Ikhsan menatap rumah Arini dari seberang jalan. Dia mencoba terus menghubungi gadis itu, tapi Arini tidak menjawab panggilannya. Ikhsan menelan ludah, dia juga takut untuk mampir ke sana. Sudah dua hari terakhir ini dia kesulitan menghubungi Arini. Anehnya, Arini juga tidak pernah menghubunginya lagi.
Aneh.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Berbagai pertanyaan ganjil kini bergelayut di benak Ikhsan. Dia benar-benar diliputi perasaan bingung dan penasaran. Arini tidak pernah seperti ini sebelumnya. Seberapa sering pun mereka bertengkar, semarah apapun Arini padanya, dia tidak pernah menghindarinya seperti ini.
Setelah cukup lama menunggu, Akhirnya Ikhsan melihat Arini keluar dari rumahnya. Arini sendiri pun tampak terkejut. Dia mematung untuk sekian detik sebelum menghela napasnya kembali. Arini pun melangkah pelan ke persimpangan jalan dan Ikhsan pun langsung mengikutinya.
“Hei...” Ikhsan melajukan motornya pelan di samping Arini.
“A-ada apa? kenapa pagi-pagi kamu ke sini? Apa kamu nggak masuk kerja?” Arini bertanya tanpa menatap Ikhsan.
“Ayo naik... aku anterin kamu ke radio.” Ikhsan tidak menjawab pertanyaan Arini dan malah menyuruh Arini ikut dengannya.
“Nggak usah,” jawab Arini.
Ikhsan menatap bingung. Dia menghentikan laju sepeda motornya dan dan segera turun. Sementara, Arini terus saja melanjutkan langkahnya tanpa menghiraukan Ikhsan.
“Kamu kenapa, Rin?” Ikhsan langsung mencegat langkah Arini.
“A-aku nggak kenapa-napa,” jawab Arini datar.
“Hari itu kamu pergi sama siapa, ha? malam harinya nomor telepon kamu juga sedang berada dalam panggilan lain?”
Deg.
Langkah Arini terhenti mendengar pertanyaan itu.
“Bukannya malam itu aku sudah bilang sama kamu... aku itu dijodohin sama Bapak aku,” jawab Arini.
Dada Ikhsan terdengar sesak mendengar jawaban itu. “J-jadi....”
“Iya... aku pergi dengan dia dan malamnya aku juga telponan sama dia.” Arini langsung memotong pembicaraan.
Ikhsan tercengang. Lama dia menatap Arini dengan pupil mata yang bergerak-gerak pelan. setelah itu barulah dia menggenggam tangan Arini dan berniat membawanya pergi dari sana.
“Kita perlu bicara!” Ikhsan menyeret Arini pergi dari sana.
Arini menarik tangannya dari genggaman Ikhsan. “Bicara di dini aja!”
Ikhsan terkejut. “K-kamu....”
“Apa...? aku nggak ngerasa ngelakuin kesalahan apapun... Karena apa? karena semua ini gara-gara kamu yang nggak pernah memberikan kejelasan untuk hubungan kita.” Arini menatap tajam.
“Oke ... fine. Aku nggak bakalan nyalahin kamu dalam situasi ini. Tapi... kenapa kamu bepergian sama dia dan kenapa kamu telponan sama dia?” tanya Ikhsan.
Arini terdiam.
“Bukankah itu artinya kamu juga menginginkan itu?” Ikhsan menatap nanar. “Apa semudah itu bagi kamu untuk berpaling dari aku?”
“Ini masih pagi... aku nggak mau merusak mood aku sebelum bekerja. Jadi kita bicaranya nanti saja.” Arini terkesan menghindari pembicaraan dan melanjutkan langkahnya kembali.
Arini melangkah dengan hati dan perasaan kalut. Pertanyaan Ikhsan itu masih terngiang-ngiang di telinganya. Dia sendiri juga mempertanyakan hal itu pada dirinya sendiri. Sebenarnya apa yang sudah terjadi antara dia dan Novan? Ikhsan benar, kenapa dia mau saja pergi dengannya? Kenapa dia mau saja menghabiskan waktu untuk sosok itu?
“Naiklah... aku bakalan nganterin kamu.” Ikhsan yang sudah mengendarai motornya kembali menepikan motornya mengikuti langkah kaki Arini.
“Nggak usah... aku naik busway aja.” tolak Arini.
Ikhsan menghela napas pendek. “Naik aja! aku nggak bakalan ngebahas itu lagi, kok.”
Arini menatap Ikhsan sekilas, kemudian barulah dia naik ke boncengan Ikhsan.
Ikhsan memacu sepeda motornya dengan perasaan aneh. Dia berusaha menahan diri untuk tidak bertanya pada Arini. Ikhsan takut kalau dia masih bertanya, bisa-bisa Arini meminta dia untuk menurunkannya. Jelas saja, pasti akan seperti itu akhirnya.
Sunyi.
Sepanjang perjalanan menuju radio Arini tidak berkata apa-apa. Dia bahkan tidak lagi berpegangan pada pinggang ataupun bahu Ikhsan seperti biasanya. Arini menatap punggung Ikhsan perlahan. Apa ini? kenapa dia merasa hambar? Kenapa dia malah merasa risih? Kenapa ada perasaan ganjil yang menyelimuti hati dan pikirannya saat ini.
Ikhsan yang semula berusaha menahan diri rupanya tidak bisa mengendalikan perasaannya lagi. Seharusnya dia berbelok kanan, tapi kini dia membelokkan motornya ke kiri. Arini pun sontak terkejut dan langsung bereaksi.
“K-kamu kenapa belok ke sini?”
Ikhsan tidak menjawab.
“Kamu mau ke mana sih, San?” kali ini Arini menarik kemeja Ikhsan dan memukul pundaknya.
Ikhsan menarik pedal gas ditangannya lebih kuat lagi. Arini pun terkejut dan langsung berpegangan erat. Dia bahkan tidak lagi bersuara karena mulai merasa takut. Setelah menulusuri jalanan utama, Ikhsan pun membelokkan motornya ke sebuah jalanan kecil yang lengang dan berhenti di sana.
“Kamu apa-apan sih? aku itu mau pergi bekerja!” bentak Arini dengan nada emosi.
“Aku mau kamu jawab pertanyaan aku yang tadi,” ucap Ikhsan dengan tatapan serius.
“Pertanyaan apa?”
Ikhsan mendesah pelan. “Apa kamu juga menginginkan perjodohan itu?”
Deg.
Arini terdiam.
“Jawab aku Rin!” bentak Ikhsan.
Arini menelan ludah, lalu mengepalkan tangannya kuat-kuat. “A-aku mulai mempertimbangkannya....”
Jawaban Arini terasa bagai sembilu yang menghunus jantung. Ikhsan terdiam dengan sudut bibir bergetar. Dia menatap mata Arini perlahan dan menyadari bahwa tatapan itu sudah terlihat berbeda. Dia juga melihat tidak ada keraguan yang tergurat dari ekspresi Arini ketika mengatakan hal itu.
“Kamu udah nggak sayang lagi sama aku?” tanya Ikhsan.
Arini mengembuskan napas kasar. “Aku butuh kepastian, San... aku capek ngejalanin hubungan yang nggak jelas seperti ini.”
“Nggak jelas bagaimana?”
“Ya nggak jelas! Setiap aku pengen bicara serius, kamu selalu menghindar. Setiap aku berbicara tentang pernikahan, kamu pasti jadi sensitif,” jawab Arini.
Ikhsan menatap lesu. “Rin... aku kan, sudah bilang sama kamu... aku belum siap. Aku belum mampu!”
“Jadi apa aku harus menunggu sampai kamu mampu dulu? Sampai kapan, San? Lagipula aku nggak menuntut banyak dari kamu....”
Ikhsan terpekur. Helaan napasnya begitu memburu. “Jadinya intinya kamu nggak bisa menunggu lagi?”
Arini terdiam.
“Apa tidak ada solusi lain untuk permasalahan kita kali ini?” tanya Ikhsan lagi.
“Ya nggak ada lagi. Bukannya sudah jelas? Kalau kamu tidak siap untuk menikah, maka sudah dipastikan orang tua aku melanjutkan perjodo—”
“Dan kamu mau?” Ikhsan langsung memotong ucapan Arini.
Arini menatap Ikhsan lekat-lekat, lalu tersenyum tipis. “Jujur aku memang ingin menikah. Aku sudah capek dengan kehidupan aku saat ini. Aku ingin membuka sebuah lembaran baru. Aku tidak bisa menampik bahwa... aku juga menginginkannya. Tapi... aku masih berharap orang itu adalah kamu!”
Ikhsan terpekur. Dia menjambak rambutnya sendiri dan berbalik membelakangi Arini. Bagaimana bisa dia menikahi Arini saat ini? dia bahkan baru dipecat. Dia bahkan tidak memiliki pekerjaan saat ini. Apa yang harus diperbuatnya sekarang? apa yang harus dilakukannya saat ini?”
****