Serabut Asa

1160 Kata
Kepulan asap rokok memenuhi kamar Ikhsan. Saat ini dia sedang duduk sambil memeluk lututnya. Sesekali tangannya terangkat untuk menghisap rokok dengan hisapan yang dalam. Ruangan itu terlihat remang karena Ikhsan tidak menyalakan lampu kamarnya. Hanya ada secercah cahaya dari luar yang menerobos masuk dari celah tirai kaca jendela. Keadaan kamarnya begitu berantakan dan kacau, sama seperti pikirannya. Dia tidak menemukan solusi untuk permasalahanya bersama Arini. Ikhsan tidak bisa berpikir jernih. Dia tidak bisa memikirkan apa-apa untuk saat ini. Drrrt... drttt.... Ikhsan beralih menatap handphone-nya yang bergetar pelan. Panggilan itu ternyata dari Arini. “Halo....” suara Arini terdengar pelan. “Iya, ada apa?” “Kamu harus dateng malam ini ke rumah aku,” ucap Arini. Ikhsan meneguk ludah. Seketika seluruh persendiannya terasa melemah. Dia tidak menolak dan juga tidak mengiyakan karena Arini langsung memutus panggilan itu begitu dia selesai berbicara. Ikhsan melempar puntung rokoknya, lalu membenamkan wajahnya di antara kedua lutut. Dia benar-benar tidak mempunyai sedikitpun kepercayaan diri untuk bertemu dengan orang tua Arini. Ke mana dia harus mengadu? Pada siapa dia bisa meminta solusi? Handphone-nya kembali bergetar. Ikhsan menyipitkan matanya, itu bukan Arini. Melainkan sebuah nomor baru. “H-halo....” terdengar suara seorang wanita di seberang sana. “Iya, halo,” balas Ikhsan.  “Aku Jenny!” Ikhsan terkejut dan kembali menatap layar handphone-nya. Setelah itu barulah dia menempelkan handphone itu kembali ke telinganya. “A-ada apa?” tanya Ikhsan. “Kamu punya waktu nggak? aku pengen ngajak ketemu,” jawab Jenny. Ikhsan menghela napas gusar. “Maaf... tapi sekarang aku nggak bisa.” “Lho... kenapa nggak bisa?” Jenny merengut. Ikhsan yang sudah merasa jengah pun langsung mematikan panggilan itu dan melempar handphone-nya ke atas kasur. Di sisi lain Jenny terkejut karena Ikhsan tiba-tiba saja memutus panggilannya. Dia mencoba menghubungi nomor Ikhsan kembali, tapi nomor itu sudah tidak aktif. “Sial... sok jual mahal banget sih, ini dukun.” Jenny beralih menatap hujan yang turun di luar kaca jendela butiknya. Sejak memulai bisnis itu, dia merasa terisolasi dari dunia luar. Dia memang menikmatinya, tapi terkadang jiwanya pun mulai sedikit meronta. Dia ingin menikmati sedikit kebebasan, tapi Jenny sadar sekarang bukanlah waktu yang tepat. Apalagi sejak dia mendengar omongan tantenya tempo hari. Sejak itu Jenny menambah jam operasional butiknya. Dia membuka butiknya lebih awal dan menutupnya lebih larut dari biasanya. Hal itu dilakukan Jenny agar dia bisa lebih cepat mengembalikan modal yang sudah dipakainya untuk membuka butik itu. Perkataan tantenya itu benar. Sebentar lagi adiknya Jeyhan juga akan tamat dari bangku SMA. Jenny bertekad untuk mempercepat laju bisnisnya. Dia bahkan melakukan promosi yang lebih gencar dari pada biasanya. “Kak... udah jam enam sore, aku pulang duluan, ya.” Ayu membuyarkan lamunan Jenny. “Oh oke... hati-hati pulangnya. Kamu bawa payung, kan?” Ayu mengangguk pelan. Jenny pun menarik napas panjang setelah Ayu pergi. Sekarang dia hanya sendiri, ditemani hujan dan rumitnya jalan pikiran saat ini. Ketika larut dalam lamunan, Jenny dikejutkan oleh suara dering handphone-nya. Dia bergegas mengambil ponselnya itu kemudian menatap heran. “H-halo.” sapa Jenny. “Jadi ketemunya?” Jenny berdecak pelan. “Tadi diajakin malah nggak mau. Sekarang aku di butik dan nggak bisa ditinggal lagi karena karyawan aku sudah pulang,” jawab Jenny. “Memangnya alamat butik kamu di mana?” tanya Ikhsan. “K-kamu mau ke sini?” “Iya. Kirimkan  saja alamatnya di mana.” **** Jenny menyuguhkan segelas teh hangat untuk Ikhsan yang baru datang. Sekujur tubuh pria masih basah karena tetesan gerimis. Jenny menatap sosok itu lekat-lekat. Hari ini wajah pria itu terlihat kusut sekali. “Kamu kenapa ngajak aku ketemu?” Ikhsan akhirnya memulai pembicaraan. “Ya... aku pengen tanya-tanya,” jawab Jenny. Ikhsan menyeruput gelas tehnya, lalu tersenyum. “Aku bukan peramal.” Jenny tersentak kaget. “T-terus?” “Waktu itu teman aku bohongin kamu,” ujar Ikhsan. “Heh....” Jenny semakin terkejut lagi. “Terus ngapain kamu ke sini coba?” Ikhsan tersenyum. “Karena aku nggak tahu harus ke mana lagi.” Kalimat itu terdengar sedikit ganjil bagi Jenny. “A-apa mungkin kamu seorang tunawisma yang nggak punya tempat tinggal?” Ikhsan menyemburkan air teh di mulutnya. “Kamu pikir aku itu gembel apa?” Jenny terkikik. “Ya... bisa aja, kan.” Ikhsan tersenyum. Tatapannya beralih pada suasana butik milik Jenny. “Ini punya kamu sendiri?” “Iya,” jawab Jenny. “Wah... kamu tajir, ya,” puji Ikhsan. Jenny lekas menggeleng. “Nggak kok. Bisa dibilang aku lagi minjem modal gitu dan aku pengen bisa secepatnya untuk mengembalikannya.” Ikhsan mengangguk pelan. “Jadi apa tujuan kamu datang ke sini?” tanya Jenny lagi. “Bukannya tadi udah nanya?” “Ya iya... aneh aja, sih.” Jenny menatap curiga. “Oh iya... kamu belum tahu nama aku, kan?” tanya Ikhsan. Jenny menggeleng. “Belum.” “Aku Ikhsan.” “Aku Jenny.” “Aku kan, sudah tahu,” sela Ikhsan. Jenny tertawa pelan. Keduanya pun berjabat tangan seraya tersenyum. Hujan di luar sana masih menitik pelan. Jenny dan Ikhsan pun asyik berbincang mengenai banyak hal. Keduanya mulai menelisik helai-demi helai kehidupan masing-masing. Sampai kemudian keduanya mulai terlibat dalam topik pembicaraan yang sedikit sensitif. Ikhsan pun mulai mencurahkan kegalauannya. “Kenapa? kenapa kamu nggak siap untuk menikah?” tanya Jenny. Ikhsan mengangkat bahu. “Ada banyak sekali alasannya, tapi yang jelas aku memang belum sanggup.” “Terus sekarang bagaimana. Apa keputusan kamu?” tanya Jenny. Ikhsan mendesah pelan. “Aku benar-benar bingung.” “Cerita aja!” ucap Jenny. Ikhsan tersenyum malu. “Aku belum begitu mengenal kamu.” “Lho... bukannya itu bagus. Jaman sekarang... sebaiknya kalau mau bercerita memang harus sama orang yang nggak kita kenal. Karena mereka nggak tahu kita dan juga nggak tertarik dengan kehidupan kita. Tapi kalau cerita sama orang yang dekat... yang ada nanti malah disebarin ke mana-mana.” Jenny menjelaskan panjang lebar. Ikhsan pun tertawa. Dia mengangguk dan setuju dengan ucapan Jenny. Obrolan itu pun terus berlanjut. Seperti air mengalir, Ikhsan menumpahkan semua kegundahan hatinya. Jenny pun mendengarkan curhatannya itu dengan seksama. Mereka berdua begitu larut bercerita dan tidak menyadari bahwa ada sepasang mata yang kini memerhatikan mereka berdua. “Jadi katanya dia mau dijodo—” kalimat Jenny terhenti saat pandangannya mengarah ke pintu. Jenny sangat terkejut dan bangkit dari duduknya. “N-Novan?” Ikhsan menatap ke arah pintu. Seiring dengan itu Novan pun langsung berbalik pergi. Jenny pun segera mengejar ke luar. Dari tatapan mata Novan tadi, terlihat jelas bahwa dia sedang salah paham dengan situasi ini. “Novan....!” Jenny berteriak memanggil Novan yang sudah masuk ke dalam mobil. “Van...! Novaaaaaaan...!!!” Jenny terus berteriak. Novan sebenarnya mendengar suara panggilan itu. Tapi dia tidak memedulikannya. Pemandangan itu cukup mengejutkan untuknya. Untuk apa Jenny berduaan dengan seorang pria di larut malam seperti ini? Novan mendesah pelan. Dia masih terbayang bagaimana Jenny tersenyum saat berbicara dengan pria itu. “Novaaaaan....!” Jenny kembali berteriak keras, tetapi Novan sudah menyalakan mobilnya dan langsung melesat pergi dari sana. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN