Suasana di kantor PT. Indo Nusaraya Industri, hal-hal biasa. Terdapat suara printer epson, fax, mesin fotocopy, dan deringan telegeram. Masing-masing menyibukkan pekerjaan di tempat.
Lalu, Vanessa. Staf bagian marketing tengah mengambil air minum dekat dengan tempat kerja Anggi. Melirik sekitar tidak menemukan teman kerjanya di sana. Apalagi dari pagi hingga sekarang belum menampakkan batang hidung wanita itu.
"Btw, Delia ke mana? Kok dari tadi gak nampak hidungnya?" tanyanya mengangkat gelas meneguk setengah air mineral itu.
Anggi mendongak hanya mengangkat bahu, lalu dilanjutkan kembali pekerjaannya semakin menumpuk. Belum lagi pekerjaan Deliana sedari tadi telepon berbunyi terus-terusan.
Vanessa mendengus lalu pergi dari tempat itu. Lalu Fiona mendorong kursinya mundur mendekati meja Anggi. Ia juga ikut penasaran dengan teman kerja tak kunjung masuk ke kantor.
"By the way, Pak Darmawan ke mana, ya?" tanya Fiona basa-basi.
Anggi menghela dan menoleh temannya, "Kamu tanya aku? Aku harus tanya siapa? Seharusnya kamu tanya itu orang yang paling tau, itu tuh!" tunjuk Anggi menunjukkan arah Santi tengah duduk sembari menelepon seseorang.
Fiona mengikuti dan paham, namun ia tidak pergi dari posisinya. "Kamu merasa aneh, gak sih, sama Pak Darmawan?"
Anggi mengangkat bahu lagi, tandanya tidak tau. Tapi, kadang ia juga penasaran dengan sikap atasannya. Sampai sekarang beliau belum kembali setelah menanyakan kabar Deliana.
Fiona menyungging lebar, teman lainnya juga kepo. Malah tidak melanjutkan pekerjaan, karena apa? Sudah waktunya makan siang. Sekarang mereka ke kantin untuk mengisi perut masing-masing yang sudah keroncongan.
Para staf di PT. Indo Nusaraya Industri, berkumpul di satu tempat meja. Kemudian menikmati makan siang. Lalu tak sengaja mereka mendengar gosip tentang Deliana dan Pak Darmawan.
"Yang benar, kamu? Jangan sembarang menggosipkan deh! Memang kamu lihat mereka hampir berciumaan di lift?" cecar salah satu divisi Laboratorium.
"Iya loh, kemarin saat aku sama Hendra mau turun ke lobi. Pas mau masuk itu. Pak Darmawan sama mbak Delia di dalam. Aku nggak tau mereka ngapain, yang pasti jarak mereka dekat banget kalau bukan ada hubungan spesial?" jawabnya meletakkan nasi kotak berisi berbagai macam lauk di sana.
Ada Anggi, Dani, Fiona, dan lainnya membisu cukup mendengar gosip-gosip tentang Deliana dan Agus. Ya, di mana lagi yang mereka bahas soal gosip hangat ini.
Bahkan Anggi juga ikut kepo banget. Ia benar-benar penasaran tentang hubungan Deliana dan atasan barunya. Apalagi soal semalam, makan siang berbarengan tiba di kantor. Terus jam pulang kerja, atasannya malah meminta Deliana lembur meminta mengerjakan pekerjaan Santi.
Segitu ngototnya kah, atasannya meminta Deliana pindah menjadi sekretaris nya? Lalu Anggi menatap Dani, ya, bisa jadi Dani tau perihal soal atasan barunya itu.
"Kenapa kamu lihat saya begitu? Naksir?" tegur Dani setelah menyadari kalau anak didiknya memperhatikan dari tadi.
"Sok! Siapa juga naksir sama kamu?!" timpal Anggi melanjutkan makan siangnya.
"Hem ... omong-omong, Pak. Aku mau tanya nih?!" lanjut Anggi berbicara.
Dani mengangkat satu alisnya, "Hem ... tanya apa? Kalau soal perasaan, jangan deh. Saya belum bisa move on dari ..."
"Iih ... Pak! Aku tidak akan jatuh hati ke Bapak! Aku serius bertanya, loh?!" sengitnya kesal.
Kadang ini yang Anggi jengkel sama kepala HRD nya. Untung cakep, kalau tidak? Mungkin sandal jepit sudah melayang ke mukanya.
Dani terkekeh, lucu saja lihat sikap anak didiknya. Bahagia sih bisa menjail anak-anak yang pada ambigu nih. "Oke, Oke, lanjutkan!" Dani tidak bisa berhenti ketawa. Semua ada di kantin pun menoleh memperhatikan kepala HRD.
Anggi menciut kesal, "Kayaknya Bapak cocok jadi aktor tawa. Salah posisi kepala HRD," sindir Anggi pelan.
****
Ketika menuju ke kantor, Agus bukannya lurus tetapi memilih belok kanan seberang. Buat Deliana tersentak pada arah berlawanan.
"Loh, Pak? Kita mau ke mana?" Deliana bertanya pada Agus, Agus tidak menjawab malah memilih sesuai arah berlawanan.
Deliana semakin panik papan nama toko tujuan jalan. Tidak tercantum nama jalan lokasi, ketakutan pada wanita ini semakin gelisah. Dia tidak ingin kejadian itu terulang kembali mengingat di mana dirinya pernah mengalami hal serupa dengan seseorang.
"Pak! Kita sebenarnya mau ke mana? Jawab dong, Pak?!" Deliana semakin panik dan gelisah, dia terus bertanya, namun Agus tidak menjawab sama sekali. Agus malah menjalankan mobil ke tempat terpencil.
Pikiran Deliana semakin gusar melihat jalanan kecil berupa tebu-tebu tinggi, dan pepohonan sawit. Deliana hanya pasrah jika dirinya akan dibuat jahat oleh pria gila di sebelahnya. Inilah kenapa Deliana memilih untuk menjaga jarak dari mantan dosennya.
Agus akan melakukan apa pun agar cintanya terbalaskan, bahkan dengan cara apa pun itu, dia tidak akan pernah menyerah untuk bisa mendapatkan hati seorang mantan murid seperti Deliana.
"Pak! Kalau Bapak bersikap seolah bodoh, saya telepon polisi?!" Deliana mengeluarkan ponsel dari tasnya, dan memulai menekan nomor tujuan.
CIIIITT....
Suara ban mobil berdecit membuat Deliana maju ke depan, dia nyaris terhantam sesuatu. Baru akan menelepon, ponsel miliknya terjatuh di bawah duduknya.
Agus seakan-akan tidak dapat terkendalikan, dia benar-benar frustrasi. Dia hampir saja membunuh seseorang, Deliana mendongak, dia ingin mencaci maki mantan dosennya.
"Apa yang Bapak laku ...." Dua bola mata Deliana hampir mau keluar dari lingkarannya. Sedikit lagi, ujung wajah mobil mereka hampir tergelincir dalam longsor tanah juram tersebut.
Deliana menoleh arah Agus, Agus seakan bukan dirinya saat ini. Dia tidak bisa berpikir lagi atas sikap mantan dosennya. Untuk kedua kalinya, pria itu melakukan tindakan mengerikan terhadapnya.
Ya, Deliana lebih takut harus jatuh cinta dengan pria seperti Agus. Daripada dia harus terjerumus pikiran gila tak normal seperti Agus. Bahkan, berapa kali Deliana menolak, menolak untuk tidak menerima perasaan darinya. Alasan, kejiwaan Agus tidak terkontrol, perasaan cemas, khawatir selalu membuat firasat Deliana tidak tenang.
Apa pun yang dilakukan oleh Agus, terhadapnya juga tidak akan pengaruh pada hatinya. Deliana mengempaskan punggung di belakang duduknya. Dia tidak tahu bagaimana agar pria ini percaya, bahwa dirinya tidak mempunyai perasaan apa pun terhadapnya.
"Maaf, sudah membuat kamu takut karena sikapku. Saya benar-benar tulus mencintaimu, Del. Apakah tidak ada kesempatan untuk saya mencintaimu? Apa begitu sulit untuk menerimaku, meskipun kamu sudah mengetahui diagonis kejiwaanku?" ucap Agus, menatap Deliana amat lekat.
Deliana sesekali melirih mantan dosen itu, hanya embusan diperoleh Deliana saat ini. "Kenapa harus saya, Pak? Masih ada Bu Sandra yang bisa mencintai Bapak? Berusaha dengan apa pun, saya tidak mau terjerumus kegilaan dari Bapak. Jikalau Bapak ingin bunuh diri, jangan bawa saya. Bukannya, Bapak bilang akan melindungi saya atas pesan dari Kak Sarah, dan Bang Indra?" balas Deliana berpidato panjang lebar, berikan sedikit pencerahan kepada mantan dosennya.
"Saya berbohong, saya berbohong agar kamu percaya kalau mereka menyampaikan untuk menjagamu, dan melindungimu. Tetapi, itu tidak berhasil. Saya harus bagaimana lagi agar kamu yakin atas ketulusan yang ku sampaikan? Saya dengan Sandra tidak ada sangkut atas tujuan saya menyukaimu," jujur Agus menyatakan segala perasaan kepada Deliana.
Deliana hanya menatap dua mata cokelat milik mantan dosennya. Ada luka, yang Deliana rasakan pada mantan dosen itu. Entah luka apa yang tersimpan padanya. Deliana bukan seorang psikiater, bukannya mantan dosen ini adalah seorang psikiater?
Kadang Deliana pusing memikirkan hal ini, dia tidak bisa membedakan cinta, dan masa lalu terhadap mantan dosen satu ini. Semakin dia mengingat, semakin sakit kepala yang datang.
****