Arini masih saja sibuk berkaca melihat luka di keningnya. Sekelebat kejadian sore tadi kembali teringat olehnya. Bagaimana Novan begitu cemas. Bagaimana Novan begitu telaten mengobati lukanya. Arini memejamkan matanya sejenak. Dia bahkan masih bisa mengingat bagaimana rasanya sentuhan Novan.
“Gila! ngapain sih, aku?” Arini memaki dirinya sendiri.
Arini mencoba menyingkirkan sosok Novan dari sumbu pikirannya. Namun semakin dia berusaha melupakan, segala tentang Novan malah semakin menguap dan membawanya untuk larut bersamanya. Arini mengingat semua moment yang sudah dilaluinya bersama Novan. Dia kembali teringat saat pertama kali mereka bertemu malam itu, pertengkaran di depan toilet, pertemuan mengejutkan di kantor Novan, hingga peristiwa yang terjadi sore tadi. Rentetan kejadian itu kini menjelma menjadi sebuah memori yang memaksa Arini untuk ikut bermain dengannya.
Lamunan panjang Arini pun buyar saat handphone-nya bergetar kencang. Dia tersadar dan langsung mengambil handphone itu.
“Eh... ngapain dia nelpon aku?”
Arini terkejut melihat nama Novan tertera di layar itu. Sebelum mengangkatnya, dia berdehem beberapa kali untuk mempersiapkan suaranya. Arini pun mengatur napas sejenak, kemudian barulah dia menjawab panggilan itu.
“Halo... ini kamu kan, Rin?” suara Novan di seberang sana terdengar jernih.
“Iya, ini aku. Ada apa?” tanya Arini.
“Luka kamu nggak membengkak, kan?” tanya Novan.
Tanpa dia sadari, ujung bibir Arini terangkat mendengar pertanyaan itu.
“Kenapa kamu diem, Rin...? kamu denger aku kan?” Novan kembali bersuara.
“Aku denger kok. Luka aku juga nggak bengkak... lagian cuma luka ringan aja. Kamu nggak perlu berlebihan seperti itu,” pungkas Arini.
Novan tertawa di seberang sana. “Ya tetep aja... semua itu gara-gara aku.”
“Lho bukannya tadi kamu bilang itu semua gara-gara aku yang nggak pakai sabuk penga—”
Deg.
Ucapan Arini terhenti. Dia kembali teringat disaat Novan memasangkan sabuk pengaman untuknya. Seketika Arini menjadi grogi dan tidak bisa berkata-kata lagi.
“Halo... kenapa omongan kamu keputus, Rin?” tanya Novan.
“Nggak ada apa-apa kok. Mungkin sinyalnya lagi ada gangguan,” jawab Arini.
Waktu pun terus berlalu. Arini dan Novan keasyikan bercengkerama melalui telepon. Arini bahkan tidak memedulikan telinga dan pipinya yang sudah terasa panas. Gadis itu sekarang menelepon dengan posisi menelungkup sambil memeluk sebuah bantal berbentuk hati. Kedua kakinya juga terangkat ke udara dan berayun pelan.
Ditengah keasyikan itu, Arini tidak sengaja melirik jam dinding dan langsung terkejut. “J-jam dua belas malam,” ucapnya lirih.
“Astaga ternyata sudah tengah malam.” Novan tampaknya juga baru menyadari hal itu.
“Ya ampun... kita udah telponan selama tiga jam, Van,” ucap Arini.
“Bener Rin... tapi sesekali nggak apa-apalah. Aku seneng bisa telponan sama kamu.”
Arini terdiam. Sekelebat perasaan ganjil langsung menyergapnya saat mendengar ucapan Novan itu.
“Halo... Rin.” Novan kembali memanggilnya,
“I-iya.”
“Kalau gitu aku matiin dulu, ya... selamat malam.”
“Iya selamat malam.”
Arini langsung berbaring sambil menatap langit-langit kamarnya. Sebenarnya apa yang sedang dia rasakan saat ini? kenapa dia merasakan ada aliran hangat yang mengaliri rongga dadanya?
Drrt... drrttt...
Handphone Arini kembali bergetar. Itu adalah notifikasi sebuah pesan. “Dia mau apa lagi, sih?” tanya Arini sambil tersenyum.
Arini pun membuka pesan itu.
Deg.
Senyum di wajahnya seketika berubah rusuh. Bibirnya pun langsung berubah pasi. Ternyata itu bukanlah pesan dari Novan. Melainkan dari Ikhsan.
Isi pesan itu adalah:
Kamu tadi naik mobil sama siapa? Dan kamu lagi telponan dengan siapa?
****
Sudah genap 24 jam lamanya Arini mematikan ponselnya. Sejak mendapatkan pesan dari Ikhsan kemarin malam, Arini yang ketakutan langsung mematikan ponselnya dan tidak menyalakannya hingga detik ini. Dia tidak menyangka kalau Ikhsan melihatnya saat pergi bersama novan.
“Tapi... apa yang harus aku takutkan? Toh, aku sudah bilang pada dia perihal perjodohan itu. Tapi tanggapannya apa? dia malah mengantarkan aku pulang begitu saja. Justru ini situasi yang bagus. Siapa tahu Ikhsan akan cemburu dan akhirnya memilih untuk menikahi aku.” Arini berujar panjang lebar pada dirinya sendiri.
Setelah merasa siap, dia pun kembali menyalakan handphone-nya. Arini pun menunggu notifikasi yang masuk sambil memicingkan matanya. Tapi setelah beberapa saat berlalu, tidak ada notifikasi apapun yang muncul.
Ting.
Arini terkejut begitu mendengar notifikasi pesan w******p-nya. Dia menjangkau ponselnya dengan tangan bergetar, kemudian membuka pesan itu sambil menjauhkan layar itu dari pandangan matanya.
“Yuli...?”
Arini tersenyum lega. Ternyata itu bukan dari Ikhsan. Pengirim pesan itu adalah yuli, teman Arini sewaktu masih SMA dulu. Arini pun langsung menghubungi Yuli. Mereka sudah lama tidak berkomunikasi sejak Yuli menikah dan pindah ke kota Palembang mengikuti suaminya.
“Halo... Rin!”
Arini tersenyum mendengar suara itu. “Yuli? Ini beneran kamu, kan?”
“Iya, Rin... ini aku Yuli.”
“Ada apa kamu tiba-tiba ngirim pesan ke aku? udah gitu pesannya Cuma huruf ‘P’ doang lagi?” tanya Arini.
“Aku sekarang lagi ada di Jakarta, Rin” jawab Yuli.
“Kamu ada di Jakarta sekarang?” Arini langsung berdiri tegak.
“Iya... sampai lusa aku bakalan ada di sini.”
Arini tersenyum senang. “Pokoknya kita harus ketemu!”
“Nah, aku juga ingin mengatakan hal yang sama,” ucap Yuli.
****
Sepulang dari stasiun Radio, Arini pun segera bergegas pergi ke sebuah kafe yang sudah disebutkan Yuli sebelumnya. Suasana kafe itu terlihat ramai dipadati pengunjung. Arini pun cukup kesulitan mencari keberadaan sahabatnya itu.
“Arini...!”
Panggilan itu membuat Arini berbalik. Di ujung sana sosok Yuli bangun dari duduknya dan melambaikan tangan pada Arini.
“Ya ampun Yuli... udah lama banget, ya.” seru Arini.
Arini langsung memeluk Yuli dengan antusias. Mereka berdua pun saling melepas rindu dan terlihat enggan melepas pelukan itu.
“Yuli...!!!” Arini kembali berteriak histeris ketika menyadari ada sebuah kereta bayi di dekat mereka.
Yuli tersenyum. “Namanya Nadia, umurnya baru 6 bulan.”
“Kok kamu nggak bilang-bilang, sih?” Arini merasa sedikit kecewa. “Bayinya cantik sekali,” pujinya kemudian.
Prosesi lepas rindu itu pun berlangsung seru. Yuli pun mulai menceritakan tentang perjalanan hidupnya setelah menikah. Rupanya Yuli juga sudah berhenti dari pekerjaannya sejak dia mengandung anak pertamanya itu.
“Jadi sekarang kamu hanya jadi ibu rumah tangga saja?” tanya Arini.
Yuli mengangguk pelan. “Ya... dan itu bikin hidup aku bener-bener terasa istimewa. Meskipun menjadi ibu rumah tangga tidak mudah, tapi aku sangat menikmati semua prosesnya dan pada akhirnya semua itu terasa menyenangkan.”
“Kamu nggak ingin bekerja lagi?” Arini menatap bingung karena sepengetahuannya Yuli adalah tipikal orang yang ambisius dan tidak bisa diam.
“Nggak lah... aku udah capek berkutat sama tuntutan pekerjaan yang tiada berujung dan sekarang aku sudah menghirup udara bebas,” jawab Yuli.
Arini tersenyum pelan. Saat ini Yuli memang terlihat lebih bahagia daripada sebelumnya. Rona wajahnya bahkan berseri-seri. Terlihat sekali bahwa dia sedang menikmati hidupnya. Arini tersenyum lesu, tatapannya pun beralih pada kereta bayi di samping Yuli.
“Kok kamu malah jadi murung gitu, Rin?” tanya Yuli.
Arini menelan ludah. Dia meneguk cangkir tehnya, lalu menghela napas panjang. “Aku iri sama kamu....”
Yuli mengernyitkan keningnya. “Iri sama aku?”
“Iya... aku juga ingin merasakan hal seperti itu,” jawab Arini.
“Kalau begitu kenapa tidak disegerakan saja? kamu masih jalan sama Ikhsan, kan?” tanya Yuli.
Arini mengangguk lemah. Hal itu pun membuat Yuli menatap heran.
“Kapan rencananya Ikhsan akan menikahi kamu? Kalian pacaran sudah sejak SMA lho... walaupun putus nyambung.”
“Entahlah... aku sendiri juga nggak tahu. Bahkan akhir-akhir ini aku mulai berpikir... mungkin dia memang tidak pernah berniat melanjutkan hubungan ini ke jenjang yang lebih serius,” jawab Arini dengan suara lirih.
****