46 : Titik Permasalahan

1376 Kata
            Malam ini entah mengapa suasana di kediaman rumah Bagaskara terlihat suram. Ada dua wajah yang terlihat murung sejak beberapa hari ke belakang tanpa ada yang mau memberitahu penyebab dari murungnya wajah mereka. Daniel sebagai kepala keluarga di rumah itu sudah merasa ada yang tidak beres sejak lama, awalnya dia masih biasa saja karena pikirnya jika ada masalah maka akan ada jalan untuk menyelesaikannya, tapi ketika melihat wajah dua anaknya yang tidak juga kunjung membaik di hari ketiga akhirnya dia mencari jalan untuk mengetahui duduk permasalahannya.             Daniel menempatkan diri di samping Aksa yang kali itu tengah sibuk dengan ponselnya di ruang keluarga, sempat mengintip sedikit dan ternyata laki-laki itu tengah mengirim pesan pada Lalisa— salah seorang gadis yang sudah bisa dipastikan akan menjadi menantunya di beberapa tahun ke depan.             Dulu Daniel sempat mengira bahwa hubungan Barga dan Nabila lah yang akan paling tenang dibandingkan dengan dua anaknya yang lain, mengingat sifat Barga yang cuek dan Nabila yang super perhatian membuat Daniel anteng-anteng saja dengan keduanya. Tapi ternyata dia sempat terkagum-kagum dengan Aksa yang bernotabe sebagai anak terakhir namun justru memiliki sifat paling dewasa diantara kedua saudaranya yang lain. Apalagi setelah melihat bagaimana Aksa memperlakukan Lalisa.             Aksa itu menurun sekali dari sifat Ibunya, Sera. Dia pintar menjaga Lalisa dan selalu memprioritaskan gadis itu dalam segala hal, Daniel bisa melihatnya tiap kali Lalisa datang atau main ke rumah, Daniel benar-benar bisa melihat sedewasa anak terakhirnya itu.             Maka sekarang, satu-satunya cara untuk mencari jawaban dari sifat uring-uringan Barga dan Raka sejak beberapa hari lalu yaitu dengan bertanya kepada Aksa.             “Adek,” panggilan keluarga itu masih sama dan tidak pernah berubah. “Gimana kerjaannya di kantor?”             Aksa sempat menaikkan sebelah alisnya bingung melihat tingkah Papanya yang terlalu tiba-tiba, namun karena dia tau tata krama akhirnya laki-laki itu langsung menutup ponselnya dan memberi perhatian penuh pada sang Papa.             “Baik-baik aja, Pa. Sejauh ini aku nggak ada nemuin masalah serius, lagian aku masih bisa ngatasin semuanya bareng tim aku, kalo memang udah kepentok aku kesulitan paling minta bantuan Kakak,” jawab Raka jujur.             “Susah nggak ambil alih perusahaan Papa?”             “Sebenernya ini bukan disebut ambil alih sih ya, karena nyatanya Papa sesekali masih datang ke kantor dan bantu-bantu walaupun Papa lebih fokus ke bisnis Papa di luar negeri. Tapi jawabannya enggak, aku malah seneng karena dari SMA aku memang udah sadar kalo keinginan aku itu buat jatuh di dunia management. Mungkin aja kalo Kakak nolak buat ambil alih posisi Papa, mungkin Adek dengan senang hati buat terima.”             “Jadi adek kurang seneng sama posisi Adek sekarang?”             “Enggak juga, aku seneng kok karena ranahnya masih sama-sama di perusahaan Papa.”             Lega mendengarnya, sungguh Daniel benar-benar lega. Pasalnya dulu ketika Barga menentang keras keinginan Daniel untuk menjadi penerus Daniel sempat putus asa, tapi untungnya Raka menerima walaupun Daniel tau bahwa dia setengah terpaksa dan Aksa yang memang menyukai posisi ini. Setidaknya baik Barga, Raka dan Aksa bisa menjalani peran pekerjaan masing-masing tanpa kesulitan apapun.             “Kalo sama Lalisa, lagi baik-baik aja ‘kan?”             Lagi, Daniel kembali melihat anak terakhirnya mengangkat sebelah alis. Mungkin dia kebingungan dengan sikap Papanya yang mendadak jadi perhatian.             “Papa kenapa deh? Tumben banget nanya-nanya, biasanya juga biasa aja?”             Benar ‘kan prediksi Daniel, Aksa kebingungan sekarang.             “Enggak apa-apa sih, Papa cuma penasaran aja soalnya udah lama nggak lihat Lalisa main ke rumah, Zinde juga, kalo Nabila kan Papa tau kalo sebelumnya dia kuliah lagian baru kemarin juga kan main waktu Abang sakit.”             Ada lirikan curiga yang dilayangkan Aksa untuk Daniel, kedua matanya menyipit untuk memperhatikan sang Papa yang terlihat semakin mencurigakan. Namun tak urung Aksa tetap menjawab pertanyaannya yang tadi. “Cafenya Lalisa lagi rame banget makanya dia enggak sempet main dulu, tapi kadang dijam makan siang kalo sempet aku selalu samperin buat ajak makan bareng dan tiap pulang kerja selalu aku jemput jadi tiap hari ketemu walaupun cuma sebentar dan dengan kayak gitu aku bisa menghindari hubungan aku sama dia yang nggak baik-baik aja. Intinya aku sama Lalisa sama-sama menjaga dan nggak ada masalah apa-apa, nanti kalo dia udah agak kosong aku ajak main deh ke rumah.”             Daniel tersenyum mendengar jawaban panjang tersebut. Aksa benar-benar telah tumbuh menjadi laki-laki yang dewasa, bahkan dia sudah sangat mengerti bagaimana caranya menjaga seorang perempuan dan sebuah hubungan agar tetap baik-baik saja dan di sisi lain tidak membosankan. Daniel akan tunggu janjinya, membawa Lalisa datang ke rumah agar bisa Daniel ajak bicara lagi.             “Pa, jujur aja deh sama aku, sebenernya Papa mau tau informasi apa?” tanya Aksa secara tiba-tiba tanpa sempat Daniel menanggapi kalimat panjangnya barusan. “Aku tau Papa kayak gini karena penasaran sama sesuatu kan?”             Percuma saja Daniel berusaha menyembunyikan jika pada akhirnya ketauan juga. Tingkat kepekaan Aksa memang sulit untuk ditandingi, anak laki-lakinya itu akan dengan cepat mengetahui jika dirasa ada sesuatu yang tidak beres dengan keluarganya.             “Ini tentang Abang sama Kakak, ya?” tanya Aksa lagi karena tak kunjung mendapatkan jawaban.             Daniel pasrah dan akhirnya mengangguk. “Sebenernya Papa nggak terlalu mau pikirin karena Papa rasa mereka bisa selesain masalah mereka sendiri. Tapi udah tiga hari Papa liat kayaknya enggak ada yang berubah, bahkan Papa yang biasanya jarang liat Abang karena dia lebih sering ke luar sama Nabila sekarang malah lebih banyak di rumah, dan Kakak yang selalu sibuk di kantor karena nggak mau kerjaan numpuk sekarang malah bawa semua kerjaannya ke rumah. Papa jadi ngerasa ada yang nggak beres, mereka lagi berantem ya sama pacarnya?”             “Hm.” Aksa menghela napas berat, sadar jika hal seperti ini pasti akan terjadi karena jujur saja dirinya juga berusaha untuk tidak perduli dan membiarkan kedua saudaranya menyelesaikan masalah mereka masing-masing, tapi lama-kelamaan dia malah merasa terganggu akibat sifat keduanya yang uring-uringan setiap saat.             “Mereka nggak berantem kok, setau aku hubungannya baik-baik aja tapi memang ada masalah,” jawab Aksa akhirnya. Dia tidak mau menyembunyikan masalah apapun dari sang Papa.             “Terus masalahnya apa? Kenapa keliatannya kayak galau banget gitu?”             Pada akhirnya Aksa menjelaskan. Pertama tentang Barga yang waktu itu mengajak dirinya dan Raka berkumpul untuk menceritakan tentang Nabila yang bertemu dengan Jeno sampai akhirnya bekerja pada Rumah Sakit yang sama, sebenarnya menurut Aksa ini memang salah Barga yang terlalu cemburu padahal Aksa sangat tahu bahwa Nabila pasti menjaga hatinya. Namun, beberapa hari lalu dia juga baru tau dari Lalisa kalau ternyata akhir-akhir ini intensitas kedekatan Nabila dengan Jeno semakin bertambah, Jeno selalu update di instagramnya tiap kali sedang bersama Nabila, entah untuk apa tujuannya tapi Aksa juga merasa bahwa itu sudah keterlaluan.             Jeno yang sengaja membuat Barga cemburu atau ada alasan lain? Aksa tidak bisa mengerti, yang pasti sikap uring-uringan Barga akhir-akhir ini pasti karena itu.             “Terus masalahnya Kakak. Sebenernya aku juga baru banget tau kemarin dan lagi-lagi tau dari Lalisa kalo tiga hari lalu Raka sempet datengin Lalisa ke cafe dan tanya soal keanehan Zinde, aku nggak paham keanehan apa yang dimaksud begitupun Lalisa. Tapi Lalisa yang emang dasarnya pensaran dan memang ngerasa ada yang aneh sama Zinde akhirnya cari tau, kayaknya Zinde sendiri yang cerita sama dia kalo ternyata dari dulu Zinde itu udah dijodohin sama anak dari temen Papanya tapi dia baru dikasih tau, bahkan Papanya Zinde enggak setuju kalo Zinde pilih Raka entah karena apa, dia memperbolehkan Zinde pacaran sama Raka cuma buat sementara karena sebentar lagi Zinde bakal tunangan sama anak temennya itu. Dan aku rasa Kakak udah tau titik permasalahannya makanya sekarang dia keliatan stress banget dan kebingungan harus kayak gimana.”             Daniel kaget? Tentu saja. Setelah mendengar cerita panjang lebar dari Aksa akhirnya dia mengerti apa penyebab kedua anaknya bisa seperti ini. Untuk masalah Barga dia bisa mengerti dan ini tidak begitu sulit dari dugaannya dan Daniel yakin bahwa Barga bisa menyelesaikannya setelah Daniel memberikan sedikit nasihat nanti.             Sedangkan yang membuat Daniel lebih kaget adalah masalah Raka. Anaknya ditolak untuk djadikan menantu? Seriously?! Ada sedikit rasa marah yang meledak-ledak dalam diri Daniel namun sebisa mungkin dia akan tahan, sebagai seorang Ayah tentu dia mengerti bahwa permasalahan seperti ini tidak akan sanggup jika Raka sendiri yang menyelesaikannya, harus ada peran dirinya di dalamnya dan tentu saja Daniel akan siap sedia membantu.             Dan satu hal yang harus dia lakukan sekarang adalah bertemu dengan kedua anaknya dan memberikan nasihat dari sudut pandang seorang Ayah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN