10. Ani-ani

1604 Kata
“Masih kecil hamil, hancur sudah harapan orang tua dan masa depan. Mau jadi apa?!” “Jadi perempuan nggak ada harga dirinya!” “Anak jaman sekarang memang nggak tahu malu! Bisanya nyusahin orang tua!” Hinaan dan caci maki datang silih berganti pada Tiara. Menganggap dirinya beban keluarga, tidak punya harga diri dan tidak tahu malu. Dianggap sebelah mata seperti itu berlangsung lama, bahkan setelah Tiara bercerai pun masih banyak orang yang tidak bersimpati pada nasibnya. Kebanyakan justru menyalahkan Tiara seorang karena dianggap tidak bisa menjaga diri dengan baik. “Klien kali ini minta menu otentik Chinese food, salah satu keluarganya atau mungkin Oma dan Opa nya asli orang saja dan ingin makanan yang nyaris serupa.” Tiara berkunjung ke star kitchen, untuk membahas perihal menu masakan yang akan mereka kerjakan satu Minggu lagi. Untuk kesekian kalinya Reno dan Tiara bekerjasama. “Mudah.” Balasnya. “Otentik, Ren. Yang artinya masakan tradisional dan,” “Iya, aku tahu. Aku dah baca-baca buku resep dan mempelajarinya tiga hari ini. Mau coba?” Reno selalu menawar menu baru pada Tiara atau hasil karya terbarunya, menganggap standar Tiara adalah penentu makanan tersebut layak dijual atau tidak. Tiara tidak punya keahlian dalam menilai sebuah makanan, baginya adalah tidak beracun dan basi masih bisa dimakan dan disebut enak. “Mau.” Reno beranjak dari tempat duduknya, mengambil piring berisi makanan khas China. “Cobain, menurutmu enak nggak?” Tiara mengambil sumpit dan mencicipi masakan tersebut dengan perlahan. Ia tidak langsung menelan makanan tersebut, berusaha merasakan sensasi dari setiap gigitan, tapi sayangnya itu hanya akting semata, sebab ia tidak bisa membedakan apapun selain makanan itu asin, gurih dan sedikit pedas. “Enak. Mirip bihun goreng Mpok Mimin depan gang. Bedanya ini pedes aja.” Reno terkekeh, “Sudah kuduga.” Balasnya. “Kalau mau tanya pendapat tuh, sama orang yang mengerti kuliner. Menurutku semua makanan enak, kecuali yang beracun dan basi. Bahkan saat orang kantor bilang mie ayam Pak Mul nggak enak dan asin, menurutku enak-enak aja sih.” Tawa Reno semakin kencang. “Dasar perut karet, tapi anehnya nggak bisa gemuk, malah makin kurus kayak gini.” Reno memperhatikan penampilan Tiara, yang terlihat semakin ramping saja. “Aku sakit, selama satu Minggu ini.” Keluhnya. “Kenapa nggak bilang?” Reno mendekat, memperhatikan wajah Tiara dengan seksama. “Sekarang masih sakit?” “Nggak.” Tiara menggelengkan kepalanya. “Udah mendingan.” “Sakit apa?” Reno menarik sikut Tiara, mengajaknya duduk di salah satu kursi. “Biasa lah, asam lambung naik.” “Lagi-lagi penyakit yang sama. Jangan minum kopi terus kenapa sih?!” Kesal Reno. Tahu keadaan Tiara yang kerap mengkonsumsi minuman berkafein secara berlebihan, yang dianggap menjadi salah satu pemicu asam lambung naik. Selain itu juga karena jadwal pekerjaan Tiara yang semakin padat setiap harinya, membuat ia kerap kesulitan menjaga pola makan dan kerap melewatkan jadwal makan. “Kopi tuh kalau bisa ngomong pasti protes, dia kena fitnah terus.” Balas Tiara. “Nggak fitnah, memang dia penyebabnya ko.” Tiara hanya tersenyum samar. Kopi memang bisa menjadi salah satu penyebab asam lambung naik, tapi bisa jadi banyak faktor yang membuat kondisi semakin memburuk. Salah satunya stres, cemas dan banyak pikiran. Tiga hal