Crazy Game. 8.

1267 Kata
Deliana sengaja memilih terlambat masuk kerja, sengaja biar tidak bertemu dengan mantan dosennya. Walaupun ponselnya dari tadi bergetar, ada pesan masuk. Tidak dipedulikan olehnya. Di kantor, Agus mengetuk jari di atas meja, menunggu balasan dari mantan muridnya. Belum juga ada balasannya. Sesekali di intip melalui tirai jendela, belum ada sosok Deliana di mejanya. Kekhawatiran Agus mulai memuncak, ia mondar - mandir dari tadi, keluar masuk dari ruangan menanyakan pada Anggi, ke mana Deliana saat ini. Anggi hanya menjawab tidak tau. Sehingga karyawan lainnya kebingungan atas sikap atasan barunya itu. Apalagi dengan Dani, semakin curiga padanya. Sekali lagi Agus menekan nomor satu tertanam milik Deliana. Saat ini Deliana berada di salah satu minimarket, sedang menikmati sebungkus roti, dan satu kaleng biasa di tangannya. Kembali ponsel miliknya bergetar, ia masih tak memedulikan untuk sekian kali gadget itu bergetar di kantung celana panjangnya yang ketat. Getaran ponsel tak lain dari mantan dosennya, untuk sekarang ini ia tidak ingin diganggu. Benar, Deliana belum siap berhadapan dengan mantan dosen. Kejadian semalam saja belum bisa ia lupain. Melihat wajah Agus, sudah membuat detak jantungnya berhenti seketika. Betapa malunya ia di kafe Sosmed kemarin malam. Atas kecerobohan beserta kecelakaan tak dapat dielak membuat harga dirinya menurun. Pasti bahagia dibalik wajah mantan dosen, secara tak langsung kejadian itu benar-benar disengaja olehnya sendiri. Jikalau saja mantan dosen itu tidak sembarang merebut ponselnya. Semua tidak akan terjadi sesingkat itu. Ringtone panggilan : [Jangan datang lagi cinta ... Bagaimana aku bisa lupa ... Padahal kau tahu keadaannya ... Kau bukanlah untukku ... ] (2x) Lagu ringtone dari ponsel Deliana bersuara, cukup nyaring, dan membuat seseorang tak jauh dari dekatnya menepuk bahu kanan untuk menyadarkan lamunannya. "Mbak ... Mbak ..." panggilnya berulang kali, Deliana pun menoleh tanpa sadar, "Hah?" sahutnya bengong. "Ponsel Mbak berbunyi terus!" ucapnya berlalu meninggalkan Deliana di sana. "Oh!" Ia pun segera merogoh tasnya, Deliana bukan punya satu ponsel saja, tetapi dua ponsel. Yang satu hanya untuk kepentingan pribadi, sementara satu lagi untuk kepentingan klien, atau supplier menanyakan barang kepadanya. Ringtone panggilan : [Jangan datang lagi cinta ... Bagaimana aku bisa lupa ... Padahal kau tahu keadaannya ... Kau bukanlah untukku ... ] Kembali lagi lagu ringtone-nya bersuara sangat merdu, namun keras. Dilihat siapa meneleponnya begitu mendesak. Setaunya hari ini tidak ada penagihan apa pun. Muncul nomor tidak diketahui. Deliana mencoba mengingat nomor ini. Namun ia sangat hafal kalau semua tersalin semua dikontak ponsel tersebut. Tanpa ada rasa ragu, ia pun mengangkat, dan ramah. "Ya, Halo!" sambut Deliana lembut. "Kamu ada di mana?" Terdengar suara dari seberang, Deliana bahkan hafal sekali suara itu. Ia mencoba menjauhkan ponsel dari telinga, ia terheran. "Halo, Deliana? Kamu masih di sana?" Deliana kembali menempelkan ponsel ke telinga dan menetralkan pita suaranya. "Ya, Pak! Ada perlu apa mencari saya?" ucapnya lembut dan sopan. "Saya hanya bertanya kamu ada di mana? Kamu tidak ingat ini hari apa?" Deliana yang menyimak percakapan mantan dosennya, semakin ngawur saja. Ia sendiri kebingungan maksud dari pertanyaan itu. "Hah? Maksud, Bapak apa? Mengingat apa? Memang saya ada janji dengan Bapak?" Kembali Deliana bertanya pada Agus. "Hhh ... kamu selalu melupakan hari momen spesial kita berdua. Duduk sendirian, melamun, apa yang kamu tunggu? Kamu mencoba buat saya cemburu, sampai-sampai kamu lama-lama masuk ke kantor?" Deliana menjauhkan kembali ponselnya, ia semakin bingung atas ucapan mantan dosen di seberang. "Sebenarnya dia kenapa sih? Memang ada salah kalau aku terlambat masuk kerja?" gumamnya seolah-olah ingin mengutuk mantan dosen itu. "Ehm ... maaf, Pak! Bapak tidak sedang bergurau 'kan? Memang salah saya apa, Pak? Saya hanya terlambat masuk kerja karena bangun kesiangan. Jika Bapak merasa keberatan atas sikap saya semena-mena tanpa izin dari Bapak. Saya siap kok di potong gaji, jika Bapak merasa itu berat." Tidak ada suara apa pun dari seberang setelah Deliana berargumentasi dengannya. Deliana sekali lagi melihat layar ponsel, masih tersambung. "Heh? Dasar pria aneh! Dia yang menelepon ku, dia sendiri menghilang tanpa pamitan?! Benar-benar aneh dan hari yang paling menyebalkan?!" tuturnya langsung mematikan kemudian ia langsung beranjak dari tempat minimarket setelah kenyang mengisi perut. Berdiri di depan minimarket Deliana pun mengulurkan tangan panjang, mencoba menghentikan mobil yang tak jauh dari arah tujuan. Pada saat mobil berwarna biru hampir mendekat, sebuah mobil hitam jazz menghalaunya. Deliana terdiam, menatap jengkel pada mobil yang suka-suka berhenti tanpa melihat. Jendela mobil berdekatan di mana Deliana berdiri, turun. Kemudian seseorang menunduk sedikit memunculkan wajahnya. "Ayo, naik!" ajaknya senyum merekah. Deliana yang mengamati dari tadi membulat sempurna. **** "Nanti sore saya antar kamu pulang, ya!" ujarnya sembari mengemudi. Deliana menoleh, "Tidak perlu, Pak! Saya bisa pulang sendiri, kok!" jawabnya menolak. "Tidak bisa, kakakmu baru saja memesan padaku. Selama mereka tidak ada, saya menjadi pengganti menjaga dan melindungimu. Lihat itu, kamu kesulitan tidur semalam, bukan? Padahal saya sudah menawarkan diri untuk menemanimu. Kamu menolak terus?!" Desahan Deliana untuk kesekian kalinya. Ada gerangan apa mantan dosennya ini terus mengintai setiap dirinya pergi. Apalagi membawa nama Sarah dan Indra. Ia mengirim pesan menanyakan lebih jelas, apakah benar mereka meminta pria itu mengawasi dirinya? Tak kunjung juga untuk membalas si Sarah dan Indra. Deliana masih belum yakin jikalau benar suruhan Sarah dan Indra. Lama-lama ia sangat ilfil kehadiran mantan dosen. Selalu menempeli bagai cicak di dinding atau perangko. "Jangan melamun, kamu tidak suka saya mengantar jemput dirimu?" Agus kembali bertanya kali ini nada bicaranya sedikit pelan dan lembut. Seakan-akan Deliana telah melakukan kesalahan atas penolakannya. "Hah? Ti-tidak kok, Pak! Maksud saya ... tidak enak saja sama yang lain. Apalagi Bapak adalah atasan saya. Kalau Bapak terus-terusan mengantar jemput saya dari rumah ke kantor. Bagaimana cara saya menjelaskan ke lainnya," jawabnya lirih, takut jikalau Agus tidak suka atas jawaban darinya. Mobil berhenti di persimpangan lampu merah. Macet, dan pastinya lama untuk jalan. Karena lampu lalu lintas angka 50 terhitung mundur. Belum lagi terik matahari sangat panas. Jika dilihat dari luar jendela, lebih tepat pukul sepuluh pagi hampir menjelang siang. Pastinya anak-anak di kantor sudah pada menggosipkan dirinya. Kenapa ia tak kunjung untuk masuk kerja. Apalagi, si atasannya keluar dan bisa menjemput dirinya di depan minimarket. Perasaan dirinya tidak memberitahukan keberadaannya. Semua dapat terdeteksi melalui GPS. "Tidak masalah kalau anak-anak tau, bahwa kamu itu adalah mantan murid saya, sekaligus calon pendamping masa depan saya." Deliana hanya membisu, ia pusing mencari cara apalagi agar mantan dosennya tidak tergila-gila padanya. Terbuat apa sih hatinya? Ditolak berulang kali pun masih saja memperjuangkan. "Saya heran sama Bapak. Memang tidak capek kejar-kejar saya? Seharusnya Bapak sadar atas penolakan saya, kenapa tidak menerima perasaan Bapak? Memang spesial apa sih saya di mata Bapak? Bahkan saya pusing mencari untuk tidak kontak fisik dengan Bapak?!" ungkap Deliana jujur. Benar, ia sudah tidak bisa menahan rasa kesal terhadap Agus. Agus menarik seulas senyum diwajahnya, sembari menunduk lalu mengangkat serta melirik mantan muridnya. Kedua mata mereka bertemu, Deliana sadar mengalihkan pandangannya. Ia tau perasaan mantan dosennya tulus, cuma itu satunya jarak agar tidak kontak fisik atau mata. Ia juga bingung, bahkan pertanyaan yang terlintas di kepalanya masih terngiang-ngiang kata-kata Adila, sahabat satu angkatannya. "Mungkin kamu jijik dengan sikap saya terhadapmu. Dengan cara apa pun kamu menolak saya. Saya tulus, menginginkan dirimu menjadi pendamping masa depanku ..." Deliana mengernyit ketika mendengar kekehan Agus. Agus tertawa kecil, merasa ia frustrasi dengan dirinya. Ia menyandarkan kepala duduknya. Sekali lagi ia melirik Deliana. "Kamu itu spesial menurutku. Saya tidak peduli seberapa kamu benci dan ilfil denganku. Cinta itu buta, sebagaimana pun saya berusaha agar kamu dapat memahami betapa tulus mencintaimu," lanjutnya, kemudian ia menghidupkan mesin mobil menuju ke kantor. Lagi-lagi Deliana dibikin banyak pertanyaan, sangat menjengkelkan. Ada apa dengan mantan dosennya ini? Sepertinya suasana hati Agus tidak biasanya. "Ah! Deliana ... Kamu apakan Pak Agus itu? Kenapa semakin rumit sih, pembahasan ini?" batinnya menegur diri sendiri. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN