"Kamu turun aja Isla, biar Aldo yang naik" Teriak Tiara dari bawah pohon.
"Ndak mau Tiala, kakinya Aldo lagi sakit tuh. Ini Isla nya udah diatas, ndak papa. Bental lagi nyampe." Balasnya tetap kekeuh.
"Isla turun aja. Kucingnya ngga usah diambil" Ujar Aldo menimpali.
"Ndak papa Aldo, Ini kucing kesayangannya Tiala tau, kasihan ... Nanti Tiala nangis"
"Nanti aku minta Ayah aja buat ambilin. Kamu turun aja Isla, Nanti aku dimarahin Tante Debby," Sahut Tiara.
Yah. Anak bawel dan keras kepala itu kini sudah nagkring di pohon jambu untuk mengambil kucing milik Tiara. Sudah dilarang tetap saja manjat, berlaga jadi superdede mungkin, eh superhero . Karena Aldo salah satu laki-laki diantara mereka, kakinya sedang terluka karena habis jatuh dari sepeda.
"Nah kena kamu kucing. Kamu itu punya Tiala, halus nulut sama Tiala. Kalo ndak aku kulung kamu di penjala" Omelnya pada sang kucing.
"Aldo ini tangkap kucingnya" Teriaknya.
Aldo dengan sigap menangkap kucing putih yang dilempar oleh Isla.
"Makasih Isla." Ucap Tiara.
"Sama-sama Tiala"
"Udah kamu buruan turun Isla, udah sore. Nanti dicariin sama mamah kamu" Ujar Aldo.
"Iya, ini Isla tulun" Isla menunduk ke bawah.
"Loh. Kok pohonnya jadi tinggi toh?" Pekiknya bingung.
"Tadi Isla naik ndak tinggi kok, ini jadinya tinggi banget yah. Aldo kamu talikin pohonnya yah jadi tinggi" Tuduhnya dengan suara gemetar, mulai cemas.
"Mana ada pohon ditarik jadi tinggi. Kan aku udah bilang, jangan naik itu pohonnya tinggi. Kamu malah ngeyell" Omel Aldo.
"Isla ndak ngeyel loh, Isla itu belpelikemanusiaan kata Bu Gulu. Isla bantuin Tiala loh" Balasnya sewot.
"Yaudah kamu turun cepet"
"Ndak bisa tulun toh, pohonnya tinggi ini. Nanti jatuh kakinya luka kaya Aldo"
"Yaudah aku pulang, kamu di pohon aja situ" Ujar Aldo meledek.
"ALDO JANGAN PELGI LOH. INI ISLANYA SUSAHAN" Teriaknya.
"Tiala, tulunnya gimana ini?" Tanyanya pada Tiara dengan kedua mata bulat yang sudah berkaca-kaca.
"Ngga tau. Mending tadi kamu ngga usah ambilin kucing aku. Ini kucingnya balikin aja" Tiara menyerahkan kucingnya kearah Isla. Dan Isla mengambilnya kemudian meletakan kucing tersebut ditempat tadi.
"Sama aja aku halus tulun loh Tiala" Ucapnya kemudian setelah sadar dari kebodohannya. Jangan dihujat Tante, mereka masih kelas satu Sekolah Dasar loh.
"Loh itu kok kucingnya diatas lagi?" Tanya Aldo yang sudah balik lagi.
"Islanya jadi ngga bisa turun, jadinya kucingnya diatas aja ngga usah diturunin. Kasihan Islanya, Aldo" Jelas Tiara.
"Ya percuma, Tiara. Mau kucingnya dikamu atau dibalikin ke pohon juga sama aja Islanya udah diatas" Omel Aldo kesal.
Nah ini lumayan pinter.
Aldo itu paling tua diantara mereka, karena dia udah kelas dua SD.
"Aldo kok malah ngomel-ngomel ke Tiala? Isla lempalin lanting ini" Ancamnya yang sudah mematahkan ranting pohon dan bersiap melemparnya ke arah Aldo.
"Katanya berperikemanusiaan kok nakal sama temen?" Tanya Aldo membuat Isla terdiam.
"Ya ... Mmm-- Aldo nya nakal sih, ngomelin Tiala" Balasnya tak mau kalah.
"Kamu mau turun ngga?" Tanya Aldo mengalihkan perdebatan mereka.
"Ya mau lah. Masa Isla mau dipohon telus" Balasnya sewot.
"Lompat aja. Ngga papa jatuh, yang penting kamu bisa turun," saran Aldo seenak jidat.
Pinternya ngga gitu juga kali Mas.
"Nanti sakit Aldo, kamu kok jahat!!" Omel Tiara.
"Nggak jahat yah, aku pinter tuh nyariin ide"
"Ide kamu itu jahat Aldo!!" Teriak Isla.
"Brisik kamu. Cepet turun, udah jam 5"
"Ya gimana tulunnya?? Olang ini pohonnya tinggi banget kok"
"Astagaa, Isla kenapa diatas Nak?" Tanya Pak Damar, Papahnya Tiara kaget.
"Isla ambilin kucinnya Tiara Yah, trus ngga bisa turun lagi" Tiara yang menjawab.
Damar mengulurkan tangannya hendak menurunkan Isla. "Bental Om, kucingnya diambil lagi."
Setelah mengambil kucing dan menyerahkan pada Damar, Isla mengulurkan tangannya meminta digendong.
"Eh bentar, hp Om bunyi" Ucap Damar.
"Iya halo Pak"
"..........."
"Iya ini saya baru ketemu"
"..........."
"Di pohon jambunya Pak Darno"
"..........."
"Isla malah yang manjat pohon jambu"
".........."
"Iya saya tunggu"
"Siapa Om? Kok Om ngomongin Isla?" Tanya Isla, kepo.
"Papah kamu"
"Yahh ... Om bilang yah kalau Isla manjat pohon?" Ucap Isla lesu. "
Kenapa nak?" Tanya Damar bingung.
"Nanti Papah malahin Isla, Om." Kedua mata bulat itu sudah mulai berkaca-kaca lagi.
"Ya nggak apa-apa toh, biar kamunya nggak bandel lagi" Sahut Aldo.
"Aldo diemm!!" Sahut Tiara kesal.
"Isla takut Papah malah Om."
"Papah kamu ngga marah Nak--"
"ISLA!!" Panggil Marco yang baru turun dari mobilnya.
Marco berjalan tergesa-gesa menghampiri anaknya yang masih nangkring di pohon jambu.
"Maapin Isla Papah, Isla cuma mau tulunin kucingnya Tiala. Papahnya jangan malahin Isla." Ucapnya takut.
"Papah ngga marah sayang. Mamah kamu uring-uringan di rumah. Ayo pulang" Marco membawa tubuh berisi sang putri ke dalam gendongannya.
"Isla sayang Papah" Isla mencium rahang Papahnya sambil mengeratkan pelukannya di leher sang ayah.
"Makasih ya Pak Damar"
"Sama-sama Pak"
"Saya permisi dulu, mari."
Pak Damar hanya menganggukan kepalanya.
***
"Mamah ndak malah kan sama Isla?" Tanyanya hati-hati.
Jam menunjukan pukul 19.15 Sedari pulang tadi, Debby belum mengucapkan sepatah katapun pada anaknya.
Dia tidak marah, hanya ingin kejujuran dan keberanian anaknya meminta maaf sendiri. Mereka kini sedang berada di ruang tengah.
"Maapin Isla, Mamah. Isla janji, bakal nulut sama Mamah" Ucapnya dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca.
"Mamah masih malah yah sama Isla?" Tanyanya pelan sambil menunduk, lalu mengambil tangan sang Mamah dan digenggamnya.
Debby terharu lalu membawa sang putri ke pangkuannya.
"Mamah ngga marah sama Isla. Mamah cuma khawatir, itu tandanya Mamah sayang sama Isla. Mamah ngga mau anak Mamah yang cantik ini kenapa-napa." Jelasnya sambil mengusap air mata di pipi gembul sang putri.
Isla menatap Mamahnya sambil tersenyum lalu memeluk leher Debby erat.
"Makasih Mamah, maapin Isla ya mah, Isla udah bandel." Ucapnya teredam di ceruk leher Debby.
"Iya sayang" Debby mengusap-usap punggung kecil anaknya.
"Papah bilang apa? Mamah ngga mungkin marah" Sahut Marco yang sedari tadi fokus dengan laptopnya.
"Iya Papah" Balas Isla lalu melepaskan pelukannya.
"Mamah, Isla ada PL"
"Hah?" Pekik Marco meringis.
"Ada tugas lumah Papah" Jelas Isla.
"Nah iya ngomongnya Tugas Rumah gitu yah, jangan disingkat. Nanti Papah kamu salah paham." Perintah Debby.
"Oke. Mm ... Mamah bantuin Isla keljain tugas yah Mamah"
"Iya, buku kamu bawa sini aja yah" "
Oke Mamah"
"Lima dikurangi dua, berapa?" Debby dengan telaten mengajari anaknya.
Isla menggembungkan pipinya sambil mencoba berfikir.
"Gini-gini, Misal Isla punya permen lima" Isla mengangguk. "Terus dikasih ke Aldo dua," Mengangguk lagi. "Jadi tinggal sisa berapa?"
"Lima" Jawabnya cepat, sampai membuat Marco ikut menoleh.
"Kok masih lima? Kan dikasih ke Aldo dua" Tanya Debby bingung.
"Pelmennya masih lima, Mamah. Soalnya Isla ndak mau ngasih ke Aldo. Aldo jahat Mamah, tadi suluh Isla lompat dali pohon jambunya Pak Dalno toh"
Yeah malah curhat si gembul.
"Oke ganti. Isla punya permen lima, terus dikasih ke Tiara dua. Jadi tinggal berapa?" Ulangnya mengganti objek dari Aldo menjadi Tiara.
"Tinggal dua"
Debby melotot.
"Soalnya Tiala baik sama Isla. Jadi pelmennya buat Tiala tiga, buat Isla dua aja"
‘Astaga anakku!!’
"Tapi Tiara maunya dua aja. Jadi tinggal berapa?"
"Tinggal dua Mamah, Tiala maunya dua telus yang satu dilebut sama Aldo"
‘Sabar ‘
"Oke. Permen Isla lima, trus diminta Papah dua. Jadi tinggal berapa?" Debby mencoba mengganti objek lagi.
"Tinggal lima Mamah, kalena Isla suka pelmen jadi Papah ndak mungkin minta pelmennya Isla. Kan Papah bisa beli sendili toh"
‘Nyebut apa lagi aku??’
"Ganti. Permennya Isla yang lima, ditaroh di meja, trus hilang dua. Jadi tinggal berapa?"
"Lima. Soalnya Isla kalo punya pelmen ngga mungkin talo meja, pasti dibawa main" Balasnya bangga sambil tersenyum.
"Udahlah kamu besok tanya sama Bu Guru aja" Debby menyerah dan menyandarkan punggungnya di sandaran sofa.
Marco menghampiri keduanya sambil terkekeh melihat raut kesal istrinya. Marco mengusap rambut Debby kemudian beralih mengacak gemas rambut putrinya.
"Nih, Isla punya permen lima, terus Isla duduk sambil nonton tv. Terus permennya dimakan dua. Jadi tinggal berapa?" Tanya Marco.
Isla menunjukkan lima jarinya lalu menekuknya dua.
"Tinggal tiga, Papah" Jawabnya semangat.
‘Astaga ternyata begitu rumusnya!!’
Debby sampai melongo dan melotot saking kesalnya. Dia sudah mengoceh dengan mencoba berbagai objek selalu gagal. Sedangkan Marco, hanya satu kali percobaan langsung berhasil.
Kata kuncinya 'dimakan' jadi paham. Kalo dikasih-dikasih mana mau tu anak.
***
"Mamah, pacalan itu apa?" Tanya Isla saat ditengah aktivitas ngemilnya dimalam hari.
"Kenapa tanya gitu?" Debby balik bertanya.
"Tadi siang Aldo bilang nanti kalo udah sekolah sepuluh tahun lagi, nanti Aldo bakal jadi pacalnya Isla." Tuturnya jujur pada sang Mamah.
"Pacaran itu kaya jadi temen tapi spesiiaaal banget." Balas Debby seadanya, mau dijelaskan seperti apalagi definisi pacaran yang dapat dimengerti oleh anak seusia Isla.
"Hm ... mmm ... belalti nanti Isla spesiiaaall banget buat Aldo, Mah?"
"Mmm ... kaya Mamah sama Papah?" Tanyanya lagi.
"Beda. Kalo Mamah sama Papah udah nikah. Udah spesial banget banget banget pake telur satu krat" Itu bukan jawaban Debby, melainkan Marco yang ikut nimbrung.
Beralih sedikit tatapannya dari laptop.
"Papah diem, kelja aja telus. Isla lagi culhat sama Mamah loh" Cibirnya tak suka dengan jawaban sang Papah.
"Gimana Mamah?" Lanjutnya beralih menatap Debby.
"Iya. Nanti Isla spesial buat Aldo. Aldo bakal jagain Isla, jadi tempat keluh kesahnya Isla, ya pokoknya harus selalu ada buat Isla." Balas Debby.
"Isla masih ada Mamah sama Papah toh, napa Aldo yang jagain?" Tanyanya bingung sambil menggaruk pipi bulatnya. Mungkin sudah kebiasaan bocah bulat itu. Kalau lagi bingung pasti Pipinya yang digaruk.
"Iya kan kalo di sekolah Mamah ngga ngikutin Isla terus. Jadi ada Aldo yang jagain sayang"
"Mamah pelnah pacalan?"
"Mamah ngga pacaran tapi langsung nikah sama Papah kamu"
"Kenapa?"
"Karena Mamah spesial" Sahut Marco langsung mendapat delikan dari si gembul.
"Ngga boleh gitu sama Papah" Tegur Debby.
"Mamah, kata Aldo kalo Isla mau pacalan sama Aldo halus ijin sama Mamahnya. Mamah ijinin nggak?"
"Hm?"
"Katanya Aldo jahat, ngeselin. Kok kamu mau pacaran sama Aldo?" Ledek Debby jahil.
"Isla ndak pacalan loh Mamah. Katanya Aldo sepuluh tahun lagi. Mm ... belalti Isla kelas belapa toh Mamah?"
"Coba dihitung" Perintah Debby.
Isla mencoba menjulurkan semua jari tangannya dan mulai menghibung. Dengan dahi berkerut dan pipi digembungkan, kadang-kadang bibir mungilnya mengerucut.
"Kelas banyak Mamah" Jawabnya polos.
Debby dibuat tertawa dengan tingkah menggemaskan putrinya ini. Sudah lama menghitung, taunya cuma jawab 'banyak'. Ngga usah dihitung kamu juga bisa.
"Masih kecil ngga boleh bahas pacaran" Tegur Marco.
"Isla cuma tanya loh Papah" Sahutnya tak mau kalah.
"Tanya itu sama aja bahas toh sayang. Ngga boleh, belum waktunya kamu ngomongin begituan. Kalo Aldo bilang soal pacaran kamu jawab 'masih kecil kata Papah ngga boleh ngomongin pacar-pacaran' gitu, Oke?" Cerocos Marco panjang lebar.
"Papah bilang Isla udah besal, halus tidul sendili, makan sendili. Ndak boleh lepotin Mamahnya, ndak boleh nakal. Belalti Isla ndak kecil lagi toh Papah"
"Pokoknya Papah ngga suka kalo Isla bahas soal Pacaran" Tegas Marco.
"Iya Papah"
"Mas!!" Tegur Debby, yang ditegur hanya melirik sebentar lalu melanjutkan kegitannya.
"Gih kamu tidur" Suruh Marco menatap Isla.
"Mamah temenin" Ajaknya sudah menarik tangan sang Mamah.
"Aku ke atas dulu" Ucap Debby sambil berlalu karena tangannya sudah ditarik sang anak untuk ke kamar.
"Aku tau kamu sayang sama Isla, tapi kalo negur dia bahasanya dialusin dikit, Mas." Debby mencoba memberikan sedikit pengertian pada suaminya itu.
Mungkin berbicara setelah selesai bercinta tidak akan membuat Marco emosi. Marco menaikan selimut untuk menutupi tubuh polos keduanya lalu tersenyum.
"Iya sayang" Marco mengecup puncak kepala Debby dengan lembut lalu menariknya kedalam dekapan Marco.
Hujan dimalam ini semakin deras mengguyur kota, disertai kilatan petir yang kian membuat banyak orang takut.
JDEEERRRRR
Debby terlonjak lalu melepas pelukan Marco.
"Isla Mas"
"Aku coba ke kamarnya" Marco buru-buru mengambil kaos dan boxer nya yang berserakan dilantai kamar.
"MAMAAAAHH!!" Teriak Isla dari depan kamar mereka.
"Mas!!" Pekik Debby kaget, bingung plus kelabakan.
"Aku alihin Isla ke dapur, kamu cepet pake baju" Balas Marco lalu keluar dari kamar.
Di depan pintu terlihat anaknya yang sudah banjir air mata sambil memeluk boneka sapinya. Marco membawa Isla kedalam gendongannya dan menenangkannya.
"Sttt." Marco mengusap-usap punggung mungil putrinya.
"Takut Papah." Rengeknya sesenggukan.
"Papah disini sayang."
"Temenin Papah ke dapur bentar yah." Ajak Marco.
"Ndak mau papah, mau sama Mamah aja." Tolaknya.
"Papah ambil minum bentar buat kamu tuh, habis nangis harus minum." Tak memperdulikan penolakan putrinya, Marco langsung berjalan membawa sang putri menuju dapur.
"Isla tidul sama Mamah?" Tanyanya ketika sudah berada di kamar kedua orang tuanya.
"Iya sayang" Balas Debby sambil menepuk-nepuk b****g Isla supaya tertidur.
"Mamah sakit?" Celetuknya tiba-tiba.
"Enggak ... Kenapa?" Tanya Debby bingung.
"Mm ... itu lehel Mamah melah-melah, Mamah sakit yah?" Isla menyentuh leher Debby yang banyak tanda merahnya.
Siapa lagi yang bikin kalo bukan Marco. Debby mengalihkan tatapannya kearah Marco sambil menggenggam tangan Isla yang dilehernya.
"Mamah kamu alergi dingin, jadi kalo hujan ya lehernya merah-merah" Jawab Marco berbohong.
"Mamah jangan sakit, Isla sayang Mamah" Isla mengecup dagu Mamahnya.
"Isla peluk Mamah bial Mamah ndak dingin lagi." Isla memeluk leher sang Mamah erat sambil menenggelamkan wajahnya di d**a Debby. Debby pun membalas pelukan putrinya tak kalah erat. Marco tak mau kalah ikut memeluk putrinya dari belakang.