Novan memarkir mobilnya di pinggir jalan, lalu membuka kaca mobilnya. Di depan sana terlihat butik Jenny yang dipadati pengunjung. Meski malam sudah menjelang, butik itu masih saja ramai. Novan merasa senang dan kecewa secara bersamaan. Dia senang karena bisnis Jenny berjalan lancar dan dia kecewa karena kondisi itu tentu tidak memungkinkan baginya untuk menemui Jenny.
Deg.
Novan terkesiap saat tiba-tiba Jenny keluar dari butik dan menatap ke arahnya. Setelah menghirup napas dalam-dalam, Novan pun turun dari mobil dan menghampiri Jenny dengan langkah gamang. Sementara Jenny hanya menatap Novan dengan hambar seraya melipat tangannya di d**a.
“Hai ....” Novan menyapa canggung.
“Kenapa kamu ngintip-ngintip seperti itu?” tanya Jenny.
Novan menelan ludah dan beralih menatap lantai dibawah kakinya. Jenny pun menatap sosok kekasihnya itu lekat-lekat. Walaupun masih merasa kesal karena tingkah Novan waktu itu, tapi diam-diam dia juga mulai merindukannya. Yah, memang seperti itulah romansa sepasang kekasih. Masalah yang hadir layaknya pupuk yang menyuburkan rindu.
“Kenapa kamu datang ke sini?” Jenny kembali bersuara.
“A-aku kebetulan lewat dan ingin melihat situasi di butik kamu,” jawab Novan.
“Jadi cuma karena kebetulan lewat aja? kamu nggak pernah ada niatan untuk mengunjungi butik aku secara khusus?”
Pertanyaan Jenny membuat Novan kelabakan. “A-aku—”
“Dari awal kamu emang nggak pernah mendukung aku,” tukas Jenny.
Novan melepas kacamatanya, lalu menyeka wajahnya dengan telapak tangan. Saat ini dia benar-benar tidak mempunyai energi untuk bertengkar dengan Jenny.
“Maafin aku....”
Akhirnya Novan melontarkan jurus pamungkasnya. Meski semua bukan salahnya. Walau semua kadang terasa menyakitkan, tapi dia memilih untuk kembali mengalah.
“Maaf untuk apa?” tanya Jenny.
“Untuk semuanya.”
Jenny menelan ludah. Dia sendiri juga sudah disiksa rasa bersalah belakangan ini, namun meski begitu, Jenny berusaha keras untuk menjaga egonya. Dia tidak ingin terlihat lemah di mata Novan. Dia selalu saja menampilkan kesan bahwa dirinya akan baik-baik saja tanpa sosok Novan.
“Sudahlah ... lupain aja. Kamu sudah makan?” tanya Jenny.
Novan pun hanya tersenyum malu sambil mengelus perutnya yang keroncongan.
****
Novan dan Jenny pun beranjak ke sebuah ruangan kosong di dalam butik. Suasana dalam ruangan itu begitu temaram. Jenny sedang sibuk mengeluarkan bekal makanan yang tadi disiapkan oleh mamanya. Novan menatap sosok Jenny lekat-lekat. Tak lama kemudian dia mendekati Jenny dan memeluk gadis itu dari belakang.
“K-kamu kenapa?” tanya Jenny.
Novan tidak menjawab. Dia melingkarkan jarinya lebih erat di pinggang Jenny. Sesaat setelah itu bibirnya dengan cepat menjalari leher gadisnya itu. Jenny pun sejenak terbelenggu oleh kehangatan yang diberikan Novan. Dia membiarkan lelaki itu menjamah tubuhnya. Kali ini Novan menarik dagunya pelan, tapi ketika bibir Novan hampir menyentuh bibirnya, Jenny mendorong Novan untuk menjauh.
“S-sebaiknya kamu makan dulu,” ucap Jenny.
Novan menatap kecewa. Ada perasaan malu yang kini menyelinap di hatinya. Harusnya dia tidak bersikap gegabah seperti itu. Jenny pasti tidak mau karena masih marah padanya. Harusnya dia bisa menahan diri. Di tengah kegalauan yang dia rasakan, tiba-tiba Jenny mengecup bibirnya pelan. Novan pun menikmati sensasi kelembutan bibir sang kekasih. Lama-kelamaan ciuman mereka semakin panas. Otot rahang Novan kian menegas seiring gerakan jemarinya yang kembali memeluk tubuh Jenny.
“Kak Jen, di mana let—”
Novan dan Jenny langsung saling dorong ketika pintu ruangan itu terbuka dengan tiba-tiba. Ayu sang asisten pun merasa bersalah dan langsung menutup pintu itu rapat-rapat. Sepeninggal Ayu, Jenny dan Novan pun saling pandang, lalu kompak tertawa pelan.
“Kamu nggak kunci pintunya?” tanya Novan.
Jenny menggeleng. “Aku kan, nggak nyangka kalau kamu bakalan seperti tadi,” jawab Jenny.
Novan mendekat dan bersiap memeluk Jenny kembali, tapi gadis itu langsung menolaknya. “Udah ah ... mood aku sudah hilang. Lebih baik sekarang kita makan dulu.”
Novan pun melahap makanan buatan mama Jenny dengan lahap. Sementara Jenny hanya menatapnya sambil bertopang dagu. Sesekali Jenny tersenyum melihat kedua pipi Novan yang menggembung penuh berisi makanan.
“Kamu nggak ikutan makan?” tanya Novan.
“Aku lagi diet.”
“Kamu itu udah langsing, Jen....”
Jenny menggeleng. “Nggak, target berat badan aku belum tercapai.”
Novan memilih diam. Dia fokus pada makanan yang ada di depannya. Tadi setelah mengantarkan Arini, dia langsung menuju ke butik Jenny tanpa makan terlebih dahulu. Novan ingin mengatasi lapar yang menderanya terlebih dahulu, barulah nanti dia ingin menyelesaikan permasalahannya dengan Jenny.
“Mau tambah lagi?” tanya Jenny.
Novan menggeleng. “Aku udah kenyang.”
Jenny mengangguk dan membereskan bekal makanan itu. Setelah selesai dia pun kembali duduk di depan Novan yang mulai terlihat gelisah.
“Apa lagi?’ tanya Jenny.
Novan meneguk ludah. “Papa sama Mama aku meminta aku untuk segera menikah.”
Jenny terdiam. Helaan napasnya terdengar sesak. Bosan. Dia benar-benar sudah bosan mendengarkan kalimat itu dari bibir Novan.
“Jadi kamu ingin kita menikah?” tanya Jenny.
“A-aku dijodohin sama anak temennya Papa,” jawab Novan.
Hening.
Jenny sejenak terpaku mendengar penuturan Novan. Sedetik kemudian terdengar suara tawa tertahan dan kemudian pecah.
“Hahahaha....”
“Hahahaha....”
Jenny tertawa terbahak-bahak sembari sesekali memukul pundak Novan. “Garing banget deh becandaan kamu,” ucapnya.
Novan menatap lesu. “Aku serius, Jen.”
Jenny menggeleng. “Nggak... ini bener-bener lucu banget. Jadi sekarang kamu pakai trik seperti ini agar aku mau menikah sama kamu?”
Novan tidak bisa berkata-kata lagi. Semua ucapannya itu hanya dianggap bualan semata oleh Jenny.
“Sejak kapan kamu bisa ngelucu seperti ini, Van?”
Hening.
Novan tidak menjawab. Raut wajahnya berubah kesal dengan telapak tangan yang sudah mengepal kuat. Jenny pun menyadari perubahan itu dan berhenti tertawa. Dia mencoba menyentuh Novan, tapi pria itu langsung menepis tangannya. Novan melangkah pergi keluar, Jenny pun segera mengejarnya.
“Kamu kenapa, sih?” tanya Jenny.
“Aku itu nggak bercanda, Jen... aku itu bener-bener dijodohin sama orang tua aku. Saat ini aku bener-bener bingung dan kacau. Aku berharap kamu bisa bikin aku tenang, tapi nyatanya....”
Jenny menatap Novan lekat-lekat. “Kamu yang bener aja, Van... mana mungkin jaman sekarang masih ada cerita konyol seperti itu.”
“Demi Tuhan ... aku serius, Jenny.” Novan menekankan ujung kalimatnya.
Jenny menatap Novan lekat-lekat. Dia tahu Novan memang sedang tidak bercanda, tapi di sisi lain dia juga merasa semua itu terlalu mengada-ada.
“Terus kamu mau?” tanya Jenny.
Novan menelan ludah. “Tentu saja nggak!”
“Lalu apa lagi masalahnya? Kamu cuma perlu menolak perjodohan itu, kan?”
Novan memijit keningnya yang mulai berdenyut. “Itu nggak semudah yang kamu bilang, Jen... orang tua aku itu pengen aku segera menikah.”
“Jadi intinya apa?” tanya Jenny.
“A-aku ingin menikah sama kamu!”
Hening. Hawa dingin terasa menyergap tengkuk Novan. Tanpa kata. Tanpa lagi bersuara. Jenny langsung balik badan dan segera melangkah gusar masuk ke dalam butiknya.
****