Mual yang semakin menjadi, bahkan kini tubuhnya bergetar hebat menahan gejolak dalam perut yang ingin segera dikeluarkan. Tiara berjalan sempoyongan, membuka salah satu bilik kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya. Tidak banyak makanan yang berhasil dikonsumsinya, selain sibuk, juga karena ia tidak tertarik dengan makanan apapun padahal di acara pernikahan Cindy banyak sekali hidangan yang tersaji, dan terlihat sangat menggiurkan. Khusus untuk tim WO diperbolehkan menikmati hidangan yang tersedia, sayangnya Tiara tidak merasa tertarik sedikitpun.
Berulang kali ia memuntahkan isi perutnya hingga merasa lemas dan pusing. Nyaris saja ia terjatuh, jika seseorang tidak menahannya dari belakangnya.
“Kamu baik-baik saja?” Suara yang begitu familiar itu menusuk indra pendengaran. Tiara buru-buru menoleh untuk memastikan.
“Lepas! Aku baik-baik saja!” Ia menepis tangan lelaki itu yang tengah memegangi salah satu lengannya.
“Kamu sakit?” Tanyanya lagi.
Tiara tidak menggubris, ia berusaha mengendalikan tubuhnya dengan berpegang pada dinding.
“Laki-laki tidak diperbolehkan ada di bilik wanita.” Sindiran Tiara.
“Pergi, atau aku akan berteriak.” Ancamnya dengan tatapan penuh kebencian. Tapi lelaki itu tidak sedikitpun bergeming, ia menatap Tiara memperhatikan raut wajahnya yang terlihat pucat
“Kamu sakit, ada lambungnya naik.” Ucapnya.
“Buka urusanmu.”
Tiara hendak keluar dari bilik tersebut, namun mual kembali mendera. Ia kembali memuntahkan cairan pahit yang keluar dari mulutnya. Sepertinya sudah tidak ada lagi makanan di dalam lambungnya.
Melihat keadaan Tiara seperti itu tentu saja membuat Edo khawatir. Ia segera membantu dengan mengikat rambut Tiara yang terlihat berantakan ke dalam satu genggaman.
“Kamu harus diperiksa, jika dibiarkan seperti ini keadaannya bisa semakin berbahaya.”
“Nggak perlu, aku bisa urus diriku sendiri.” Tolak Tiara
“Aku Dokter,”
“Aku tau!” Tiara menatap tajam ke arah Edo. “Tapi bukan berarti aku bersedia diperiksa olehmu.”
Tiara segera mendorong tubuh Edo menjauh agar mereka tidak berada dalam satu ruang yang sempit, yang membuatnya merasa semakin pusing.
Penolakan yang dilakukan Tiara tidak lantas membuat Edo menyerah, lelaki itu kembali mengejarnya dan menahan satu tangannya
“Jangan anggap aku mantan suamimu, anggap aku sebagai dokter. Aku nggak mungkin membiarkan seseorang dalam keadaan sakit seperti ini, sebelum memeriksanya.”
“Jika pun aku sekarat, aku nggak akan mau ditolong olehmu!” Tegasnya dengan tatapan tajam.
“Ikut aku,” tapi Edo mengabaikan ucapan Tiara, meskipun wanita itu berusaha menolak tapi ia tetap berhasil menyeretnya ke area parkir dimana mobilnya berada.
“Masuk!” Edo membuka pintu mobilnya, mendorong paksa Tiara.
“Nggak! Kenapa kamu,”
Tapi tenaga lelaki itu terlalu kuat, ditambah dengan kondisi Tiara saat ini yang sudah mulai kehabisan tenaga, membuatnya tidak bisa berontak lebih banyak lagi.
“Kita akan ke rumah sakit, tolong tetap tenang.” Ucap lelaki itu saat keduanya sudah berada di dalam mobil.
“Apa kamu selalu memperlakukan wanita seburuk ini?” Sindir Tiara
“Tidak. Hanya padamu saja.”
Ia berdecak kesal. “Mungkin karena aku mudah sekali tertindas, sampai kamu merasa perlu melakukannya berulang kali padaku.”
Edo menoleh, menatap ke arah Tiara. Dalam kondisi sakit pun, wanita itu masih terlihat berusaha menunjukkan kebenciannya. Tidak perlu mencari tahu apa penyebabnya, Seba Edo tahu persis alasan mengapa Tiara begitu membencinya.
“Bencilah aku sesukamu, tapi aku akan tetap membawamu ke rumah sakit.” Tegasnya.
Selain tidak ingin kembali berdebat karena kondisinya yang semakin lemah, Tiara pun memilih diam. Menatap ke arah samping, menghindari tatapan Edo.
Tiba-tiba ingatannya kembali terlempar pada kejadian beberapa tahun lalu, saat Tiara hamil muda.
Saat itu,,,,,
“Apa selalu seperti ini?” Tanya Edo saat mendapati Tiara terkulai lemas di kamar mandi, setelah muntah-muntah.
“Iya.” Jawabnya dengan suara pelan akibat lemas.
“Sebentar, aku ambilkan minyak angin.”
Edo segera bergegas mencari minyak angin, untuk mengurangi rasa mual yang selalu dirasakan Tiara setiap pagi. Hamil muda dan mengalami morning sick yang sangat parah, terkadang Tiara tidak bisa makan apapun sebab ia selalu muntah setelahnya.
“Gimana? Lebih baik?” Tanyanya lagi, usai mengusapkan minyak di kening, dahi dan dekat hidung.
“Aku buatkan teh hangat, ayo bangun.” Edo menarik tangan Tiara secara perlahan, memapahnya sampai ke tempat tidur.
Saat ini keduanya tinggal di rumah sewa sebagai tempat tinggal setelah menikah. Keduanya sepakat untuk tidak tinggal di rumah salah satu keluarga, selain karena ingin belajar mandiri juga karena keluarga Edo tidak terlalu menerima kehadiran Tiara sebagai salah satu keluarganya. Restu belum di dapat sepenuhnya, yang membuat Tiara canggung dan merasa tidak diinginkan.
Alhasil keduanya sepakat untuk tinggal di rumah sewa saja.
Satu bulan pasca menikah, kondisi Tiara semakin memburuk. Ia kerap muntah setiap pagi yang membuat segala bentuk aktivitasnya terhalang. Sementara Edo, dia masih tetap melanjutkan pendidikannya dengan mendaftarkan diri di salah satu universitas ternama Jakarta. Ia kerap pulang malam, meninggalkan Tiara sendiri di rumah.
“Gulanya habis, belum beli lagi. Nggak apa-apa kan, nggak terlalu manis?”
Tiara mengangguk.
“Nanti aku minta uang Mamah, sekalian untuk bayar rumah kontrakan juga.” Meskipun tidak tinggal satu rumah, tapi kebutuhan keduanya masih ditanggung orang tua. Edo yang belum memiliki penghasilan karena masih kuliah, juga Tiara yang tidak bisa menghasilkan uang karena terhalang hamil muda.
Kehidupan yang serba pas, karena orang tua Edo tidak terlalu mementingkan kebutuhan Tiara, tapi untuk biaya pendidikan Edo, mereka sangat mengutamakan. Edo berasal dari keluarga yang sangat mampu, semua anggota keluarganya nyaris memiliki karir cemerlang. Entah sebagai seorang pengusaha, atau dokter. Tidak heran jika lelaki itu pun dituntut memiliki karir serupa, tapi sayangnya Edo harus menikah di usia muda akibat kelalaian yang mereka lakukan malam itu.
“Nggak apa-apa kan, kamu sendirian di rumah? Aku mau pulang dulu ambil uangnya.”
“Iya. Tapi, jangan lama-lama. Jangan nginep juga.”
“Iya. Aku akan kembali secepatnya, setelah ambil uang.”
Lelaki itu kerap berjanji, padahal banyak janji yang diingkari nya dengan atau tanpa disadari. Seperti hari itu, Edo tidak kembali dan memilih bermalam di kediaman orang tuanya. Bukan hanya satu malam, tapi tiga malam, meninggalkan Tiara dalam kondisi lemah.
****
Saat ini..
Nyeri dan sesak kembali datang, semakin memperparah kondisi lambung yang juga mulai protes akibat terlalu banyak mengkonsumsi minuman berkafein.
“Brengsekk.” Umpat Tiara, dengan suara pelan tapi diyakini Edo bisa mendengarnya.
“Tolong periksa dia,” Edo menarik tangan Tiara menuju ruang UGD, dimana ada beberapa perawat yang menatap bingung ke arah mereka berdua. Tiara yakin, rumah sakit tersebut merupakan tempat dimana lelaki sialan itu bekerja, terlihat dari beberapa orang yang langsung menyambut saat Edo datang
“Dia nggak mau diperiksa saya. Tolong dokter Ria untuk memeriksanya.”
“Baik, Dok.”
Perawatan itu segera menghubungi dokter Ria, sementara Tiara dan Edo masih menunggu tepat di depan ruang pendaftaran.
“Setelah ini, aku tidak mau terlibat apapun denganmu, termasuk mengurusi salah paham yang mungkin akan terjadi mengingat kamu sudah memiliki calon istri tapi membawa wanita lain ke rumah sakit.”
Sinis Tiara.
Edo menoleh. “Orang-orang disini tidak berpikiran sempit sepertimu. Kami mengutamakan keselamatan, bukan ada niat atau tujuan lain yang mungkin kamu tuduhkan padaku sekarang.” Balasnya dengan ekspresi tenang.
Tiara berdecak kesal, bisa-bisanya lelaki itu berdalih menyelamatkan padahal dia adalah satu-satunya orang yang telah membunuhnya beberapa tahun lalu.
Dokter Ria akhirnya tiba, membuat kelegaan dalam hari Tiara sebab ia tidak perlu diperiksa atau sampai bersentuhan dengan Edo.
“Sakitnya sudah lama tapi kamu mengabaikannya?” Tanya Dokter Ria.
“Bukan mengabaikan, tapi_”
“Sibuk?” Dokter Ria terkekeh.
“Kondisimu sudah cukup parah, tolong jaga pola makan dan jangan minum kopi. Aku yakin, kamu bisa menghabiskan lebih dari dua gelas kopi, kan?”
Tiara tidak bisa mengelak, selain mengangguk pasrah seperti anak kecil yang baru saja ketahuan berbohong.
“Ada lagi yang sakit?” Tanya Dokter Ria.
“Perut bagian bawah sering sakit dan punggung.” Tunjuk Tiara pada bagian-bagian tubuhnya yang terasa sakit.
“Baiklah, saya periksa dulu.” Dokter Ria memeriksa dengan telaten dan lembut, membuat Tiara merasa nyaman saat mengutarakan keluhannya.
“Baiklah, sudah selesai pemeriksaannya, setelah ini saya akan meresepkan obat. Diminum teratur dan ingat jaga pola makan dan jangan minum,”
“Kopi.” Balas Tiara cepat sambil tersenyum.
“Nah, itu pintar. Jangan sampai kalah pintar sama anaknya. Ngomong-ngomong berapa tahun usia anaknya?”
Usai memeriksa lokasi sakit yang kerap dirasakan Tiara, yakni bekas operasi Caesar beberapa tahun lalu, dokter Ria pun penasaran ingin tahu usia anak Tiara sebab dari penampilan luarnya, Tiara tidak terlihat seperti sudah punya anak..
“Lima tahun.”
“Wow sudah besar, ya?”
Tiara mengangguk.
“Saya hamil di usia yang masih sangat muda.” Balasnya dengan senyum.
“Nggak apa-apa, kamu Ibu yang hebat. Jadi, harus tetap jaga kesehatan ya?”
Keduanya keluar dari ruang yang semula di tutup kain, Tiara terkejut mendapati Edo masih berdiri di tempatnya tadi. Lelaki itu tidak pergi kemanapun.
“Nggak perlu cemas, temanmu asam lambungnya naik dan mengeluhkan sakit di luka bekas operasi Caesar nya. Mungkin karena pekerjaannya terlalu berat, hingga efek dari luka di perut dan anastesi di punggung kerap terasa nyeri.”
Jelas Dokter Ria pada Edo, sementara Tiara lebih memilih ke ruangan lain, dimana ia harus mengambil obat dan membayarnya.
“Apa, operasi Caesar?”
“Iya. Memangnya kamu nggak tahu temanmu itu sudah punya anak?”
Edo menggeleng.
“Ya ampun teman macam apa kamu,” sindir Ria.
“Berapa usia anaknya?”
“Katanya sih lima tahun,”
Detik berikutnya Edo langsung berlari mengejar Tiara, ingin memastikan sesuatu.