1. Dia kembali
Jalanan ibu kota masih sangat padat mengingat banyak para warga sekitar yang menghabiskan sisa libur akhir tahun di beberapa titik, di kawasan hiburan Jakarta. Tidak hanya warga setempat saja, tapi ada banyak warga dari berbagai daerah yang juga ingin menghabiskan waktu berlibur mereka di Jakarta. Bagi sebagian orang, Jakarta adalah kota yang menarik, tapi bagi Tiara yang sudah menetap sejak lahir, Jakarta adalah macet. Hanya itu yang bisa dideskripsikan Tiara.
“Ngantuk?” Tanya Tiara pada gadis kecil di sampingnya. Si anak mengangguk, dengan mata sayu, sementara mulutnya penuh makanan.
“Mbak, tolong bantu Davina. Kayaknya udah ngantuk.” Ucapnya, pada wanita di jok belakang, yang berstatus sebagai pengasuh Davina. Imas namanya.
“Baik, Bu.”
Mobil menepi, Imas lantas mengganti posisinya yang semula ada di jok belakang, beralih ke jok depan.
“Kasih dulu minum,” ucapnya lagi, saat melihat mulut Davina penuh makanan.
Imas memberikan minum dengan perlahan, tapi hanya sedikit yang mampu ditelan Davina, gadis kecil itu sudah terlalu mengantuk. Therapy yang dijalaninya seminggu sekali kerap membuat anak kecil itu lelah, tidak jarang ia menangis dan berontak sampai akhirnya ia tertidur akibat terlalu lelah. Davina lahir prematur, sejak dalam kandungan pertumbuhannya sedikit terlambat, mungkin karena saat itu Tiara mengandung di usia yang masih sangat muda atau mungkin juga karena banyak hal yang membuatnya tertekan, hingga kehamilan yang seharusnya dijalani dengan bahagia, justru terjadi sebaliknya.
Perjalanan dari Rumah sakit menuju rumah yang seharusnya ditempuh selama dua puluh menit berlangsung lebih lama. Kemacetan di beberapa titik disertai hujan membuat perjalanan semakin lama saja. Itulah mengapa Tiara menyebut Jakarta adalah kemacetan.
Tapi kemacetan kali ini jauh lebih parah, mobilnya nyaris tidak bisa bergerak sedikitpun, padahal jarak menuju rumah tinggal sedikit lagi.
“Ada apa, Pak? Kenapa macet banget?” Tiara membuka kaca, bertanya pada seorang lelaki paruh baya yang terlihat berlalu lalang menertibkan lalu lintas.
“Tabrakan di depan sana, Bu.” jawabnya.
“Sepasang anak muda jatuh dari motor, kaki ceweknya patah.” Lanjutnya.
“Ya ampun, kasihan sekali.”
Yang awalnya ingin mengumpat karena kemacetan yang tidak kunjung mereda, tapi setelah tahu alasannya, tentu saja Tiara merasa kasihan juga.
“Kayaknya pasangan muda deh, Bu. Tuh lihat.” Imas menunjuk ke arah samping dimana banyak orang berkerumun, disana terlihat seorang wanita muda tergeletak sementara seorang lelaki muda menangis tepat di sampingnya.
“Kayaknya mereka pacaran, nggak mungkin kakak adik,” ucap Imas lagi, sementara Tiara hanya memperhatikan.
“Anak-anak jaman sekarang kalau pacaran udah kayak yakin bakal dinikahin, mesranya ngalahin orang dewasa.” Imas terkekeh.
“Kamu nyindir saya?” Tanya Tiara dengan tatapan jahil.
“Nggak! Saya nggak bermaksud nyindir Ibu, sumpah deh!”
Tiara terkekeh saja.
“Namanya juga masih muda, pasti lupa segalanya kalau lagi jatuh cinta.”
Ucapannya bukan hanya sekedar isapan jempol semata, atau mengutip dari kata-kata mutiara yang kerap berseliweran di media sosial. Tiara mengatakan hal terebut karena ia pun pernah merasakannya, dimana perasaan menggebu saat muda membutakan logika hingga kesalahan fatal itu terjadi, dan menyisakan sesal sampai detik ini.
Tiara menghela lemah, mengapa ia kembali teringat kejadian waktu itu?
Kejadian yang menghasilkan Davina sekaligus trauma dalam hidupnya.
Enam tahun lalu,,,
Menjelang kelulusan, Tiara dan beberapa teman lainnya merencanakan pesta perpisahan di sebuah cafe. Untuk merayakan kelulusan dan memulai memasuki jenjang pendidikan lebih tinggi, mereka sepakat untuk merayakannya termasuk Tiara dan Edo, kekasihnya.
Mereka berdua sudah berpacaran sejak di kelas dua menengah atas. Hubungan yang terjalin sudah lama dan keduanya saling mencintai.
Gelora cinta yang begitu menggebu di masa putih abu-abu, membuat keduanya merasa kekuatan cinta keduanya amat sangat besar bahkan meyakininya bahwa hubungan itu akan bertahan sampai ke jenjang pernikahan.
“Jadi, ambil jurusan dokter?” Tanya Tiara, saat berduaan bersama Edo. Keduanya memilih tempat yang sedikit sepi, sementara teman-teman yang lain berpesta di dalam cafe.
“Kayaknya jadi. Kamu?” Edo balik bertanya.
“Aku suka desain, mungkin mau ambil jurusan desainer atau desain interior, ambil salah satunya aja.”
Tiara sangat menyukai desain, dari mulai desain interior atau desain pakaian tapi ia harus memilih salah satunya.
“Kita bakal susah ketemu nanti, soalnya beda kampus.” Edo mengusap puncak kepala Tiara.
“Iya, tapi masih bisa komunikasi setiap hari, kan?”
“Bener.”
Merasa akan berpisah setelah kelulusan karena nantinya mereka akan melanjutkan pendidikan di universitas yang berbeda, keduanya pun memutuskan untuk berduaan mengobati rindu yang mungkin akan di rasakannya nanti, setelah sama-sama sibuk. Namun, mereka tidak menyadari bahwa gairah yang mulai terpancing dan sulit dikendalikan itu mulai membakar keduanya.
Mereka mencari tempat yang lebih sepi, dan dengan segala bujuk rayu Edo, Tiara pun luluh dan di malam kelulusan itu Tiara menyerahkan kehormatannya. Dua remaja yang baru saja lulus sekolah menengah pertama, tapi mereka justru mengawalinya dengan sebuah kesalahan akibat terlalu menuruti nafsu.
Keputusan yang disesali Tiara, dimana pada akhirnya ia harus menanggung semuanya sendiri. Sementara Edo bisa tetap melanjutkan pendidikannya, tapi Tiara justru tidak bisa karena setelah kejadian hari itu, ia hamil.