itu bisa jadi tokoh utama penyebabnya, tapi beberapa orang tidak pernah mau tahu akan banyaknya beban yang ditanggung Tiara, alhasil kopi lah yang menjadi sasaran. “Pasti dilema, kan?” Reno mendekatkan kursinya, menatap dalam ke arah Tiara. “Khawatir, takut dan cemas.” Lanjutnya, yang membuat Tiara membalas tatapan lelaki itu. Perlahan ia pun mengangguk. “Benar.” “Lama-lama aku bisa dituntut nih sama kopi, udah ngefitnah dia terus.” Reno tersenyum. “Iya. Kamu selalu nuduh kopi yang nggak-nggak.” “Soalnya kalau aku cari pelaku utamanya dan balas secara langsung, aku yakin kamu pasti nggak mau. Iya, kan?” “Bukan nggak mau, tapi aku nggak suka cari ribut. Biarin aja, semuanya pasti akan berlalu ko.” Reno mengangguk. “Mau janji satu hal sama aku nggak?” “Apa?” “Setelah lelaki itu menikah, ikut aku jalan-jalan keliling dunia. Mau?” “Nggak punya duit.” “Aku yang membiayai semuanya. Mau ya?” “Kenapa sih Ren, kamu–?” “Karena aku sayang sama kamu.” Reno mengusap lembut puncak kepala Tiara dengan lembut. “Tunggu disini, ya? Setelah selesai bekerja aku mau ajak kamu belanja beli keperluan dapur yang abis.” Tiara menurut saja, ia menunggu setelah seorang pelayan memberikan secangkir teh hangat padanya. Sesekali Tiara menoleh ke arah Reno, dimana lelaki itu terlihat tampan dan berkharisma saat mengenakan pakaian kerjanya. Tubuh tinggi dan berotot, dengan pisau di salah satu tangannya semakin membuat penampilan lelaki terlihat sexy. Pantas saja banyak wanita yang berbondong-bondong datang dengan dalih ingin mencicipi masakan Reno, padahal bukan hanya ingin menikmati makanannya saja, tapi juga karena chef sekaligus pemilik restoran nya yang memanjakan mata. Menunggu sekitar tiga puluh menit, akhirnya Reno menyelesaikan pekerjaannya. Ia pulang lebih awal, untuk membeli beberapa bahan baku yang habis. Memang ada supplier yang menyediakan segala kebutuhan restoran, dari mulai daging, sayur dan buah. Tapi ada beberapa bahan yang memang tidak disediakan oleh supplier. Lokasi yang mereka tuju adalah sebuah pusat perbelanjaan dimana tempat tersebut menyediakan bumbu dari berbagai negara, salah satunya Korea dan China. Karena proyek selanjut meminta tema Chinese food, Reno pun harus menyediakan berbagai macam bumbu untuk persiapan nanti, atau mungkin Reno akan mencoba beberapa menu untuk percobaan. “Mau beli sesuatu? Ambil saja. Davina suka apa? Coklat?” Reno mengambil beberapa batang coklat, memasukannya kedalam troli yang sudah penuh dengan berbagai macam bumbu dan bahan masakan lainnya. “Jangan terlalu banyak nanti nggak mau makan.” Cegah Tiara, saat lelaki itu hendak kembali mengambil beberapa batang coklat. “Kasihnya satu-satu aja. Jangan di tunjukkan semuanya. Ibunya juga mau, kan?” Tiara hanya tersenyum samar dan mengangguk. Bersama Reno ia tidak perlu menjadi orang lain, tidak perlu juga jaim atau bersikap sok manis. Lelaki itu sudah mengetahui bagaimana kehidupannya, kesalahan fatal yang pernah dilakukannya pun tahu, sampai Tiara tidak lagi merasa harus menjaga sikap di depan lelaki itu. “Mau ini nggak? Makan ramen pedas pake keju Mozarella dan pangsit kuah, kayaknya enak. Makan di rumahku, mau?” Tiara tidak langsung menjawab, ia menoleh ke arah jam yang melingkar manis di pergelangan tangannya. “Di rumahku saja gimana?” “Boleh. Udah lama nggak ketemu ibu sama Bapak, sekalian jenguk mereka.” Bahkan hubungan Reno dan kedua orang tuanya pun sudah sangat baik. Jika disebut sebagai calon suami idaman, Reno sudah memenuhi semua kriteria itu, sayang sekali Tiara masih enggan untuk membuka hatinya. Entah mungkin masih trauma atau masih menggenggam masa lalu itu dan enggan untuk melepasnya. “Tiara?!” Seorang wanita memanggil namanya, saat mereka ada di lorong daging dan buah. Tiara menoleh, untuk beberapa saat ia memperhatikan wajah wanita itu dengan seksama. Berusaha mengingat wajahnya. “Ingat aku? Aku Selvia, teman waktu kita sekolah dulu di SMA tunas bangsa.” Wanita itu menjelaskan.. akhirnya Tiara pun berhasil mengingatnya. “Oh, Selvi. Iya aku ingat, apa kabar?!” Tiara dan Selvi saling berpelukan singkat. “Baik. Kamu sendiri?” “Baik juga. Maaf,aku nggak ngenalin kamu, pangking banget sih. Makin cantik.” puji Tiara pada wanita yang berpenampilan mencolok itu. “Bisa aja. Kamu juga, nggak berubah loh. Padahal Uda menikah dan punya anak, tapi masih kayak gadis gini.” Selvi pun memuji. “Ini, siapa?” Selvi menoleh ke arah Reno, dengan tatapan ingin tahu. “Oh iya, perkenalkan ini Reno–” “Reno, calon suami Tiara.” Bukan hanya Selvi, Tiara pun dibuat terkejut oleh pengakuan Reno. “Oh, kalian mau menikah? Wah,, selamat. Akhirnya kamu menikah lagi, nggak cuman Edo yang mau menikah tapi juga kamu, yang artinya kalian sudah sama-sama move on, ya?” Selvi tertawa, diikuti oleh Tiara yang juga tertawa samar. “Iya, kami sudah lama merencanakan pernikahan tapi malah keduluan si mantan.” Balas Reno.. “Nggak apa-apa, namanya menikah harus benar-benar siap, apalagi Tiara punya trauma masa lalu, pasti dia cemas dan takut.” Kegagalan pernikahan Tiara memang sudah diketahui banyak orang, apalagi beberapa diantaranya memang sudah meramalkan bahwa pernikahan itu tidak akan bertahan lama. “Iya, aku sih bakal selalu memastikan Tiara bahagia.” Balas Reno lagi dengan percaya diri. “Oh iya, karena kebetulan ketemu kalian berdua di sini, aku mau sekalian undang di acara reuni dua Minggu lagi. Kamu harus datang ya, Ti. Awas aja kalau nggak dan Reno juga harus datang.” Tiara nyaris menolak dengan halus, kesibukannya akan kembali dijadikan alasan tapi lelaki di sampingnya sudah terlebih dulu menjawab. “Tentu, kami akan datang. Terima Kasih untuk undangannya.” “Sama-sama. Aku akan kirimkan alamat dan undangan secara resminya.” Setelah bertukar nomor ponsel, Selvi pun segera pamit pergi terlebih dahulu. Sementara Reno dan Tiara masih berada di supermarket karena masih ada beberapa barang yang belum dibeli. “Selvi makin cantik aja.” Tiara menatap pantulan dirinya di cermin, membandingkan diri sendiri dengan Selvi yang masih terlihat muda dan cantik. “Kadang aku merasa iri pada teman-temanku yang memiliki kart cemerlang, nggak seperti aku yang–” “Oh, kamu mau jadi simpanan gaduh kayak cewek itu?” Kening Tiara mengerut. “Simpanan gaduh? Jangan fitnah deh, dia itu kerja kantoran.” “Kantoran apa?! Lihat dari ujung kaki hingga ujung kepala, penampilannya persis ani-ani. Ih,, serem!” Reno bergidik ngeri. “Maaf ya,bukan aku sok ganteng tapi aku emang ganteng, sebelum aku bilang calon suami kamu, itu wanita natap aku kayaknya binatang buas Nemu mangsa baru. Ihh takut!” “Kepedean banget sih!” Tiara memukul kepala Reno dengan spaghetti yang ada di tangannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN