Bab 3. Anak Nakal

1428 Kata
Keesokan paginya Ethan terlihat duduk diam di samping Julia yang masih terlihat sangat lemah. Kulitnya yang putih semakin terlihat pucat karena sakit. Cukup lama Ethan memperhatikan hingga akhirnya wanita itu terbangun. "Ethan," lirih Julia. Ethan tidak menyahut, ia bangkit dari duduknya mengambil minum lalu membantu Julia untuk duduk. Meski saat ini Ethan sedang menahan gemuruh emosinya, ia masih berusaha untuk tidak membuat semuanya menjadi kacau. Julia kembali merebahkan tubuhnya, masih terlalu lemah karena baru saja mengalami keguguran. "Aku tidak menyangka kau lebih licik dari dugaanku." Ethan menarik sudut bibirnya menjadi senyuman muak. "Kau sudah hamil 4 bulan tapi selama ini kau masih datang padaku demi bisa naik ke ranjangku, Julia Aurora?" Penuh tekanan dengan ekspresi geram yang tak dipungkiri pada wajah Ethan. Julia tersenyum pahit, air matanya kembali mengalir membahasi pipi. Sesaat ia memandang Ethan sendu. "Kau mengatakan seolah aku ini seorang jalang yang ingin sekali kau sentuh, Ethan. Apa kau lupa kita sudah menikah 5 tahun lalu?" "Kita menikah karena bisnis! ingat itu baik-baik. Dalam bisnis tidak ada perasaan apalagi gairah. Yang aku lakukan hanya demi melanjutkan keturunan keluargamu karena mereka ingin keturunan yang sempurna. Tapi sayangnya mereka lupa jika putri mereka sudah rusak saat diberikan padaku," sergah Ethan dengan nada sarkas, pun tatapan matanya seolah muak sekali. Julia tertawa sinis dengan air mata yang mengalir. "5 tahun aku sudah bertahan, tidak mungkin aku terluka hanya karena omong kosong ini, Ethan. Bukankah kita sama-sama rusak?" "Setidaknya jangan pernah menggunakan perasaanmu seolah aku suami yang jahat!" "Karena itu memang faktanya! Kau suami yang jahat! Kau tidak pernah peduli padaku. Bahkan 5 tahun menikah kau baru ingin menyentuhku 2 tahun terakhir. Itu pun kau harus mabuk dulu dan harus masa subur. Sekarang sebutan apa yang cocok untuk suami seperti dirimu?" Julia yang biasanya berbicara anggun mendadak sangat emosional. Air matanya sudah berderai membasahi pipinya yang putih. Ethan rasanya ingin menggebrak apa pun yang ia lihat namun sekali lagi masih bersimpati karena Julia sedang sakit. "Setelah ini kita urus surat perceraian kita. Aku tidak bisa memberikan keturunan pada keluargamu. Itu alasan yang harus kau katakan." Ethan bangkit dari duduknya, ia yakin jika semakin lama berdebat ia benar-benar bisa menghancurkan rumah sakit itu. Ia hendak melangkah keluar namun ekor matanya tak sengaja melihat pintu ruangan itu terbuka. Sosok Nindy masuk untuk mengganti infus dan mengecek keadaan Julia. Ethan yang melihat itu menyeringai, ia yang semula hendak pergi mendadak duduk di samping Julia lagi lalu mengelus pipinya. "Sayang, tidak apa-apa kita kehilangan anak kita. Masih banyak waktu untuk memikirkan itu. Yang penting kau sehat dulu," ucap Ethan sangat lembut sekali, ia bahkan mencium sudut bibir Julia dengan sangat sengaja. Julia kaget sekali pastinya, Ethan baru saja marah-marah namun kini justru bersikap sangat manis membuat ia heran. Nindy tentu melihatnya, ia berusaha untuk tidak terpengaruh meski hatinya mendadak nyeri. "Dia memang b******n!" batinnya menjerit. "Maaf menganggu," ucap Nindy segera berbalik. Ethan menjauhkan wajahnya seraya tersenyum sinis. "Suster, kau