Sebuah Alasan

1236 Kata
“Kali ini dia pasti akan datang!” suara Arini sedikit meninggi. “Tapi kenapa dia belum muncul juga?” tanya sang ayah. Arini menelan ludah. Saat ini dia benar-benar merasa tertekan. Air matanya bahkan sesekali menitik pelan. Dia kembali meyakinkan dirinya sendiri bahwa Ikhsan pasti akan datang. Ikhsan pasti akan memperjuangkannya. Ikhsan tidak mungkin melepaskannya begitu saja. Sang ibu juga kebingungan dan tidak bisa berbuat banyak. Dia beranjak ke dapur dan lagi-lagi membereskan hidangan yang sudah dingin. Sang ayah menatap Arini perlahan, Arini pun langsung memalingkan wajahnya dengan pipi yang sudah bersimbah air mata. “Rin... Bapak seperti ini karena Bapak sayang sama kamu.” suara sang ayah terdengar melunak. “Setidaknya kalau dia memang belum siap seperti yang kamu bilang... dia harus menjelaskan alasannya sama Bapak dan Ibuk.” Sang ibu yang sudah selesai berkemas ikut sumbang suara. Arini menatap nanar. Pemandangan di depannya kini mulai terlihat buram karena genangan air mata. Dia tidak bisa berkata-kata lagi. Pupus sudah segala harap. Hancur sudah segala usaha yang telah dilakukannya. Padahal sebelumnya Arini sudah memohon kepada kedua orang tuanya untuk memberi Ikhsan kesempatan kedua. Tapi... Ikhsan masih saja tidak datang. Sang ibu menatap lembut. “Kamu harus mengerti Rin... bahwa di dalam kehidupan ini, memang ada sejenis cinta yang tidak bisa kita miliki.” Arini mendongakkan wajahnya mendengar kalimat itu. “Mungkin melepaskan seseorang awalnya memang terasa berat dan sulit... tapi itu lebih baik daripada terus bergantung pada ketidakpastian,” lanjut sang ibu. Arini menyeka air matanya yang kembali menetes. Sang ayah menghela napas berat. “Kamu harus paham... bahwa untuk menggenggam sesuatu yang baru... kamu harus melepaskan yang lama terlebih dahulu.” “A-aku bener-bener bingung sekarang ini....” Arini akhirnya berkata lirih. “Cobalah untuk mengenal Novan lebih jauh dan temukan alasan kenapa dia pantas untuk menjadi suami kamu,” ucap sang ibu. “T-tapi Buk.—” “Disamping itu kamu juga harus mencari sebuah alasan kenapa kamu harus melepaskan Ikhsan... dengan begitu kamu tidak akan merasa begitu bersalah,” tambah sang ayah. Arini menelan ludah. Semua ini terasa sangat sulit baginya. Kedua orang tuanya pun beranjak masuk ke dalam kamar. Sedangkan Arini masih duduk di tempatnya dan mulai berperang melawan perasaannya sendiri. Sekelebat semua kenangan yang telah dilaluinya bersama Ikhsan kini menyeruak. “Tidak... aku nggak bisa melakukannya,” rintih Arini pelan. Tentu saja. Bagaimana bisa dia menghapus sosok Ikhsan yang sudah dikenalnya bertahun-tahun dan menggantinya dengan Novan yang baru beberapa kali saja dijumpainya. Buntu. Arini merasa buntu sekali saat ini. Satu hal yang pasti adalah... kedua orang tuanya tidak akan memberikan kesempatan lagi kepada Ikhsan. Mereka sudah teramat kecewa padanya. Wajar saja. Ikhsan terkesan tidak menghargai orang tua Arini. Lantas bagaimana bisa orang tua Arini kembali percaya padanya? Ditengah kegalauan itu, tiba-tiba terbersit sebuah pemikiran gila di benak Arini. Dia segera mengambil jaketnya dan segera pergi sambil menyeka sisa-sisa air matanya. **** Arini menatap gedung di depannya sambil menelan ludah. Beberapa orang berpakaian olahraga terlihat berlalu lalang di sana. “J-jadi dia ada di sini?” tanya Arini. Ega menelan ludah. “I-iya... tapi jangan bilang ya... kalau aku yang ngasih tahu dan nganter kamu ke sini.” Ega tadi benar-benar terkejut karena tadi Arini tiba-tiba datang mencari Ikhsan dengan mata yang sembab. Awalnya dia berpura-pura tidak mengetahui keberadaan Ikhsan. Tetapi insting Arini begitu kuat. Gadis itu terus saja memaksa Ega untuk buka suara dan bahkan juga memaksanya untuk mengantarkannya ke sini. “Makasih, Ga,” ucap Arini. Ega tersenyum canggung. “Selesaikan saja baik-baik... jangan berdebat kalo hati lagi panas.” Ega sedikit berpesan kemudian melajukan motornya pergi dari sana. Arini pun menghela napas sebelum memasuki gedung olahraga itu. Kedatangannya pun langsung menarik perhatian orang-orang yang ada di sana. Bagaimana tidak, saat ini Arini terlihat begitu kacau. Rambutnya acak-acakan, Hidung dan matanya masih memerah. Arini pun terus berjalan tanpa menghiraukan orang-orang yang menatap padanya. “Eh, lihat deh... siapa tuh?” ucap seorang pemuda yang sedang memasang tali sepatunya. Ikhsan yang duduk di sebelahnya langsung menoleh. “A-Arini...?” Untuk sesaat Ikhsan merasa kesulitan bernapas. Dia begitu terkejut melihat kehadiran Arini di sana. Sedetik kemudian dia tersadar dan langsung berlari menghampiri Arini. Teman-temannya yang sedang bertanding pun juga berhenti bermain dan melihat pemandangan itu dengan wajah heran. Mereka mulai menepi dan saling berbisik untuk mengulik informasi. “K-kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Ikhsan. Arini tidak menjawab. Dia menatap sayu tanpa berkedip. Bersamaan dengan itu sebulir bening pun kembali menetes di pipinya. “Kita bicara di luar, yuk!” Ikhsan menarik lengan Arini, tapi gadis itu langsung menepisnya. “Rin... aku mohon... aku nggak enak sama temen-temen aku,” bisik Ikhsan. Pandangan Arini beralih pada teman-teman Ikhsan di ujung sana. Setelah itu dia kembali menatap Ikhsan, lalu tersenyum tipis. “Jadi karena ini kamu nggak bisa datang?” Lirih. Suara Arini bahkan nyaris tidak terdengar. Sesaat Ikhsan terdiam. Setelah itu dia kembali meraih tangan Arini. “Kita bicara di luar, Oke!” “Kenapa?” tanya Arini. Ikhsan menelan ludah, dia melirik ke arah teman-temannya, lalu memejamkan matanya sejenak. “Aku mau sekarang juga kamu datang ke rumah dan minta maaf sama Bapak dan Ibuk aku,” ucap Arini. Ikhsan terdiam. Butiran peluh kini menetes di tengkuknya. “Ini adalah kesempatan terakhir kamu, San.” Arini kembali meneteskan air matanya. “Ayo kita temui Bapak dan Ibuk... kita bisa membuat sebuah alasan kenapa kamu terlambat datang.” Ikhsan menyapu wajahnya dengan telapak tangan. “Aku masih punya pertandingan satu babak lagi, Rin... jadi aku nggak bisa pergi sekarang,” jawabnya. Arini terhenyak mendengar jawaban itu. Rongga dadanya terasa sesak bersamaan dengan bibirnya yang mulai berkedut menahan tangis. “A-apa kamu bilang?” Ikhsan menatap gusar. “Aku masih ada pertandingan, jadi aku nggak bisa!” “K-kamu yang udah ngelakuin kesalahan dan sekarang malah kamu yang ngebentak aku?” suara Arini terdengar serak. Ikhsan mengembuskan napasnya dengan kasar. Kedua gerahamnya mengatup kuat seiring dengan tatapannya yang berubah tajam. Deg. Arini terkesiap. Dia tidak pernah melihat raut wajah seperti itu sebelumnya. Siapa dia? siapa yang sedang menatapnya dengan sorot penuh kebencian itu? apa dia benar-benar Ikhsan? Sosok lelaki yang dulunya selalu tersenyum dalam amarahnya. “Gila! kamu itu bener-bener udah gila!” bentak Ikhsan. Air mata Arini tumpah ruah. Bibirnya kini bergerak-gerak, tapi tidak ada satupun kata yang terucap. “Segitu ngebetnya kamu pengen menikah, ha?” tanya Ikhsan. “Kenapa? apa alasannya? Apa aku udah berbuat kesalahan sama kamu? Apa aku udah ngerusak kamu? Cewek yang dihamilin pacarnya aja nggak gila seperti kamu ini Rin.” “Cukuuup...!!!” Arini memekik keras. Perkataan Ikhsan terasa begitu pedih baginya. Semua orang yang ada di sana pun kembali saling berbisik dan sedikit heboh. “Cukup....” Arini berucap lirih. Arini menatap sosok Ikhsan lekat-lekat. Air matanya mengucur deras tanpa henti. Tak lama kemudian sudut bibirnya pun terangkat seiring bibirnya yang bergerak pelan. “Sepertinya aku sudah menemukan alasannya sekarang?” ucap Arini. Ikhsan menatap bingung. “Alasan apa?” Arini menyeka air matanya, lalu tersenyum. “Alasan untuk melepaskan kamu....” PLAK Sebuah tamparan keras pun mendarat di pipi Ikhsan. Pemandangan itu sontak membuat semua orang terkejut. Setelah menampar Ikhsan, Arini pun melangkah pergi. Ikhsan menyentuh pipinya perlahan dengan perasaan getir. Raut wajahnya kini berubah sedih. Dia menatap sayu pada Arini yang sudah jauh di depan sana. Sedetik kemudian setetes bening pun menitik dari kelopak mata Ikhsan. “Maafkan aku, Rin. Tapi sepertinya... ini memang yang terbaik buat kamu.” ****          
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN