Sebenarnya Raka sedikit kaget ketika Papanya mengetuk pintu kamar dan mengajaknya untuk mengobrol bersama, sebenarnya juga Raka sedang tidak dalam kondisi mood yang baik jika Papanya mendatangi hanya untuk membicarakan perihal pekerjaan karena jujur saja Raka sedang pusing sekarang, sangat-sangat pusing sampai rasanya dia tidak minat melakukan apapun.
Karena takut salah bicara akhirnya Raka berkata, “Pa, kalo Papa dateng ke kamar aku buat ngomongin masalah kantor kayaknya jangan sekarang deh Pa. Kakak beneran nggak bisa fokus kalo Papa mau ngajak ngobrol sekarang, lagi pusing banget nih Pa beneran enggak bisa diganggu.”
Dia bukannya ingin mengusir hanya saja menghindari jika-jika dia sampai menjawab dengan kesan yang kurang ajar kepada Papanya, maka dari itu Raka memberi warning sedari awal agar sang Papa mengerti.
“Siapa bilang Papa mau ngomongin urusan kantor? Memangnya kalo Papa mau ngajak kamu ngobrol itu cuma harus bahas urusan kantor aja? Kamu anak Papa kali jadi bebas mau ngomongin apa aja.”
Raka lega tentu saja, tapi dia tetap tidak bisa mendengarkan Daniel.
“Tapi sekarang aku lagi nggak mau diajak ngomong, aku beneran pusing banget.”
“Kamu ada masalah apa sama pacarmu? Sini cerita sama Papa, kok diliat-liat kamu ini kusut banget kayaknya.”
“Enggak, aku nggak ada masalah apa-apa, cuma emang lagi pusing aja.”
“Jangan bohong. Adekmu itu udah tau masalahmu sama Zinde dari pacarnya dan Papa baru aja minta informasi dari dia jadi Papa tau kamu ini sebenernya lagi kenapa, tapi sekarang ayo cerita sama Papa karena Papa mau dengar dari sudut pandang kamu seperti apa. Papa juga habis balik dari kamar Abangmu karena dia juga lagi punya masalah sama pacarnya, tapi kayaknya kalo urusan Abangmu gampang, dia bisa selesain sendiri karena masalahnya nggak begitu berat, lah kamu ini yang bikin Papa khawatir. Jadi gimana? Mau cerita atau enggak sama Papa?”
Raka kaget setelah mendengar seluruh perkataan Daniel, jadi Lalisa membocorkan masalah ini juga kepada Aksa dengan sengaja?! Tapi alih-alih marah entah mengapa Raka jadi semakin lega kala mengetahui ada orang lain yang memikirkan permasalahannya juga dan khawatir dengan kondisi hatinya saat ini, yaitu adalah Papa yang saat ini mendatanginya yang mana hal ini akan amat jarang dia lakukan jika bukan menyangkut masalah pekerjaan.
Papanya ini memang punya cara tersendiri untuk menjaga anak-anaknya.
“Mau cerita?”
Daniel kembali mengajukan pertanyaan yang sama karena anak tengahnya itu masih terlihat berpikir dan mempertimbangkan tawarannya barusan. Daniel sangat berharap bahwa Raka mau terbuka dan berbagi cerita dengannya, karena dengan begitu Daniel tidak perlu begitu khawatir kalau-kalau dia menyimpannya semuanya sendirian.
Lagipula jika Raka memang mau bercerita nantinya Daniel juga akan menyusun sebuah rencana untuk membantu anaknya mendapatkan restu dari sang mertua yang telah menolaknya.
“Pa, kayaknya aku nggak akan bisa bareng-bareng sama Zinde dalam jangka waktu yang lama deh.”
Kalimat pembuka yang diutarakan oleh Raka sudah mampu membuat Daniel merasa sakit sebab, anak laki-lakinya itu bahkan tidak berbasa-basi dan langsung membicarakan inti dari permasalahan walaupun masih terkesan ambigu dan masih ditutup-tutupi tapi Daniel yakin bahwa Raka akan menceritakan semuanya.
“Kenapa bisa begitu?”
“Papa ini gimana sih, katanya udah tau masalahnya tapi kenapa malah masih nanya?!” sewot Raka sedikit kesal. Daniel tertawa di tempatnya, Raka ini kalau lagi galau persis sekali seperti dirinya yang mudah marah.
“Iya ‘kan Papa tanya kenapa bisa begitu? Papa pingin tau dari sudut pandang kamu, kenapa kamu bisa berpikir kalau kamu sama Zinde enggak akan bisa bertahan dalam waktu yang lama? Bukannya kamu sama dia udah lama pacaran? Bukannya sekarang kamu sayang banget sama dia?”
Raka mengangguk tanpa ragu. “Sayang banget. Kalau disuruh ingat-ingat tentang perjuangan Zinde yang nungguin aku lama banget aja aku nggak sanggup, aku rasanya sekarang pingin sayang-sayang dia terus karena udah bertahan buat aku. Tapi Pa, Zinde tuh dijodohin dan Papa tau sendiri kalo Ayahnya itu termasuk orang penting yang kalo udah bicarain soal perjodohan itu rasanya kayak nggak mungkin ada celah sedikitpun buat aku.”
“Ini kamu udah nyerah?”
“Bukan gituu!!!” Raka merengek, rasanya dia ingin menangis saja saat ini.
Dia bukannya ingin menyerah sungguh, bahkan selama beberapa hari ke belakang dirinya sudah mencoba memikirkan berbagai jalan dan kemungkinan yang akan dia gunakan untuk membatalkan perjodohan pacarnya itu, tapi setelah berkali-kali dia berpikir rasanya seperti tidak mungkin untuk mewujudkan keinginannya itu.
Memangnya dia siapa sampai bisa mencegah kehendak Ayah dari Zinde? Raka itu ingin berjuang juga untuk membuktikan bahwa sekarang dia benar-benar menyayangi gadis itu dan tidak ingin melepaskannya sama sekali, tapi rasanya seperti semesta tidak memberikan jalan sedikitpun untuknya melawan kehendak.
Jadi bagaimana caranya?
“Raka, dari semua cerita yang udah Papa denger dari Aksa, Papa tau kalo Ayahnya Zinde itu bukan seseorang yang mudah buat ditaklukin hatinya, ini bukan soal harta karena setau Papa keluarga Zinde itu memang sudah kaya, jadi perjodohan ini terjadi lebih karena persahabatan karena kebetulan relasi temannya Ayah Zinde ini adalah seorang sahabat terdekat.”
“Jadi Papa rasa bakal percuma kalo kamu coba buat batalin perjodohan itu dengan cara pamer harta yang kamu punya, walaupun Papa sendiri nggak masalah sih kalo kamu mau ngelakuin itu dan Papa bakal bantu kamu, tapi di sini tuh yang Papa lihat kayaknya enggak semudah itu, kamu dan Zinde di sini harus sama-sama meyakinkan Ayahnya Zinde kalau kalian memang saling mencintai, Papa rasa cuma itu satu-satunya jalan yang paling bener. Kamu udah coba bicarain ini sama Zinde?”
“Belum,” Raka menggeleng dengan sedih. “Bahkan Zinde belum sama sekali bicarain ini ke aku, dia baru cerita ke Lalisa makanya aku bisa tau, aku enggak mau sih tiba-tiba tanya langsung ke dia, aku mau tunggu Zinde sendiri yang cerita, mungkin dia butuh waktu buat bicarain ini sama aku.”
Raka ini adalah satu-satunya anak yang jarang sekali memanggil panggilan Kakak untuknya, berbeda dengan Aksa dan Barga yang terkadang masih menggunakan panggilan khusus itu jika sedang berada di rumah. Raka akan lebih condong berbicara menggunakan Aku-nama panggilan, daripada harus menyebut dirinya sendiri sebagai Kakak.
Katanya sih aneh soalnya dia sudah besar, tapi tak apa, itu bukan masalah besar bagi Daniel.
“Langkah yang lagi kamu lakuin ini memang bener, Papa juga yakin kalau Zinde pasti lagi nunggu moment yang pas buat bicarain hal ini sama kamu, mungkin dia lagi mencari cara buat ngomong dengan nggak nyakitin kamu.”
Raka hanya mengangguk pasrah setelah mendengar Papanya, dia juga berpikiran hal yang sama makanya beberapa hari ini selalu uring-uringan karena Zinde tak juga mau memberitahunya tentang masalah ini, ditambah beberapa hari ke belakang juga Zinde terlihat seperti menghindarinya dan hanya membalas pesan secukupnya saja.
Raka jadi bingung harus melakukan apa.
“Sebenernya Papa punya rencana, belum bicarain ini sih sama Mama tapi pasti Mama setuju, kamu mau dengar nggak rencana Papa? Rencana biar kamu bisa ngobrolin ini sama Zinde dan cari jalan keluarnya."