Situasinya menjadi sangat sulit, saat posisi duduk yang berhadapan seperti ini. Sialnya, Tiara berhadapan langsung dengan lelaki itu.
Sosok yang memilih diam sejak beberapa waktu lalu, saat mereka bertemu untuk pertama kalinya setelah sekian lama berpisah.
Tidak banyak yang berubah darinya, wajah, bentuk tubuh, bahkan potongan rambutnya pun masih sama. Tiara yakin, lelaki itu pasti menjalani hidupnya dengan sangat baik. Tidak seperti dirinya yang terus-menerus dihantam rasa bersalah dan nyaris putus asa.
Beruntung Rima sang calon pengantin wanita kerap mengalihkan perhatian Tiara. Wanita muda yang memiliki lesung Pipit di kedua sisi wajahnya itu terlihat bingung dengan konsep pernikahan yang diinginkannya, apalagi setelah melihat beberapa sampel yang ada di katalog.
“Waktu pernikahan Kamila dia pakai tema white garden party, kan?” Tanyanya untuk kesekian kali.
“Iya.” Jawab Tiara. “Ini contohnya.” Ia menunjuk ke arah sebuah foto, yang sempat diambilnya dari acara pernikahan Kamila Syahida.
“Bagus, tapi nggak mungkin kami memakai tema yang sama. Tapi aku juga ingin tema white garden party seperti ini. Menurutmu gimana, sayang?” Rima menoleh, meminta saran dari calon suaminya.
“Terserah kamu saja.” Jawabnya.
Jawaban yang sama, setiap kali Rima bertanya, singkat.
Tiara selalu menghindari untuk bertatapan dengannya, meski sesekali ia terpaksa menoleh dimana lelaki itu tengah menatap ke arahnya. Tatapan yang sulit diartikan, tapi Tiara tidak mau ambil pusing, mereka berdua sudah tidak memiliki hubungan apapun lagi, selain mantan. Mantan suami dan mantan istri.
“Jangan terserah dong,” Rima mulai merajuk. “Kamu juga harus ikut andil dalam pernikahan kita. Kelak akan menjadi pernikahan kita yang pertama dan terakhir.”
Tiara nyaris tertawa terbahak-bahak saat mendengarnya.
Pernikahan pertama?
Lelaki itu pernah menikah, meskipun pernikahan mereka tidak terdaftar di catatan negara, tapi mereka menikah sah secara agama.
“Terserah saja, aku ikut maumu.” Suaranya terdengar lembut, merayu sang kekasih agar tidak lagi merajuk. Suara yang sama persis yang diucapkannya saat membujuk untuk melakukan hubungan badan.
Sial! Tiara kembali teringat.
“Aku pilih ini, masih satu tema dengan Kamila, tapi aku ingin ada perbedaan yang membuat pesta pernikahan kami tidak sama persis. Mbak Tiara pasti tahu maksudnya, kan?”
Tiara mengangguk. “Saya akan usahakan.” Balasnya.
Bagi Tiara hal tersebut bukanlah kendala besar, ia sudah terbiasa dengan berbagai macam sikap klien, dari yang cerewet dan banyak menuntut, ada juga yang selalu mempercayakan semuanya pada tim WO dengan sedikit permintaan.
Rima termasuk dalam kategori tidak banyak menuntut tapi ia kerap menegaskan bahwa pernikahannya itu ingin berbeda dari yang lain.
“Kami akan menjadwalkan untuk pertemuan kedua, selain untuk membicarakan masalah gedung, catering dan juga susunan acara.” Jelasnya Tiara.
“Iya. Kabari kami untuk pertemuan kedua, kamu harus ikut ya, jangan ada alasan sibuk lagi.” Ia menoleh manja ke arah lelaki itu.
Pembahasan masalah pernikahan selesai dalam waktu kurang dua puluh menit, semuanya serba dipersingkat tanpa bertele-tele. Jujur saja Tiara ingin segera pergi dari tempat itu, menghirup bau harum parfum lelaki itu yang masih sama persis seperti dulu membuat kepalanya sakit.
“Kalau begitu, kami pamit. Terimakasih untuk waktunya, sampai bertemu di pertemuan berikutnya.” Untuk menghargai kliennya, tentu saja Tiara harus bersikap ramah. Totalitas dalam bekerja adalah nomor utama, mengenyampingkan ego yang nyaris membuatnya ingin menyumpahi lelaki di hadapannya itu.
“Terimakasih Rima dan Tuan Edo.”
Ia menyalami keduanya, terlihat jelas lelaki itu tidak suka saat Tiara menyebut namanya dengan embel-embel Tuan.
“Sama-sama Mbak Tiara.” Balas Rima, sementara lelaki itu tidak mengucapkan sepatah katapun. Lagipula apa yang bisa diharapkan darinya?
Bahkan saat Tiara hamil besar pun, lelaki itu memilih pergi meninggalkannya.
Brengsek!
Langkahnya semakin jauh meninggalkan cafe bersama Ajeng yang mencoba mengimbangi langkahnya.
“Mbak, kamu baik-baik aja, kan?” Tanya Ajeng dengan nada khawatir.
“Wajah Mbak Tiara pucet banget.”
“Aku pusing, Jeng.” Tiara mencari lokasi sepi, yang bisa digunakannya untuk menepi sebentar sebelum kembali ke mobil yang berada di area parkir. Tiara melihat tempat sepi dekat bak sampah, ia segera berlari kesana untuk menuntaskan rasa pusing dan mual yang kini menyerangnya.
“Mbak, kamu baik-baik aja?” Ajeng semakin khawatir, apalagi setelah melihat Tiara muntah-muntah.
“Mbak!” Ajeng berusaha menolong, tapi Tiara mengisyaratkan padanya untuk tidak mendekat.
“Tolong ambilkan minyak angin di mobil.” Dengan susah payah, Tiara memberikan kunci mobil dari dalam tas kecilnya.
“Tapi, Mbak.” Ajeng bingung, tidak mungkin meninggalkan Tiara dalam kondisi seperti itu.
“Tolong ambilkan, kepala saya pusing banget.”
Meskipun ragu, tapi akhirnya Ajeng menuruti keinginan Tiara. Ia bergegas pergi menuju mobil, untuk mengambil minyak angin.
“Mbak, minum dulu.” Kondisi Tiara sudah lebih baik, tapi wajahnya masih terlihat sangat pucat.
“Aku belikan teh hangat, minum dulu yang banyak.” Ajeng membantu Tiara minum, wanita itu terlihat begitu lemas.
“Kayaknya Mbak Tiara kebanyakan minum kopi, asam lambungnya naik.”
Tiara mengangguk saja. Ia memang memiliki riwayat asam lambung, tapi tidak terlalu parah.
Yang paling parah adalah kondisi kesehatan jiwanya yang masih belum pulih seperti sedia kala, meskipun sudah beberapa kali berkonsultasi ke psikiater. Nyatanya sakit itu masih sama. Membelenggunya dengan erat.
Dua hari berlalu, Tiara benar-benar hanya menghabiskan waktu di dalam kamar. Tiba-tiba saja ia diserang demam dan sakit kepala yang membuatnya tidak bisa beraktivitas dengan normal. Ia terpaksa cuti.
“Sudah mendingan?” Tanya Ibu, dengan tatapan khawatir.
“Sedikit,” balasnya, menghela lemah lantas mengambil secangkir teh panas dari tangan Ibu
“Aku baik-baik saja, Bu.” Tiara tahu ibunya begitu khawatir. Sebenarnya ia pun tidak ingin berada dalam kondisi lemah seperti saat ini, tapi ternyata tubuhnya tidak sekuat yang dibayangkan. Saat ia berusaha melupakannya dan yakin sudah melupakannya, ternyata saat kembali bertemu Tiara justru menjadi orang yang paling lemah.
“Ada apa?” Ibu meraih satu tangannya, menggenggam erat penuh kelembutan.
“Nggak apa-apa, mungkin karena akhir-akhir ini banyak pekerjaan. Aku hanya butuh istirahat saja.”
Tapi naluri ibu tidak akan bisa dibohongi. Bibir boleh berbicara bohong, tapi ekspresi dan sorot mata tidak akan pernah bisa berdusta.
“Kamu tidak akan seperti ini, kecuali karena satu hal.” Ibu menatap penuh arti.
“Bertemu seseorang yang sangat kamu hindari, benar bukan?”
Tiara ingin menggelengkan kepalanya, kembali menyangkal. Tapi sial, air matanya sudah terlebih dulu jatuh membasahi wajahnya.
Berbohong pun percuma, ibu pasti sudah tahu jawabannya.
“Dia kembali, Bu.” Lirihnya sambil terisak.
“Aku benci dia, sangat benci.” Tiara memukul dadanya, berharap bisa mengurangi sesak yang kian menghimpit.
“Aku nggak mau ketemu dia lagi, Bu. Nggak mau!” Tiara menggeleng, dimana Ibu pun langsung memeluknya dengan erat.
“Lepaskan, Nak. Kamu belum melepaskannya dan masih terus menyimpan dendam dalam hatimu. Itulah yang membuatmu terus sakit dan tersiksa seperti ini.”
Ibu mengusap punggung Tiara dengan lembut. “Kamu sudah berusaha sejauh ini dan berhasil hidup tanpanya. Jangan takut, tapi hadapi.”
Teori memang jauh lebih mudah dari prakteknya, Tiara pun sudah pernah melakukannya tapi gagal. Bahkan hari ini pun ia gagal, perjuangannya selama enam tahun gagal hanya dengan satu kali pertemuan. Lantas bagaimana dengan pertemuan selanjutnya?