ingin mengecek keadaan istriku? Lakukanlah tugasmu dengan baik," ujarnya kemudian seraya melirik Nindy tajam. Nindy menarik napas panjang seraya menghembuskannya perlahan. Ia perlahan membalikkan tubuhnya seraya tersenyum manis. "Selamat pagi, Nyonya. Maaf tadi saya masuk tidak mengetuk pintu. Bagaimana Nyonya Leonard, apa yang dikeluhkan hari ini?" Nindy menyapa dengan suara lembut, ia berjalan mendekat ke arah ranjang lalu mengecek infus pada Julia. Sesaat ia melirik Julia, tentunya sangat cantik sekali. "Sudah lumayan membaik, Sus." Julia menyahut ramah. "Ini infusnya saya ganti yang baru dulu, Nyonya. Siang nanti Dokter akan melakukan pengecakan lagi. Cepat sembuh ya," tutur Nindy dengan cekatan mengganti infus milik Julia lalu segera pergi begitu saja tanpa melihat Ethan sama sekali. Ethan tersenyum miring, ia terus memperhatikan Nindy sampai wanita itu lenyap. Setelahnya ia ikut beranjak. "Aku ingin rokok sebentar." Begitulah ucapnya pada Julia. Ethan bergegas mengejar Nindy. Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan pada wanita itu. Hanya saja ketika melihat Nindy gejolak dalam dirinya tidak bisa dikendalikan. Seperti ingin melakukan sesuatu pada wanita itu namun ia juga tidak mengerti apa yang ingin ia lakukan. Ethan melangkah dengan tegap menyusuri koridor rumah sakit. Sedikit mengerutkan dahi karena Nindy cepat sekali hilangnya. Wanita itu mungkin sibuk mengurus pasiennya. Hingga kemudian langkah Ethan terhenti di sebuah pintu yang menuju taman rumah sakit. Di sana ia melihat Nindy tampak sedang bergurau dengan salah seorang pasien yang sudah berumur. Entah apa yang Ethan pikirkan ia berjalan mendekat. Melihat wajah wanita itu tanpa ingin mengedipkan matanya sama sekali. "Senyumannya selalu sangat manis," batin Ethan tanpa sadar. Ethan masih melihat wajah itu beberapa saat. Namun, tiba-tiba saja ia tak sengaja menabrak seseorang hingga terjatuh. Bukan, lebih tepatnya dirinya yang ditabrak hingga tubuh seseorang itu terjengkang ke belakang. "Om!" Suara teriakan cukup melengking itu mengalihkan pandangan Ethan. Dahinya berkerut saat melihat anak kecil laki-laki yang menatapnya penuh kekesalan. Ethan memiringkan kepalanya, menatap anak itu dengan kerutan lebih dalam. Dari postur tubuhnya kemungkinan berusia 6 tahunan. Rambutnya dipotong mullet dan menggunakan pakaian kedodoran. Yang membuat Ethan aneh, ia merasa anak itu seperti dirinya saat kecil. Anak kecil itu terlihat sangat kesal, tiba-tiba saja mendorong Ethan hingga tubuhnya mundur selangkah. "Anak ini, apa maksudnya?" batin Ethan kebingungan. "Kau ada masalah apa?" Ethan mengangkat dagunya, benar-benar tak mengerti kenapa anak ini bisa sekesal ini. "Om udah nabrak aku sampai jatuh dan Om nggak minta maaf. Om harus tahu rasanya kalau di tabrak itu sakit!" seru anak itu begitu berapi-api. Ethan mengangkat alisnya, anak ini berani juga, pikirnya. "Hei, itu bukan salahku. Kau saja yang terlalu kecil sampai tidak terlihat. Lihatlah, tubuhmu masih pendek. Apa ibumu tidak memberikanmu s**u?" Ethan membalasnya lebih menyebalkan, ia yang tak terima balas mendorong bahu anak itu meski tak terlalu kencang. "Biar saja, anak ini cukup mengesalkan juga. Berani sekali dia menatapku seperti itu," batin Ethan kesal, satu-satunya orang yang berani menatapnya sangat tajam seperti itu hanya Nindy. Kini bertambah dengan anak ini. Anak itu cukup gentar, ia yang merasa sama kesalnya langsung menggigit tangan Ethan begitu kuat hingga berdarah. "Aduh s**t! Kau memang anak nakal, siapa orang tuamu, ha!" Ethan meringis kesakitan, ia dengan penuh kekesalan langsung menarik baju belakang anak itu dan mengangkatnya agar gigitannya terlepas. Sikap Ethan itu membuat anak laki-laki itu menangis dan berteriak-teriak mengamuk. "Aaaaa ibu! Ibu!" "Ya teriak, teriak sana. Panggil ibumu, dasar anak nakal!" Ethan memelototi anak itu hingga semakin menjerit-jerit. Sungguh hatinya puas sekali melihat anak nakal itu menangis. "Haaaaaa Ibu!" Anak laki-laki itu semakin berteriak-teriak hingga suaranya terdengar sampai ke seluruh penjuru ruangan. Apalagi itu masih pagi sehingga rumah sakitnya sangat sepi. Ethan yang sudah cukup puas membuat anak itu menangis barulah ia melepaskannya. Ia mengulas senyum penuh ejekan yang membuat anak itu semakin kesal. Anak itu menjauh dengan wajah yang lebih emosi. Ia menatap Ethan dengan sangat tajam seraya mengacungkan jari tengahnya ke arah Ethan sebelum berlari terbirit-b***t. Ethan yang melihat itu tertawa terbahak-bahak. "Seriously? Bahkan sifat menyebalkan itu sama denganku. Anak siapa dia?" ucapnya seraya terkekeh-kekeh geli. *** Nindy masih mengobrol dengan salah seorang pasien lansia tiba-tiba dikejutkan dengan tangis anak kecil yang sangat familiar. Ia terkejut sekali melihat putranya berlarian ke arahnya dengan wajah berderai air mata. "Ibu! Ibu ada Om jahat!" Anak itu langsung memeluk Nindy dengan sangat kuat dan menangis sekencang-kencangnya. "Elang, kenapa menangis?" Nindy berusaha menenangkan dengan menepuk punggungnya. Suara Elang—putranya sangat kencang sekali membuat Nindy tak enak jika didengar pihak rumah sakit. "Om jahat itu, Bu. Dia menarik bajuku dan memelototiku seperti ini." Elang menjawab seraya menirukan apa yang dilakukan Ethan padanya tadi. "Om jahat?" Nindy mengerutkan kening. "Elang nggak buat masalah 'kan?" Nindy menatap putranya sedikit tajam. Ia sudah hafal bagaimana sifat anak laki-lakinya ini. Elang menggeleng cepat-cepat. "Enggak, aku kan jalan terus sama dia ditabrak sampai jatuh. Tapi Om itu tidak mau minta maaf dan malah marah," jelas Elang. "Kata Ibu kalau orang salah harus minta maaf. Aku sudah benar 'kan, Bu?" "Ehem, sekarang tunjukkan pada Ibu siapa orang itu. Biar ibu berikan pelajaran." Nindy mengangguk singkat lalu bangkit menggendong Elang yang sudah sangat besar ini. "Om jahat itu ada di sana!" Elang menunjuk dimana posisi Ethan tadi. Wajahnya masih terlihat merajuk. Nindy mengikuti pandangan Elang yang menunjuk ke pintu samping rumah sakit. Entah pengelihatannya saja yang salah atau bagaimana, namun ia melihat sosok Ethan yang berjalan menjauh. "Apakah dia orangnya?" Nindy bertanya pelan, tiba-tiba ia merasa jantungnya berdetak tak karuan. "Iya, Om yang memakai jas abu-abu itu, Bu. Dia jahat!" Elang mengangguk cepat-cepat. Jantung Nindy berdetak sangat kencang. Jika memang benar orang yang telah menganggu Elang adalah pria berjas abu-abu, itu artinya memang Ethan orangnya. Nindy yang semula sudah kesal semakin kesal saja. "b******n itu memang gila. Bisa-bisanya kau membuat anakmu sendiri menangis, Ethan!" Bersambung~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN