POV Debby
“Debby sayang, bisakah kau cepat sedikit? Aku sudah tidak sabar ingin menjelajah, berbelanja, dan juga berenang.” Ucap Marco terkekeh dari luar pintu kamar mandi.
“Ok ... aku datang, tenangkanlah dirimu sayang,” balasku terkikik.
Itu adalah hari resmi pertama kami pada saat bulan madu, kami baru saja tiba tadi pada saat tengah malam. Tujuan kami? Bora ... Bora ... aku tidak pernah tahu kemana tujuan kami akan pergi pada saat kami tiba di bandara.
Marco ingin memilih dan menjadikannya kejutan untukku, dan aku pun penasaran, kejutan seperti apalah yang aku dapat? Suamiku melakukanna dengan baik, tempat kami menginap sungguh luar biasa, kamar kami pun menghadap langsung ke laut, sungguh sangat sempurna.
Aku melihat diriku di dalam cermin dan menyeringai. Aku telah mendapatkan baju renah merah kecil yang sangat seksi, yang aku tahu jika itu di kenakan olehku, akan terlihat bagus. Baju renang yang menunjukkan lekuk tubuhku dan aku yakin pasti akan berhasil membuatnya gila.
Aku mengikat kain pantai di pinggangku, mengacak-acak rambutku sebelum aku keluar dari dalam kamar mandi. Dia berdiri memunggungiku, dan segera berbalik karena mendengar suara kalau aku sudah keluar dri dalam kamar mandi.
“Ayolah sayang, bagaimana bisa itu adil?” ucapnya mengerang saat matanya mengikuti setiap inci tubuhku, lalu dia menjilati bibirnya sendiri.
“Apa ada yang salah, sayang?” aku bertanya dengan berpura-pura polos sambil menggigit bibir bawahku untuk menahan diri agar aku tidak menyeringai.
Marco berjalan ke arahku, meraih pinggulku dan menarikku ke dalam dirinya.
“Bagaimana bisa kau mengharapkan aku untuk meninggalkan ruangan ini ketika kau begitu terlihat seperti itu sayang.” Ucapnya cemberut.
“Sederhana ... seperti ini.” Balasku menyeringai.
Dia enatapku dengan tatapan yang jelas bingung. Aku mengedipkan mata, menarik diri darinya dan berjalan menuju ke pintu.
“Itu tidak adil.” Dia berteriak di belakangku.
Aku pun menoleh ke arahnya dan menyeringai.
“Aku akan menebusnya untukmu nanti sayang... ayolah” kataku.
Dia mengelus bibirnya ke arahku sebelum tertawa dan mengangguk, meraih berang-barangnya dn mendekatiku, menampar bokongku hingga membuat aku mengerang. Dia menutup pintu yang ada di belakang kami sebelum melingkarkan tangannya di pinggangku dan memelukku untuk dekat dengannya.
“Aku tidak tahu apa yang aku pikirkan tentang semua orang yang akan memusatkan perhatiannya pada istriku.” Ucapnya yang terlihat jelas kalau dia tidak rela aku jadi bahan pusat perhatian.
“Jangan khawatir sayang ... biarkan mereka memperhatikanku, yang terpenting adalah aku yang hanya memperhatikanmu” kataku sambil mengedipkan mata.
“Ok, baiklah. Mereka bisa melihat, asalakan mereka tidak menyentuhmu. Lagi pula aku tidak bisa menyalahkan mereka kalau melihatmu ... kau adalah wanita paling seksi disini.” Ucapnya berkata dengan sombong.
Aku terkikik, menggelengkan kepalaku ke arahnya dan memukul dadanya main-main. Dia sendiri hanya mengangkat bahu, cengkramannya mengencang saat kami berjalan melewati hotel ke tempat kolam renang dan bar berada.
Aku bisa melihatnya melototi ria manapun yang menatapku dan aku tidak bisa menahan senyumku. Dia selalu begitu protktif dan sedikit posesif, tetapi tidak sejauh dia tampil sebagai orang yang benar-benar menjaga apa yang menjadi miliknya dan ada disana. Tidak ada yang salah dengan itu.
“kau carikan kita tempat duduk dan aku akan mengambilkan kita minuman ... koktail?” dia tersenyum saat kami berdua tiba di kolam renang.
“Ok sayang. Kejutkan aku dengan yang mana, kau selalu tahu apa yang aku suka.” Balasku tersenyum.
“Cepatlah kembali sayangku, cobalah untuk tidak merindukanku terlalu banyak dan jangan lari dengan beberapa orang asing yang tampan, sementara aku sedang pergi.” Ucapnya berkata.
Aku terkikik, meraih kausnya dan menariknya ke dalam tubuhku. Menanamkan ciuman di bibirnya hanya sesaat sebelum aku kembali menarik diri.
“Mereka tidak memiliki apa-apa yang ada pada samiku yan tampan ini.” Balasku sambil tersenum lebar padanya.
Marco membalas senyumanku dengan cara yang sama sebelum dia berjalan ke bar. Aku meluuti kain yang melilit di pinggangku, tetapi aku merasa sama sekali tidak tertarik. Aku membuat nyaman diriku di kursi empuk. Aku membutuhkan krim tabir surya, tetapi aku meninggalkannya untuk Marco karena dia memberiku pijatan pada saat yang bersamaan.
Pria itu memiliki tangan ajaib. Aku tersenyum keitika aku memperhatikan sekeliling, tepat ini sungguh menarik dan orang-orang yang ada di dalamnya tampak bahagia. Aku pikir dia embuat pilihan yang sempurna ketika dia memutuskan untuk datang ke sini.
Mataku tertuju pada bar tempat Marco berada, pelayan bar itu membungkuk di atas bar dan dengan jelas melamarnya. Dia tidak pernah tampak tertarik, tapi bukan itu lah intinya. Aku memperhatikan sejenak dan dia mulai dengan menjilati bibirnya dan bermain-main dengan rambutnya. Benar-benar tidak tahu malu jalangg itu ... dia ingin mengambil priaku? Dalam mimpi! Aku pun berdiri dari tempat dudukku dan berjalan menuju ke bar.
“Apakah kau disini bersama dengan seeorang, tampan? Atau kau butuh seorang teman?” ucapnya mendengus pada Marco.
“Ya, bersama dengan istrinya, jadi mundurlah!” ucapku berdesis dan berdiri di samping Marco dan memelototi wanita jalangg yang ada di belakang bar.
Wanita itu kemudian mengambil waktu sejenak untuk menatapku dari atas hingga ke bawah. Eskpresi dengan tatapan jijik sungguh ketara sekali di wajahnya.
“Kau menikah degannya?” Ucap wanita itu bertanya dan itu adalah pertanya terburuk di dunia.
Ada masalah apa dengan wanita sialann ini?
“Permisi? Jangan berani-beraninya kau berbicara seperti itu tentang istriku.” Ucap Marco dengan cepat menjadi pahlawanku.
“Yah ... jika kau ingin merubah pemandangan atau ingin mencoba melihat yang lain, kau bisa beritahu aku.” Ucapnya berkata dan mengedipkan matanya pada Marco.
Oh hell to the f*****g no! apakah jalangg ini benar-benar ingin aku tusuk? Marco pergi untuk mengatakan sesuatu padanya tetapi sebelum dia bisa mengatakannya, aku lebih dulu berbicara dengan jalangg ini.
“Dengarkan aku dan dengarkan baik-baik, oke? Jauhkan mata dan tanganmu dari suamiku atau Tuhan pun tidak akan bisa menolongmu jika sampai aku menyakitimu. Dan percayalah padaku, b***h! Ketika aku mengatakan dia tidak membutuhkan orang lain, dia sudah memilikiku dan dia mendapatkan semua yang dia butuhkan dariku. Aku adalah wanita yang sempurna untuknya dan dari lebih banyak wanita terlebih lagi dari kau. Aku melihat wanita seperti mu sebanyak yang dia lihat. Aku akan pastikan kalau aku akan membuatmu di pecat tanpa kau meikirkannya.” Ucapku memberi peringatan padanya.
Wanita itu berdiri dan memelototiku. Jika atapannya bisa membunuh, pasti aku sudah mati karena tatapannya, tapi sayangnya tatapan itu tidak mempan dan tidak berlaku untukku.
“Selamat tinggal b***h! Pelajari lagi sedikit rasa hormat untuk dirimu sendiri dan kejarlah pria yang belum menikah. Aku kasihan padamu yang haus akan perhatian dari suami orang, sungguh memperlihatkan jati dirimu yang sesungguhnya seorang jalangg. Sekarang aku ingin pelayan bar yang lain karena aku sudah sangat muak denganmu.” Ucapku tersenyum remeh melihat ke arah wanita itu.
“Terserah!” ucapnya mendesis kesal.
Aku berbalik ke arah Marco dan melihatnya malah menyeringai. Kenapa dia menyeringai? Apakah dia ingin sebuah tepukan tangan sekarang?
“Jangan menyeringai padaku! Kenapa kau malah menyeringai padaku sekarang?” Ucapku bertanya dengan kesal.
Dia menarikku ke dalam dirinya, mendorong bibirnya ke bibirku dan menciumku penuh dengan gairah. Aku mengerang di bibirnya, melingkarkan lenganku di lehernya saat di ingin menggendongku, menarikku ke arahnya dan mebuat kai berdua sangat dekat dan begitu tidak terpisahkan.
“Selalu bersikplah sangat protektif seerti ini sayang, aku menyukainya.” Ucap Marco di sela ciuman kami.
“Kau seharusnya tahu sekarang ... aku melindungi apa yang sudah menjadi milikk terutama dri wanita seperti itu.” Ucapku tersenyum dan mengelus wajahnya.
“Aku tahu itu, cintaku. Itu adalah salah satu dari sejuta alasan mengapa aku mencintaimu.” Balas Marco.
“Aku pun mencintaimu.” Kataku sambil mengecup bibirnya
Aku dan Marco pun akhirnya mendapatkan minuan kami. Aku dan dia pun menuju kembali ke tempat duduk kami. Marco berdiri di depanku. Aku menggeram saat aku melihatnya, menatap tubuhnya yang setengah telanjang dan dia mengecup bibirku saat aku melihatnya. Dia berdiri disana dengan sombong dan percaya diri karena aku tahu persis mengapa dia bersikap seperti itu padaku. Dia pun mengulurkan tangannya dan mencimku.
“Ini semua milikmu begitu kita sampai di kamar, sayang.” Ucapnya menggeram padaku.
“Hmmm, aku sungguh tidak sabar.” Ucapku mendengus.
Aku sudah tidak sabar untuk memilikinya untuk diriku sendiri di bulan madu kami selama sepuluh hari ke depan.