Jadi Itu Kamu?

1196 Kata
Novan baru saja selesai berkutat dengan sederet pekerjaannya yang memusingkan kepala. Waktu masih menunjukkan pukul 15.00 sore, itu berarti dia harus menunggu satu jam lagi agar bisa menghirup udara bebas di luar kantor. Raut lelah tergurat jelas di wajahnya. Tumpukan pekerjaan yang menggunung, ditambah permasalahannya dengan Jenny yang belum menemui titik terang membuat Novan kewalahan menenangkan pikirannya sendiri. “Pak Novan ....” tiba-tiba sekretaris Novan masuk ke dalam ruangannya. “Iya, ada apa?” tanya Novan. “Itu Pak, ada salah seorang reporter yang ingin mewawancarai Bapak terkait tentang kerja sama perusahaan kita dengan kementerian,” jawab sekretaris itu. Novan menghela napas panjang. “Yang waktu itu membuat keributan, ya?” Sekretaris Novan yang bernama Tari itu tersenyum, lalu mengangguk. “Saya kan, sudah bilang... mereka itu bukan reporter resmi, tapi mereka adalah penyiar radio yang ing....” Novan menghentikan kalimatnya saat sesuatu melintas di pikirannya. Kata ‘radio’ sudah mengingatkannya pada seseorang. Tiba-tiba saja perasaannya terasa aneh. Ada semacam firasat yang membuatnya mulai merasa gelisah. Semua bermula saat peristiwa seminggu yang lalu. Waktu itu Novan didatangi beberapa kru Radio yang ingin mengulik informasi untuk program siaran mereka. Lebih dari itu mereka juga ingin mengundang Novan sebagai narasumbernya. Tentu saja Novan menolaknya. Beberapa dari mereka kemudian membuat keributan karena memaksa masuk ke kantornya. Peristiwa itu cukup menghebohkan dan sekarang mereka sudah kembali datang? “Di mana mereka?” tanya Novan. “Di bawah, Pak ... kali ini hanya satu orang saja yang datang,” jawab Tari. Novan mengusap-usap dagunya pelan. “Perempuan atau laki-laki?” “Perempuan, Pak.” “Suruh dia masuk!” Novan menanti sosok itu dengan gelisah. Sesekali dia menertawai dirinya sendiri yang mulai bermain dengan angan-angan bodoh. Ada berapa banyak stasiun radio di kota ini? Ada berapa banyak orang yang berprofesi sebagai penyiar radio di kota ini? jadi kemungkinan itu tentu sangat tipis sekali. Novan menggeleng pelan seiring pintu ruangannya yang terbuka pelan. “Selamat sore ... saya dari—” Perkataan gadis itu terhenti. Novan pun sontak bangun dari duduknya. Perlahan jemari telunjuknya terangkat ke arah gadis itu. “K-kamu....” Arini menelan ludah. Dia tidak menyangka akan bertemu Novan di saat seperti ini. Segala rasa percaya diri yang tadi sudah dibangunnya mendadak lenyap tak bersisa. Dia bahkan tidak sanggup untuk sekedar menatap mata Novan. “Mengejutkan sekali. Ternyata dunia memang begitu sempit.” Novan berkomentar dan kembali duduk di kursinya. “J-jadi kamu adalah manager yang bertanggung jawab dalam program kerja sama bersama kementerian itu?” tanya Arini. Novan mengangguk pelan dengan gaya pongahnya. “Tentu saja. kenapa? kamu kaget setelah mengetahui siapa saya sebenarnya?” Arini berdecak pelan. Perutnya tiba-tiba melilit mendengar omong kosong itu. Arini berusaha tenang dan duduk di kursi yang ada di depan meja Novan. Dia mengambil sebuah berkas yang ada di dalam tasnya, kemudian mulai membolak-balik berkas itu. “Apa itu?” tanya Novan. “Daftar pertanyaan untuk wawancara,” jawab Arini. “Hahaha....” Novan tertawa pelan. “Aku belum bilang kalau aku bersedia diwawancarai.” Arini menatap sekilas, lalu mengambil pulpen miliknya. “Kalau kamu nggak mau diwawancarai, maka saya bisa mengisi kekosongan wawancara ini dengan berita perjodohan kita.” Deg. Novan tersentak mendengar ucapan Arini. Gadis itu ternyata lebih berbahaya dari dugaannya. “Kamu mengancam saya?” tanya Novan. Arini tersenyum. “Saya hanya sedang bernegosiasi,” jawabnya. “Novan tersenyum kecut, kemudian menatap hambar. “Baiklah kalau begitu,” jawabnya kemudian. **** Agenda wawancara itupun berlangsung sangat cepat. Arini terkesan buru-buru dan selalu memotong jawaban Novan yang dianggapnya tidak relevan dengan apa yang dia tanyakan. Setelah semua pertanyaan terjawab, Arini pun tersenyum tipis, lalu bangun dari duduknya. “Terima kasih untuk waktunya,” ucap Arini. Novan tersenyum miring. “Hanya itu?” “Lalu apalagi? Kamu juga tidak mungkin mau kalau saya ajak makan malam sebagai bentuk terima kasih,” jawab Arini. Novan tertawa. “Kenapa kamu yakin sekali?” Arini menghela napas gusar. “Bukannya kamu sudah punya pacar? Jadi pasti kamu akan makan malam bersama pacar kamu itu.” Hening. Suasana mendadak sunyi. Hingga kemudian tiba-tiba Novan merampas berkas yang berisi hasil wawancaranya tadi dari tangan Arini. “A-ada apa? kenapa kamu mengambilnya?” Arini berseru kaget. Novan tersenyum. “Informasi yang saya berikan itu begitu penting dan kamu hanya membayarnya dengan ucapan terima kasih?” “L-lalu saya harus bagaimana?” tanya Arini. “Traktir makan kek, atau apa?” Arini terkejut. Dia berpikir keras untuk lolos dari situasi menggelikan itu. “Aku beliin es krim aja, deh.” Tawar Arini. Novan berpikir sebentar. “Boleh, deh.” “Siniin dulu berkasnya!” Arini menengadahkan tangannya. Tanpa ragu Novan pun segera memberikan berkas itu dan secepat kilar Arini langsung melarikan diri dari sana. gadis itu berlarian pontang-panting keluar dari ruangan Novan. Novan pun termangu dengan mata tak berkedip. Beberapa saat kemudian barulah dia tersenyum karena tingkah konyol Arini itu. _ Arini menatap langit yang gelap sambil menggerutu pelan. Tiba-tiba saja hujan turun dengan derasnya. Sudah setengah jam berlalu dan dia masih terjebak di teras kantornya Novan. Dia berharap hujan segera reda, tetapi hujan masih saja turun menghantam bumi. Arini menampung tetesan hujan dengan telapak tangannya, lalu tersenyum. Dia menghalau rasa bosan yang datang dengan bermain hujan. Gadis itu terus saja melakukan hal konyol itu dan tidak sadar bahwa Novan sudah berdiri di belakangnya. Novan menatap Arini lekat-lekat. Sorot matanya berubah lembut. Sesekali dia juga tersenyum melihat aksi Arini yang sedang bermain hujan. Novan terus saja mencuri pandang, hingga kemudian Arini berbalik dan menatap ke arahnya. Deg. Novan segera memalingkan wajahnya. Arini pun juga menghentikan aksi konyolnya itu. Novan melangkah pelan dan berdiri tepat di samping Arini. Gadis itu pun menelan ludah, dan berpura-pura tidak menganggap keberadaan Novan. Hening. Keduanya diam untuk waktu yang cukup lama. Arini dan Novan sama-sama menatap tetesan hujan yang jatuh. Arini yang mulai kedinginan kini memluk tubuhnya sendiri. Novan pun berdehem pelan, lalu memberanikan diri untuk bersuara. “Sepertinya dulu kita pernah bertemu sewaktu kecil,” ucap Novan. Arini sedikit tertarik dengan ucapan itu. “Maksud kamu?” “Iya ... aku ingat dulu pernah berkunjung ke rumah kamu. Saat itu kamu cengeng sekali dan juga ingusan,” jawab Novan. Arini merasakan kedua pipinya mendadak panas. “Ingusan? Asal ngomong aja kamu, ya!” Novan menyembunyikan senyumnya. “Apa ayah kamu masih mengajar?” Arini menggeleng. “Bapak udah pensiun.” “Mmm begitu. Ibuk kamu masih sering bikin mpek-mpek Palembang?” Arini langsung menatap Novan lekat-lekat. “Kenapa kamu bisa tahu kalau Ibuk sering bikin mpek-mpek Palembang?” “Aku suka banget sama mpek-mpek buatan Ibu kamu. Dulu Ibuk kamu sering mengirimi Mama aku dan ketika aku suruh Mama bikin sendiri, eh rasanya malah nggak enak.” Arini tertawa pelan. Novan pun juga tergelak. Bersamaan dengan itu hujan pun mulai reda. Arini tersenyum tipis, lalu memperbaiki posisi tasnya. “Hujannya sudah reda, aku pulang dulu, ya.” Novan tidak langsung menjawab. Arini sudah mulai melangkah pergi. Setelah menelan ludah, Novan pun berlari menghampiri Arini kembali. “Hei... pulang bareng aku aja.” ajak Novan. Arini mengernyitkan dahinya, “Nggak apa-apa, kan... toh kita hanya teman biasa,” ucap Novan. Setelah berpikir sejenak, Arini pun tersenyum. “Oke deh, kalau begitu.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN