdua bakal dikenalin sama beliau dan karena gue sama Aksa juga yang sekarang pegang perusahaan jadi kami harus pinter-pinter kenal sama dia, soalnya beliau ini sahabatnya Papa dan Mama juga ikut karena biar sekalian silaturahmi katanya,” jelas Raka dan Nabila hanya mangut-mangut mendengarkan.
“Harusnya Barga juga ikut?”
“Enggak, dia nggak mau, lagian dia kan nggak andil dalam perusahaan jadi nggak masalah kalo nggak dateng juga. Lagian setau gue bukannya dia nanti siang bakal ke rumah lo, Na?”
Nabila mengangguk namun wajahnya sedih. “Iya, makanya gue ke sini karena mau bikin kejutan dia nggak perlu ke rumah soalnya gue tau dia cape banget. Eh, tapi sekarang anaknya malah sakit.”
Raka mendekat lalu memberikan obat kepada gadis itu, tak lupa sebelah tangannya menepuk pundak Nabila tanda menenangkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Tenang aja, Abang kalo sakit enggak pernah lama kok, dia juga kuat jadi bakalan cepet sembuh, percaya sama gue. Paling kalo lo peluk seharian juga nanti malem dia udah enakan.”
“Raka, sumpah, bercandaan lo nggak lucu banget. Gue beneran lagi khawatir banget ini dan lo masih sempet-sempetnya bercanda,” geram Nabila merasa kesal dengan isi kepala laki-laki yang satu ini.
Sedangkan sang empu pemancing emosi justru nyengir lebar dan meminta pengampunan. Sebenarnya Raka tidak sepenuhnya salah, karena teori yang dia sebutkan tadi memang sudah pernah dibuktikan sendiri olehnya. Ketika Zinde sakit waktu itu, gadis itu benar-benar meminta ditemani olehnya selama seharian penuh dan keesokan harinya dia benar-benar sudah sembuh seperti sedia kala.
Aneh memang, tapi kalo kata Aksa sih itu kekuatan cinta.
“Gue ke atas dulu.” Nabila pamit dengan kompresan dan obat di tangannya.
Sesampainya di kamar Barga, Mama Sera sedang mengecek suhu tubuh laki-laki itu menggunakan alat pengecek suhu tubuh. Demamnya jelas sangat tinggi tapi Barga menolak untuk di ajak ke rumah sakit, dia meminta untuk istirahat saja di rumah karena Barga bilang dia hanya kelelahan.
Tak mampu menolak kemauan sang anak akhirnya Sera memperbolehkan, dan meminta Nabila untuk menemani Barga seharian ini karena siang nanti semua orang rumah akan memiliki kegiatan di luar.
Tentu saja Nabila menyanggupi, jika Barga bisa selalu ada untuknya maka Nabila juga bisa melakukan hal yang sama.
“Barga, sakit banget, ya?” Nabila bertanya tepat ketika Sera sudah menutup pintu kamar Barga.
Barga yang mendengar suara Nabila sontak kaget dan mencoba membuka kedua matanya. “Kok kamu ada di sini?” tanyanya lirih, baru menyadari kehadiran gadis ini di kamarnya.
Nabila meringis, padahal tadi dia sudah sempat membangunkan Barga dan berbicara pada Mamanya, tapi laki-laki itu baru menyadari kehadirannya berarti pusing yang diderita memang amat menyakitkan.
“Pusing banget, ya?” Nabila mengusap sebelah pipi Barga sembari bertanya demikian.
Barga menganggukkan kepalanya lemah lalu semakin mendekat ke arah gadis itu untuk mencari kenyamanan. “Kepala aku sakit banget,” adunya dengan suara lemah, Nabila langsung sigap mengusap surai hitam laki-laki itu.
“Kamu mau makan dulu apa mau tidur lagi sebentar? Kamu harus minum obat soalnya biar demam kamu turun.”
“Aku mau tidur, sebentar lagi aja, nanti aku baru makan. Kamu nggak buru-buru pulang ‘kan?”
“Enggak, aku di sini jagain kamu. Kata Mama sama Raka orang rumah mau pada pergi siang nanti dan nggak bisa dibatalin karena udah janji dari lama, makanya aku disuruh Mama buat temenin kamu di sini.”
Barga terkekeh samar, “Iya, kan seharusnya aku juga ke luar siang ini, mau ke rumah kamu, tapi malah kamu yang ke sini.”
“Aku tadinya mau bikin kejutan dan kangen juga udah lama nggak main. Tapi malah kamu yang kasih kejutan buat aku dengan cara sakit kayak gini. Aku khawatir tau! Kamu tuh kalo kerja jangan terlalu keras banget bisa nggak sih? Kamu itu—”
“Kalo aku nggak kerja keras nanti aku makin lama ngelamar kamunya.” Potong Barga cepat, pusing rasanya mendengar Nabila mengomel. “Udah, ah. Aku lagi sakit masa kamu mau marahin aku, harusnya kan aku disayang dulu biar sembuh.”
Tak tega mendengar suara Barga yang kelewat lemah dan serak, akhirnya Nabila mengalah, menyuruh Barga lebih menggeser dirinya ke tengah tempat tidur agar Nabila bisa berbaring di sampingnya dan memeluk laki-laki itu layaknya bayi kecil yang ketakutan.
“Kata Raka, kalo aku peluk kamu seharian nanti kamu bisa cepet sembuh,” kata Nabila memberitahu Barga tentang apa yang adik kembarnya itu katakan tadi.
Barga terkekeh lagi namun tubuhnya semakin merapat untuk semakin masuk ke dalam pelukan gadis itu dan tentu saja Nabila menerimanya.
“Kayaknya nanti kalo udah sembuh aku harus traktir Raka deh,” sahut Barga senang.
Ternyata adik kembarnya itu bisa diandalkan juga dalam hal seperti ini. Raka amat sangat tau apa yang sedang dia butuhkan saat ini dan memberikan Nabila sebuah solusi yang tepat.
Terima kasih, Raka. Sepertinya setelah sembuh Barga benar-benar akan mengajak makan adik kembarnya itu.