Aku Tidak Menuntut Banyak

1164 Kata
Semakin dewasa seseorang, maka semakin realistis pula pandangannya dalam menyikapi suatu hubungan. Seperti halnya Arini. Dahulu dia merasa nyaman-nyaman saja dengan segala keonaran yang diperbuat Ikhsan. Sebelumnya dia tidak pernah mempermasalahkan sifat Ikhsan yang kekanak-kanakan. Tapi sekarang Arini menuntut agar Ikhsan menghilangkan sifatnya itu. Arini ingin Ikhsan menjadi dewasa. Dia ingin Ikhsan berubah menjadi sosok pria yang bertanggung jawab. “Jadi kamu nggak berinisiatif untuk menghubungi aku duluan?” tanya Arini. Suara Ikhsan dibalik telepon terdengar menghilang. “Halo... kamu denger aku kan, San?” “I-iya aku denger,” jawab Ikhsan terbata. Arini mendesah pendek. “Kenapa kamu nggak jawab pertanyaan aku tadi?” “Ya ... habisnya kamu sendiri kan, yang bilang kalau aku nggak boleh ganggu kamu.” Suara Ikhsan terdengar melunak. “Jadi kalau seandainya malam ini aku nggak menghubungi kamu ... kamu nggak akan menghubungi aku?” “I-iya.” Arini menepuk jidatnya sendiri mendengarkan jawaban Ikhsan. Tatapannya beralih pada jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 20.00 malam. Arini berpikir sebentar, kemudian langsung menyampaikan idenya. “Aku mau ketemu kamu sekarang,” ucap Arini. “Apa...!?” Ikhsan terdengar terkejut. “Iya. Jemput aku sekarang... ada banyak hal yang ingin aku ceritain sama kamu,” ujar Arini. “T-tapi....” “Tapi apalagi?” tanya Arini. “Aku belum gajian, jadi aku nggak punya uang untuk traktir kamu makan,” jawab Ikhsan. Arini berusaha menyembunyikan tawanya mendengar jawaban itu. Satu hal yang dia suka dari Ikhsan memang adalah perihal keterus terangannya itu. Ikhsan tidak pernah menjadi orang lain, dia tidak pernah berpura-pura. Itu adalah nilai positif Ikhsan, namun nilai negatifnya juga tidak kalah banyak. “Aku juga nggak mau makan, kok,” ucap Arini kemudian. “Terus kita ngapain?” tanya Ikhsan. “Muter-muter aja udah.” Arini menyampaikan idenya. “Bensin motorku juga dikit lho.” Plak. Arini menggigit bantal guling yang sedari tadi dipeluknya. “Pokoknya kita nyari tempat buat mojok aja. Di mana kek....” Arini mulai kewalahan menghadapi Ikhsan. “Oke deh. Aku bakalan jemput kamu. Tapi....” “Tapi apalagi?” Arini meringis. “A-aku takut jemput kamu di depan rumah. Ya, karena kejadian waktu itu,” jawab Ikhsan. “Makanya... kamu sih, cari-cari masalah. Kamu tunggu di persimpangan jalan aja. kalo udah nyampe di sana hubungi aku.” “Oke deh.” Tut... tut... Panggilan telepon itu pun terputus. Arini tersenyum pelan. Perasaannya terasa sedikit lebih baik setelah mendengarkan suara Ikhsan. Sedetik kemudian dia buru-buru berdandan seadanya. Arini mengenakan jaket denimnya, lalu mengikat rambutnya asal-asalan. Sebelum keluar kamar, dia pun menyempatkan untuk menyemprotkan sedikit parfum ke sekujur badannya. “Mau ke mana kamu?” Arini terkejut mendengar suara sang ayah yang menggema keras. “A-aku mau keluar sebentar, Pak.” “Ke mana?” “A-anu... oh iya, Vita... temen siaran aku ngajak ketemu sebentar di warung nasi gorengnya Bang Maman. Sebentar aja, kok.” Arini sengaja berbohong agar tidak dimarahi oleh ayahnya. “Ya sudah... pergi sana,” ucap sang ayah. Arini pun berteriak girang dalam hatinya, tapi begitu sampai di ambang pintu, sang ibu tiba-tiba keluar dari dalam kamar dan memanggilnya. “Kamu ke mana, Rin?” Arini meringis sebelum berbalik kembali. “Aku ketemu Vita bentar di depan, Buk.” “Beneran? kamu nggak ketemuan sama Ikhsan, kan?” Deg. Untuk sesaat Arini merasa detak jantungnya berhenti. Dia bahkan merasa kesulitan untuk sekedar menghela napas. Setelah beberapa saat kemudian barulah dia menggeleng dengan cepat “Nggak lah, Buk...” “Ya sudah... hati-hati di jalan,” pesan sang ibu. Arini pun melangkah gamang keluar dari rumahnya. Ketika sudah berbelok menuju jalan raya. Langkahnya pun terhenti seiring helaan napasnya yang terdengar sesak. Bersamaan dengan itu sebuah pesan dari Ikhsan pun masuk. Arini segera bergegas ke persimpangan jalan. Setelah mengecek situasi di sekitarnya, dia segera berlari menghampiri Ikhsan dengan wajah rusuh. “Ayo buruan berangkat,” ucap Arini yang langsung naik ke boncengan Ikhsan. “Kamu kenapa kayak habis dikejar hantu gitu, sih?” Ikhsan menatap heran. Arini tidak menjawab dan memukul punggung Ikhsan agar dia segera memacu sepeda motornya. **** Arini dan Ikhsan akhirnya memilih duduk-duduk di tepi sebuah bendungan yang sepi. Cahaya bulan yang membias ke permukaan air terlihat bagaikan butiran mutiara yang berkilau. Sejuknya angin malam kini mengelus wajah mereka berdua. Ikhsan dan Arini duduk di sebuah kursi kayu dengan hamparan langit malam sebagai atap mereka. “Ini masih tanggal 25 lho... kenapa uang kamu udah habis?” tanya Arini. Ikhsan tersenyum malu. “Nggak tau juga sih... tau-tau dompetnya udah kosong aja.” Arini menatap Ikhsan lekat-lekat. “Kamu nggak capek ngejalanin hidup seperti itu?” Pertanyaan Arini membuat mimik wajah Ikhsan berubah. “Memangnya aku ngejalanin hidup seperti apa?” “Hidup tanpa tujuan yang terarah,” jawab Arini. Ikhsan terdiam. Dia menatap jauh pada langit malam yang bertaburan bintang-bintang. Dia sendiri juga tidak mengerti pada dirinya sendiri. Keinginan untuk berubah itu selalu ada, tapi dalam pelaksanaannya selalu saja ada kendala. “Padahal aku udah sering ingetin kamu untuk tidak boros, mulai menabung, menetapkan tujuan hidup, tapi nyatanya....” Arini tidak melanjutkan kalimatnya. “Sepertinya akhir-akhir ini kamu terkesan terlalu memaksa aku buat berubah,” ucap Ikhsan. Arini menelan ludah. Dia diam dan tidak menjawab pertanyaan itu. “Kenapa, Rin?” “Aku dijodohkan sama orangtua aku, San.” Hening. Hanya suara jangkrik dan desau angin yang terdengar. Ikhsan menatap Arini lekat-lekat. Gadis itu kini sudah menangis. Di bawah terpaan cahaya bulan Ikhsan bisa melihat dengan jelas bulir-bulir air mata yang mengalir di pipi Arini. “K-kamu nggak bercanda, kan?” tanya Ikhsan. Arini meremas tangannya sendiri. “Malam itu Bapak sama Ibuk undang kamu untuk mempertanyakan kesiapan kamu. Mereka ingin kita segera menikah, tapi karena kamu tidak datang... aku malah diajak ke sebuah pertemuan makan malam dan di sana aku....” Ikhsan menatap nanar. “A-aku belum siap, Rin... kamu tahu sendiri bagaimana keadaan aku. Dari segi finansial dan yang lainnya aku bener-bener belum siap. Aku bukan nggak mau menikahi kamu. Tapi, aku hanya nggak ingin kamu menderita setelah menjadi istri aku nantinya.”   “Makanya aku minta kamu berubah, San... aku nggak menuntut banyak sama kamu. Aku hanya ingin kamu berpikiran lebih dewasa, hanya itu....” Sunyi. Tidak ada kata lagi yang terlontar. Ikhsan termangu sambil bertopang dagu dengan kedua tangannya yang berpilin. Sedangkan Arini masih menyeka air matanya yang terus mengalir. “A-aku belum siap, Rin....” Deg. Arini terkesiap mendengar pengakuan itu. Getir di dadanya pun kian menjadi-jadi. Arini sungguh tidak mengharapkan jawaban yang seperti itu. Dia menatap Ikhsan lekat-lekat dengan rasa kecewa yang sudah memuncak. Kenapa? Kenapa? Kenapa? Ada banyak tanya yang kini bergelayut di benak Arini. “Apa jangan-jangan kamu memang tidak pernah berniat untuk serius sama aku?” Arini bertanya dengan suara serak. Ikhsan tidak menjawab dan bangun dari duduknya. Sikapnya itu pun membuat Arini semakin tersentak. Ada gejolak hebat yang kini terasa dibatinnya. Ikhsan meraih helm-nya, kemudian memasangnya. Setelah itu dia pun menatap pada Arini dengan tatapan hambar. “Kamu sepertinya lelah... jadi sebaiknya kita pulang saja.” **** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN