Part 3

1087 Kata
"Sayang, kamu ingat kan kalau dulu Mama pernah bilang sama kamu kalau Mama sudah membuat janji sama sahabat Mama kalau kami akan menjodohkan putra-putri kami jika memang mereka berjenis kelamin berbeda?" pertanyaan ibunya itu, meskipun terdengar lembut tetap terasa seperti air dingin yang tertuang ke kepalanya. Thazin menoleh pada ibunya dan mengerutkan dahi. Ibunya memilih mengabaikan tatapan menuduhnya dan terus memandang Nadhifa. "Dia gadis yang sudah Mama siapkan untuk jadi menantu Mama kelak. Gadis yang akan menjadi istri kamu. Jadi ibu dari anak-anak kamu nantinya." Ucap ibunya dengan nada bangga. Thazin mengalihkan perhatiannya. Ia memandang Nadhifa yang memilih menundukkan kepala sehingga Thazin tidak bisa melihat dan membaca ekspresi wajahnya. Dan hal itu mau tak mau membuat Thazin kesal. "Ma.." Thazin hendak menyela ucapan ibunya namun ibunya kembali bicara. "Segera setelah Dhifa mendapatkan ijazah SMA nya, kalian akan menikah." ucap ibunya dengan nada penuh harap. "Kita gak perlu ada acara tunangan-tunangan dulu ya Ka. Langsung nikah aja biar cepet. Biar mereka bisa pacaran nanti kalo udah sah." Ucap ibunya lagi dengan nada menggebu yang membuat Thazin semakin kesal mendengarnya. "Aku ikut kamu aja, Ul." Jawab ibu dari gadis itu dengan suara lembutnya. Setelah makan malam selesai, semua orang kembali ke ruang tamu kecuali Nadhifa. Gadis itu terlihat sibuk membereskan meja dan membantu wanita paruh baya yang ia duga merupakan asisten rumah tangga. Sementara para ayah dan para ibu berbincang, Thazin memilih untuk berjalan keluar rumah dengan alasan ingin merokok. Padahal sebenarnya dia menghubungi seseorang yang sejak tadi tidak sabar menunggu panggilannya. "Kenapa lama sekali sih, Beib?" Rengek suara wanita manja di kejauhan sana. "Maaf, aku lagi ada acara makan malam sama rekanannya Mama." Ucap Thazin, memilih untuk tidak mengungkapkan alasan sebenarnya dari makan malam itu. "Kamu udah bilang sama Mama kamu, tentang kita?" Tanya gadis itu lagi penuh harap. Thazin menyugar rambutnya dengan kesal. Ya, dia seharusnya mengatakan masalah pribadinya dengan sang ibu sejak ia kembali ke Indonesia. Namun ia malah memilih untuk mengulur waktu dan berpikir untuk mencari waktu yang tepat sebelum membahas hal serius dengan ibunya. Dan ia menduga malam ini adalah waktunya, mengingat ibunya yang tampak sedang dalam mood yang baik. Tapi ternyata, ia malah kecolongan. Ibunya lebih dulu mengatur rencana untuknya sebelum Thazin mengungkapkan rencananya sendiri. "Belum. Aku akan bicara pada Mama besok." Jawab Thazin dengan nada tak yakin. "Mas, Mama manggil Mas buat masuk ke dalam." Suara bernada lembut itu membuat Thazin mematung. Ia menoleh dan melihat Nadhifa sedang berdiri dua langkah di belakangnya dengan sorot mata polos. "Siapa itu Beib? Siapa yang manggil kamu dengan sebutan lembut kayak begitu?" Gadis di kejauhan sana terdengar sekali bertanya dengan nada tak suka. "Bukan siapa-siapa." Ucap Thazin dengan nada dingin sedingin tatapannya yang mengarah pada Nadifha yang terlihat mematung di tempatnya. "Hanya gangguan kecil, Sayang. Aku akan menyelesaikannya dengan cepat." lanjut Thazin. Lagi-lagi tidak mengalihkan tatapannya dari Nadhifa. "Kita bicara lagi nanti, night." Ucap Thazin sebelum memberikan kecupan pada ponselnya dan mematikannya. "Maaf, kekasihku menghubungiku." Ucap Thazin dengan seringai dingin di wajahnya. "Kamu bilang Mama manggil aku?" tanya Thazin yang dijawab anggukkan Nadhifa. "Baiklah, kita masuk." Ucapnya dan dengan begitu saja melewati Nadhifa yang masih mematung di tempatnya. Beberapa saat sebelumnya. Nadhifa membawa makanan penutup mulut ke ruang tamu tempat dimana orangtuanya dan juga orangtua Thazin berada. Buah-buahan yang sudah dikupas dan dipotong cantik dan juga kue kering yang Nadhifa buat sendiri. "Ini buatan Dhifa?" tanya ayah Thazin dengan mimik terkejut. Nadhifa yang duduk di samping ayahnya mengangguk malu-malu. "Hebat kamu, kecil-kecil udah jago bikin kue." Puji ayah Thazin yang membuat Dhifa tersipu malu. "Apa Mama bilang." Ucap mama Thazin seraya memukul paha suaminya lembut. "Dhifa ini memang calon istri yang tepat kan buat Argan. Udah cantik, sopan, jago masak pula." Pujinya secara terang-terangan yang membuat Nadhifa semakin tersipu. "Tapi ngomong-ngomong, kemana anak itu?" tanya ayah Thazin lagi. "Keluar. Ngerokok katanya." Jawab mama Thazin dengan ekspresi kesal. Lalu tatapan wanita itu mengarah pada Nadhifa. "Sayang, kamu panggil Mas-mu kesini ya." Pintanya yang membuat Nadhifa terkejut namun kemudian menganggukkan kepala menurut. Nadhifa melangkah keluar dari ruang tamu sederhana kediamannya menuju teras. Menduga kalau Argan sedang merokok di kursi yang ada disana. Namun dugaan Nadhifa salah karena ternyata Argan sedang berdiri di samping pintu gerbang dengan tubuh menghadap jalan. Thazin Argan. Sebut Nadhifa dalam hati. Persis seperti dalam foto yang selama ini ditunjukkan padanya. Pria itu tampan. Sangat tampan. Wajahnya memang tidak semuda foto yang selama ini Nadhifa miliki, namun tetap saja, di usianya yang semakin matang pria itu juga semakin tampan. Jika dalam foto yang Nadhifa miliki tubuh Thazin Argan terkesan tinggi kurus. Maka berbeda dengan pria yang memunggunginya saat ini. Usia membuat tubuh pria itu menjadi besar dan kekar. Meskipun tidak sekekar binaragawan, namun memiliki masa otot yang tepat. Nadhifa melangkah mendekat. Langkahnya yang pelan jelas tidak menimbulkan suara sehingga Argan tidak menyadari keberadaannya. Nadhifa ragu, saat menyadari bahwa Argan sedang berbicara di telepon dengan seseorang. Ia berniat untuk mundur dan kembali masuk ke dalam rumah untuk memberitahukan orangtua Argan kalau pria itu sedang menghubungi seseorang. Namun nada lembut pria itu pada siapapun yang sedang dihubunginya membuat Nadhifa mematung di tempatnya. Siapa yang sedang Argan hubungi? Temannya? Saudaranya? Atau kekasihnya? Begitulah pertanyaan yang ada di benak Nadhifa. Entah kenapa, membayangkan kalau Argan memiliki kekasih membuat Nadhifa tak rela. Bukankah seharusnya Argan juga tidak memiliki kekasih, sama seperti dirinya selama ini? Nadhifa menggelengkan kepala. Dengan niatan bulat akhirnya ia menyela. "Mas," panggilan pertama Nadhifa untuk pria itu membuat pria itu menoleh seketika. sebelah alisnya terangkat dan matanya memandang Nadhifa tak suka. "Mama manggil Mas buat masuk ke dalam." Ucapnya dengan gugup. Jantungnya berdebar begitu kencang saat melihat ekspresi Argan. Antara kagum dan juga takut. Hal teraneh yang pernah dia rasakan pada seorang pria selama ini. "Bukan siapa-siapa." Jawaban Argan pada seseorang yang sedang berbicara dengannya di telepon namun dengan tatapan dingin yang mengarah pada Nadhifa membuat Nadhifa merasakan sedih seketika. Namun ia berusaha untuk membuat ekspresi wajahnya sedatar mungkin. Tak ingin Argan mengetahui perasaannya. "Maaf, kekasihku menghubungiku." Deg! Hal itu semakin membuat Nadhifa merasa kecewa. Ternyata dugaannya tadi benar. Argan memang sedang menghubungi kekasihnya. Jadi, pria itu bukan pria lajang? Pria itu sudah memiliki kekasih? Berapa lama mereka berhubungan? Sudah sejauh mana? Lalu apa arti dirinya untuk pria itu? Apa arti pertemuan ini? Dan bagaimana hubungan ini ke depannya? Pertanyaan itu terus mengisi benak Nadhifa sementara Argan masuk kembali ke dalam rumah seolah tak terjadi apa-apa. _____________________ Yang suka cerita ini,, silahkan tap ♥️ dan masukan cerita ini ke pustaka.. tapi harap sabar karena Mimin update semampunya. Jadi gak rutin dan juga lamaaaaaaaaa.... Jangan lupa komen..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN