Crazy Game. 7.

1445 Kata
Sejak makan berdua di kafe Sosmed, Deliana membisu, Agus juga. Bukannya Agus sudah menanti momen di kafe itu? Kenapa mereka menjadi bungkam begini. Mobil Agus berhenti di depan rumah bertingkat dua lantai. Gelap, lampu depan tidak dinyalakan. Beberapa deretan rumah sepi, tak ada siapa pun yang nongkrong di teras masing-masing. Bagaimana tidak? Sudah malam, pukul sebelas malam. Pasti semua sudah rebahan di kamar memilih untuk berpetualang ke alam mimpi. "Yakin? Kamu tidak mau saya temani?" Agus mencoba memecahkan suasana yang dari tadi membisu. Deliana senyum ciut, "Terima kasih." Agus menghela bahkan helaannya itu berat banget. Setelah Deliana sudah masuk ke rumah dengan aman. Suara mobil Agus meninggalkan tempat komplek rumahnya. Deliana sedikit mengintip di balik sela jendela. Lalu, ia merasa begitu bodoh, dan memegang bibirnya masih ada cap kecelakaan di kafe sosmed. "Ah! Kenapa jadi begini sih?!" batinnya dalam hati sembari menyalahkan dirinya sendiri. Sementara Agus malah bersiul-siul ketika sampai di rumahnya sendiri. Ternyata rumah dirinya tak jauh tempat tinggal Deliana. Hanya beberapa blok saja. Kemudian ia membuka pintu rumah bertingkat itu, ada rasa bahagia menyelimutinya. Apalagi mengingat kejadian di Kafe Sosmed tadi. Tak bisa Agus bayangkan kecelakaan walau singkat. Namun, momen itu bahagia. Ia pun tidak perlu minta izin pada mantan muridnya berikan yang di nanti-nanti. "Sepertinya ada yang bahagia nih?" ucap seseorang mengganggu kebahagiaannya. "Bukan urusanmu!" timpalnya kemudian memilih masuk ke kamarnya. Lalu mengempaskan dirinya di kasur ukuran medium. Pintu kamar Agus terbuka, seseorang masuk merasa penasaran dengan sikap Agus yang dari tadi senyum-senyum. Dia pun ikut bergabung dan kepo apa yang dipikirkan pria yang sudah berkepala tiga ini. "Kayaknya ada yang sedang jatuh cinta nih?!" usilnya. Ikut merebahkan diri dan memainkan boneka beruang di tangannya. Lalu diangkat tinggi-tinggi. Agus yang senyum sambil menatap ponsel sebuah foto entah kapan ia ambil itu. Tidak menggubris omongan suara yang selalu mengganggunya. Merasa dia diabaikan oleh Agus, kemudian dia pun membalik arah samping menatap Agus sibuk dengan gadgetnya. "Sampai kapan kamu mengabaikan aku? Aku tau kamu tidak menyukaiku, tetapi bisa 'kan kamu itu sedikit perhatian padaku? Apalagi...." "Cukup! Jangan bahas apa pun, sudah syukur aku tidak membiarkanmu gelandangan dijalan. Kamu itu bukan siapa-siapa ku, jadi aku minta diam, dan jangan terlalu ikut campur urusan pribadiku?!" potong Agus bangun dari rebahan nya kemudian masuk ke kamar mandi. Sosok itu memperhatikan punggung Agus menghilang dari pandangan yang sendu. Walau ia merasa sedih, kalau Agus tidak mengakui keberadaannya. Kembali ke Deliana, suara tawa dari seberang membuat sosok wanita yang tengah mengeringkan rambut habis keramas. Adila : [Oh my god, Del! Apa itu benar? Wah?! Berarti kecelakaan itu membuktikan kalau kamu itu benar-benar jodoh dia?! ] Deliana memutar dua bola mata amat kesal, kalau begini buat apa dia menceritakan kejadian di kafe Sosmed bersama mantan dosennya itu. Ujungnya ia ditawakan oleh Adila. Saat ini Deliana sedang video call dengan Adila, satu angkatan kuliah dan juga dalang dari permainan diberikan olehnya minggu yang lalu. Kalau bukan permainan konyol darinya, mungkin Deliana tidak akan mendapat kesialan dari Agus. "Please, Dila! Ini semua gara-gara kamu juga?! Kalau saja permainan konyol itu, aku juga nggak bakal mau menantang seperti itu?!" sanggah Deliana sebal. Adila tertawa, merasa bahagia banget apalagi pernyataan dari permainan itu tidak sungguh-sungguh. Malah tanggap serius oleh mantan dosennya sendiri. Adila : [Hahaha ... kamu sih, kenapa tidak lihat dulu pria yang kamu nyatain itu, siapa? Main nyerocos saja! Tapi, omong-omong dia benar-benar serius, loh?! Kamu yakin nggak mau terima perasaannya?"] Deliana lagi-lagi menghela berat. Entahlah ia benar-benar pusing. Percuma curhat dengan sahabat sendiri ujungnya ia pusing memikirkan kenekatan dari mantan dosennya. Bahkan ia tidak tau tujuan Agus menanggapi serius, dan mengejar dirinya. Jelas-jelas ia tidak suka dengan sikap-sikap mantan dosennya itu. Adila : [Aku tuh heran sama kamu, deh, Del. Kamu itu kenapa sih, tolak perasaan Pak Agus? Tampangnya lumayan kalau aku pikir-pikir, ya, kalau sekarang sih. Aku kurang tau tampangnya. Waktu dia mengajar dikelas kita, dia memang cakep, cuma ....] "Please, Dila! Jangan bahas soal itu?! Intinya aku nggak suka saja, entahlah aku bingung. Setiap dia muncul aku benar-benar benci banget?!" potong Deliana. Adila : [Ya, kenapa? Pasti ada alasan lain, kenapa kamu benci banget dengan Pak Agus? Apa ada sesuatu yang buat kamu ilfil banget sama dia? Atau ....] "Sudah dulu, ya, Dila. Aku mengantuk! Besok banyak pekerjaan lagi di kantor." Adila : [Tapi ... Del ...] Deliana menutup panggilan video call, ia memilih pejamkan rapat-rapat. Kedua matanya tidak dapat di kompromi lagi, meskipun isi kepalanya masih terngiang-ngiang pertanyaan dari Adila. **** Suara lengkingan di dapur, Agus sedang membuat sesuatu. Tengah malam lapar bukan hal baru baginya. Ya, bagaimana ia tidak lapar, sedangkan makan berdua beserta kencan mendadak dengan mantan muridnya batal. Kalau saja tidak terjadi kecelakaan kecil membuat mantan muridnya bungkam hingga mengantar dirinya pulang. Tentu mantan muridnya terlihat sangat marah dan kesal. Bukan, tetapi ia sangat malu. Untuk Agus sendiri tidak terlalu memusingkan, baginya ia sangat bahagia mendapatkan sesuatu yang di tunggu-tunggu. Untuk esok hari mungkin akan terkesan lebih bahagia lagi. "Sepertinya kamu bahagia sekali? Spesial apa sih wanita yang kamu kagumi bertahun-tahun itu? Sehingga kamu mengabaikan aku terus-terusan?" ucap seseorang duduk manis memandang punggung Agus tengah menggoyangkan gagang panci. Aroma tercium sangat tajam, Agus tengah memasang nasi goreng. "Apa kamu tidak lelah terus mengejar dia? Jelas-jelas dia tidak suka denganmu? Sehingga kamu lelah mengundurkan diri dari pekerjaan itu sampai mati-matian mencari pekerjaan yang layak dan bisa bertemu kembali dengannya, apalagi dia itu ...." Prak! Suara piring berisi nasi goreng yang masih panas, asap mengebul ke atas. "Makan! Tidak perlu banyak bicara?!" potong Agus menarik kursi lalu mendarat pantatnya. Meniup secara terburu-buru. Sosok itu menghela panjang, ia juga meniup pelan dan menyantap nasi goreng buatannya. Ia merasa beruntung bisa tinggal di rumah ini, dapat makanan gratis apalagi pria yang perhatian banget. Sayangnya ia sadar, pria yang berada di depannya bukan siapa-siapanya. Seandainya Agus sadar bahwa ia juga ingin seperti wanita yang dia kagumi selama 5 tahun. Kadang menyebalkan, apa yang ia dapatkan tidak pernah beruntung. "Hei! Kamu belum jawab pertanyaan ku, spesial apa sih kamu sampai mengagumi wanita itu, apalagi mengejar-ngejar dia?" Dia mengulang kembali setelah keadaan telah tenang. Agus membalas orang ada depan matanya. Jikalau bukan orang yang selalu membanggakan dirinya tidak menghalangi jalan pintas menjengkelkan, mungkin ia sudah berhasil mendapatkan Deliana menjadi masa depannya. "Kenapa kamu ngotot sekali ingin tau spesial apa di mataku? Kenapa kamu selalu ingin tau urusanku? Kurang cukupkah apa yang kamu dapatkan selama 5 tahun itu? Sekarang kamu mau mencoba memisahkan aku dengannya?" Kali ini beberapa pertanyaan dari Agus membuat wanita itu bungkam. Wanita yang tinggal bersama Agus juga seorang mantan dosen seperti dirinya. Dia adalah Cassandra, biasa di panggil Sandra. Wanita yang tergila-gila dengan Agus. Walau pun mantan dosen dan juga seorang sahabat dekat dengan Agus. Sandra selalu menempel kemanapun Agus berada, tidak heran kalau banyak pria-pria di kampus tergila-gila pada Sandra. Namun, Sandra merasa cemburu dengan sikap Agus selalu dingin padanya. Agus yang pantang menyerah menceritakan kepadanya bahwa dia sangat menyukai salah satu murid dikelasnya. Pada awalnya Sandra anggap biasa-biasa saja. Ia tidak terlalu serius setiap curhatan dari Agus. Karena bagi Sandra, Agus tidak akan pernah bisa jatuh cinta pada seseorang. Apalagi dirinya yang sudah lama dekat dengannya bahkan mengungkapkan isi hati padanya saja, Agus acuh tak acuh. "Ya, aku penasaran saja. Secara tak langsung kamu benar-benar berusaha mengejar agar cintamu diterima olehnya," jawabnya tenang sembari menatap lurus wajah Agus. Tidak akan bosan-bosannya untuk Sandra memandang wajah Agus. Meskipun beribu kali Agus menghindar darinya. Pasti Agus masih marah dan kesal atas sikap ia lakukan padanya. Sandra lakukan itu juga memiliki alasan. "Untuk apa penasaran dengannya? Bukannya kamu sudah tau siapa dia? Apalagi kamu pernah mengancam dirinya untuk menjauhi aku dan dia. Kamu pikir aku tidak tau isi otak licik mu?!" sanggah Agus masih sama, nada yang dingin, dan selalu membuat Sandra tak bisa berkata-kata. Ya, Sandra sadar yang ia lakukan itu salah. "Ya, aku tau, itu adalah kesalahanku. Tapi kamu tidak sepenuhnya menyalahkan diriku. Aku hanya mengatakan bahwa dirimu itu hanya milikku, tak ada lain lagi yang aku bicarakan padanya. Bisa jadi seseorang mengatakan lebih dari ..." Agus bangkit dari duduknya dan mengangkat piring, kemudian mencuci hingga bersih. "Percayalah padaku, aku benar-benar tidak mengatakan hal lain padanya," Sandra memeluk pinggang Agus. Agus memutar badannya, Sandra melepas pelukan dari pinggangnya. Jarak inilah yang di tunggu-tunggu olehnya. "Kamu tidak lebih dari sampah?! Jangan pernah sekali pun menyentuh atau memelukku?!" ujar Agus mendorong bahu Sandra sangat kasar. Sehingga Sandra termundur dan menabrak kulkas. Sandra sudah biasa diperlakukan keji seperti itu, tetap saja ia selalu menanti dan menunggu Agus sadar bahwa masih ada seseorang lebih setia menjadi pengganti masa depannya. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN