Tiga tahun kemudian.
Pintu gerbang terbuka. Thazin menatap ibunya yang sepanjang perjalanan terus menerus mencuri pandang ke arahnya dan tersenyum manis.
Ada yang aneh disini, pikir Thazin dalam hati. Sejak kedatangannya ke Indonesia kemarin siang, ibunya tampak begitu sumringah. Thazin tahu, ibunya bahagia atas kepulangannya yang selama enam tahun ini tidak pernah dia lakukan--bagaimana tidak, bersekolah di California itu tidaklah murah. Meskipun Thazin bersekolah dengan mengandalkan beasiswa, tapi biaya hidup dia tanggung sendiri karena ia tidak ingin membebani kedua orangtuanya sekalipun ia tahu kalau kedua orangtuanya jauh lebih dari mampu untuk membiayainya. Dan kuliah sambil bekerja di Negara asing itu bukan hal yang mudah. Dia harus mengerjakan ini dan itu supaya bisa bertahan hidup disana. Membagi waktu untuk kuliah, bekerja dan belajar benar-benar menghabiskan seluruh energinya.
Orangtuanya memang mengiriminya uang setiap bulannya. Namun Thazin sudah bertekad kalau dia tidak akan menggunakannya. Bukan karena ego atau gengsi, tapi lebih untuk memotivasi dirinya sendiri bahwa ia mampu. Sebagai gantinya, ia gunakan uang pemberian orangtuanya untuk investasi di beberapa perusahaan yang keuntungannya ia gunakan untuk modal membuka usaha yang kini sudah berjalan hampir empat tahun lamanya dan juga memberikan benefit yang sangat besar.
Ibunya menyuruhnya untuk memarkirkan mobil di depan sebuah rumah berlantai dua sederhana dengan taman hijau kecil di bagian depan teras. Mereka harus menginjak jalan batu untuk sampai menuju teras dimana sepasang kursi rotan dengan meja bundar beralas kaca berada. Di samping halaman kecil dan teras itu terdapat garasi yang hanya memuat sebuah mobil yang Thazin duga merupakan milik si tuan rumah.
Ibunya turun dari mobil lebih dulu bahkan sebelum Thazin mematikan mesin mobilnya. Ucapan salamnya yang lantang dijawab dengan suara kunci pintu yang diputar dan sosok wanita yang seusia dengannya menyambut dengan senyum yang tak kalah lebarnya.
Di belakang teman ibunya, terlihat sosok seorang pria yang Thazin perkirakan seusia dengan ayahnya atau mungkin sedikit lebih tua? Entahlah, Thazin tidak bisa menduga karena tubuh pria itu sedikit pendek dan agak gemuk jika dibandingkan dengan ayahnya dan pria itu juga mengenakan kacamata persegi yang agak melorot di hidungnya. Sama seperti sang wanita yang menyapa ibu Thazin dengan ramah, pria itu juga menyapa ayah Thazin dengan sama ramahnya.
Sesaat setelah selesai saling menyapa, keempat pasang mata paruh baya itu Lantas tatapan kedua orang itu terarah padanya.
“Jadi ini, Mas Argan yang sering jadi bahan pembicaraan kalian.” Suara pria bertubuh pendek gemuk itu dengan nada ramah. Seramah senyum tulus yang ditunjukkannya. ‘Mas Argan’? Thazin sedikit mengernyit mendengar panggilan ini. Sejak kapan dia menjadi Mas Argan? Orang-orang yang mengenalnya sudah terbiasa memanggilnya dengan sebutan Thaz, bukan Argan. Kecuali mungkin rekan bisnisnya di California yang memanggilnya dengan sebutar Mr. Argan.
“Bicara didalam saja, Pa.” tegur istri pria tersebut yang diangguki oleh orangtua Thazin.
Thazin tidak tahu siapa kedua orang yang ditemui orangtuanya. Yang ia tahu, saat ibunya mengatakan kalau mereka akan makan siang di luar, dia hanya mengiyakan saja dan menduga kalau mereka akan makan siang di sebuah restoran. Tapi ternyata dugaannya salah. Orangtuanya malah membawanya ke rumah orang asing seperti ini.
Kedua orangtuanya masuk ke dalam rumah. Ibunya digiring oleh si wanita. Sementara ayahnya digiring oleh suami si wanita tersebut. Saat Thazin hendak masuk, ponselnya berdering. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya, melihat layar ponselnya dan tersenyum. Namun saat hendak mengangkatnya, ibunya malah memanggilnya untuk masuk. Alhasil, dia menolak panggilan tersebut dan kemudian mengiriminya pesan. “Aku sedang ada urusan keluarga. Nanti kuhubungi lagi.” Setelahnya, Thazin memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku dan kemudian turut masuk.
Mereka melewati sebuah ruangan kecil yang Thazin duga merupakan ruang tamu. Di ruangan yang berukuran lebih luas dari ruang tamu yang mereka lewati, Thazin melihat seorang wanita paruh baya tampak sedang meletakkan minuman dan camilan ke atas meja kaca persegi yang dikelilingi sofa-sofa empuk dan terlihat nyaman untuk diduduki. Ibunya, duduk bersisian dengan wanita si pemilik rumah. Sementara ayahnya dan pria si tuan rumah pria tampak duduk sedikit berjarak, tapi tidak menghilangkan kesan akrab dan hangat diantara keduanya.
“Dhifa mana?” pertanyaan itu tercetus dari mulut ibunya seketika.
Dhifa? Siapa lagi itu? tanya Thazin dalam hati. Namun ia memilih untuk tidak mengutarakan pertanyaannya.
“Dia sedang bersiap. Tunggu sebentar, biar aku panggil.” Si wanita pemilik rumah langsung bangkit dan berjalan meninggalkan ruang tamu. Thazin memilih untuk melihat sekeliling ruangan keluarga tersebut. Tidak lebih luas dari ruang keluarga kedua orangtuanya, namun terlihat memancarkan aura hangat.
Di sekeliling dinding tergantung beberapa foto dengan berbagai macam ukuran. Bergitu pula di dalam lemari pajangan. Penasaran dan merasa tidak memiliki kegiatan ataupun teman bicara, Thazin bangkit dan meneliti foto satu persatu. Kebanyakan foto itu adalah foto-foto keluarga dan sosok gadis yang Thazin tidak kenali. Foto-foto itu menunjukkan bagaimana si gadis itu tumbuh. Salah satu foto menunjukkan saat si gadis kecil yang Thazin perkirakan berusia satu tahun tengah berdiri dan nyengir ke kamera dengan giginya yang hanya ada beberapa biji. Lalu gadis kecil yang usianya mungkin di usia sekolah dasar. Sampai ke gadis kecil itu berubah menjadi remaja SMP yang berfoto bersama teman-teman sebayanya. Dalam semua foto yang dia lihat, hanya dua kesan yang bisa Thazin tangkap. Satu, gadis itu cantik. Dan dua, gadis itu gadis yang ceria.
“Cantik, kan?” ibunya ternyata sudah berdiri di sampingnya. Tanpa sadar Thazin mengangguk mendengar pertanyaan ibunya. “Dia juga gadis yang baik.” Lanjut ibunya lagi. Thazin kembali mengangguk. Tentu saja semua anak akan terlihat baik dimata kedua orangtuanya. Meskipun diluar rumah entah sebejat apa kelakuan si anak. Orangtua tak pernah tahu. “Dia bisa jadi istri yang baik.” Ibunya kembali melanjutkan. Thazin lagi-lagi hanya bisa mengangguk tanpa suara. “Dia calon istrimu.” Pernyataan itu seketika membuat Thazin menoleh kepada ibunya dengan tatapan tak percaya. Namun sebelum Thazin sempat mengutarakan isi kepalanya, si pemilik rumah sudah kembali, membawa sosok gadis cantik yang persis seperti gadis yang ada di dalam foto.
“Nah, itu Mas Argan.” Ucapan wanita pemilik rumah membuat gadis cantik itu mendongak dan tersenyum manis ke arah Thazin. “Tampan kan, seperti yang ada di foto?” tanya wanita pemilik rumah lagi. Membuat kepala Thazin kembali diisi dengan pertanyaan lain. “Nak Argan. Ini anak tante, namanya Nadhifa.” Thazin merasakan tangan ibunya menepuk lengan atasnya. Thazin menoleh ke arah ibunya, dan wanita yang telah melahirkannya itu malah mengedikkan kepalanya menuju arah si gadis dengan ekspresi wajah jahil. Thazin mengerti apa yang harus dia lakukan, namun tidak benar-benar paham dengan situasi yang menurutnya aneh ini.
Thazin mengulurkan tangan yang disambut tangan mungil gadis itu. “Dhifa.” Ucap gadis itu dengan pelan. Suaranya pun terdengar merdu di telinga Thazin.
“Thazin.” Jawab Thazin dengan sopan.
“Ya sudah, ayo ke ruang makan. Sebelum hidangannya dingin.” Suara pria si pemilik rumah memecah keheningan yang dirasa kaku oleh Thazin. Ibunya kembali menepuk lengannya yang kemudian diiringi dengan dorongan pelan di punggungnya. Menyuruhnya untuk maju dan mengikuti para pemilik rumah untuk masuk lebih dalam.
Mereka berenam berjalan menuju meja makan persegi panjang dengan enam kursi kosong memutarinya. Satu kursi masing-masing berada di ujung meja dan dua kursi masing-masing saling berhadapan. Di atas meja makan sudah terhidang beberapa jenis makanan yang menggungah nafsu makannya. Bagaimana tidak, semua yang terhidang disana adalah makanan favoritnya. Makanan yang sulit ditemukannya kala ia berkuliah.
Ayah Thazin dan pria pemilik rumah duduk saling berhadapan di kepala meja. Sementara para istri duduk di sisi kanan sang suami dan Thazin beserta gadis bernama Dhifa itu duduk di sisi kanan para ibu.
“Selamat menikmati, semoga masakannya cocok di lidah. Terutama untuk Nak Argan.” Ucap wanita si pemilik rumah dengan ramah. Thazin hanya bisa mengangguk seraya tersenyum dan menggumamkan terima kasih. Dalam hati ia mengharapkan hal yang sama. Semoga semua makanan yang ada di hadapannya ini bisa cocok dengan lidahnya. Alias tidak keasinan, atau kelebihan bumbu.
Setelah semua orang mulai menyendok nasi ke atas piring dan mengisinya dengan lauk-pauk. Mulailah Thazin menyuapkan isi piringnya ke mulutnya. Dan sesungguhnya, ia mencoba menahan erangan nikmatnya kala merasakan masakan itu. karena rasanya benar-benar sesuai dengan apa yang dia sukai. Dia bahkan tanpa sadar makan dengan lahapnya dan tidak peduli dengan perhatian orang-orang di sekeliling meja menatap ke arahnya. Dan dia sendiri pun hampir melupakan apa yang tadi ibunya katakan saat berada di ruang tamu pemilik rumah ini sampai kemudian makan malam selesai, barulah Thazin merasa sedang mendapatkan hadiah berupa bom waktu yang menurutnya akan menghancurkan masa depannya.
_________________
Belum akan update ya...