12. Keliru

1539 Kata
“Sinting!” Umpat Tiara, saat mengetahui Edo masih ada di depan sana, menunggunya. “Mbak mau pulang sekarang, atau gimana? Dokter Edo masih nungguin.” Ajeng yang memberitahunya, bahkan wanita itu pun terlibat khawatir dengan keputusan Tiara untuk tidak menemui Edo, sementara lelaki itu pun tetap bersikeras menunggu. Keduanya sama-sama keras kepala. “Mungkin lebih baik Mbak Tiara temui Dokter Edo dulu, sebentar. Mungkin ada hal penting yang mau dibicarakan.” Saran Ajeng. “Nggak ada hal penting yang perlu kami bicarakan, aku nggak mau ketemu dia selain urusan pekerjaan.” Kening Ajeng mengerut, jika bukan hal penting untuk apa lelaki itu masih saja menunggunya. “Baiklah. Kami mau pulang duluan, kalau Dokter Edo nanyain gimana? Mau aku jawab apa?” Karena sudah jam pulang kantor, karyawan lainnya termasuk Ajeng akan segera pulang. Sementara Tiara tidak terlihat tanda-tanda akan meninggalkan meja kerjanya. “Nggak usah bilang apapun. Bilang saja aku masih ada di dalam.” Balas Tiara. “Baiklah, kalau begitu kami pulang duluan Mbak.” Tiara mengangguk, “Silahkan.” Kini hanya tinggal dirinya sendiri dan dua orang security yang berjaga di bagian pintu gerbang dan belakang. Mereka memang ditugaskan untuk menjaga kantor selama dua puluh empat jam secara bergiliran dengan security lainnya. Madam mempekerjakan enam security, yang bekerja secara bergantian selama satu hari penuh. Hal tersebut dikarenakan banyak properti berharga di tempat itu, yang kerap mereka gunakan untuk acara-acara besar. Situasi kantor kini sepi, beberapa orang yang kerap terlihat berlalu lalang tidak terlihat lagi, bahkan beberapa lampu pun mulai dimatikan, menyisakan lampu menyala di ruang dimana Tiara berada. Lima belas menit berlalu, ia masih terjebak di dalam, sendiri. Tidak mungkin sembunyi lebih lama lagi, apalagi sampai membuatnya terkurung di tempat itu hanya karena menghindari Edo. Tidak bisa seperti ini terus, ia harus berani menghadapinya apapun yang terjadi. Tiara beranjak dari tempat duduknya, mengambil tas selempang dan kunci mobil, lantas berjalan menuju ke arah pintu keluar. Saat memegang gagang pintu, ia menghela lemah, menghirup banyak-banyak udara untuk mempersiapkan diri. Setelah merasa yakin, barulah ia benar-benar membuka pintu dan melangkah dengan berani Lelaki itu tidak ada. Tiara menghela lega, setelah memastikan lelaki itu tidak ada dimanapun, di sekitar kantor. Setelah memastikan lelaki itu benar-benar tidak ada, ia segera menuju area parkir khusus karyawan dimana mobilnya berada. Dua jam lebih, bukan waktu yang sebentar. Sangat lama untuk menunggu Tiara muncul, dan pastinya Edo merasa lelah hingga memutuskan untuk pulang. “Semoga nggak akan pernah datang lagi ke sini.” Gumamnya dengan suara pelan, berharap apa yang terjadi hari ini bisa membuat Edo enggan untuk menemuinya lagi. Namun, langkah Tiara tiba-tiba terhenti saat melihat tiga lelaki tengah duduk di tempat istirahat khusus security di bagian belakang. Dua diantaranya merupakan security yang bekerja di kantor, tapi satu lelaki yang tengah duduk memunggungi tempat Tiara berada, bukan karyawan atau security kantor. Tiara tidak mungkin salah mengenali, itu Edo. Ya ampun! Ternyata lelaki itu belum benar-benar pergi, bahkan ia terlihat tengah menikmati mie instan bersama dua petugas security. “Itu Bu Tiara.” Salah satu diantaranya menyadari kehadiran Tiara dan langsung menunjuk ke arahnya. Edo pun langsung menoleh, dengan mulut penuh mie instan. Lelaki itu tersenyum, tidak terlihat sedikit pun kekesalan di wajahnya. “Sudah pulang?” Tanyanya, seraya menghampiri Tiara dengan kap mie instan di tangannya. “Laper banget.” Edo mengangkat satu tangannya dimana kap mie instan itu berada. Tiara berdecak kesal. “Mau apa datang kesini? Jadwal pertemuan masih lama dan belum ada konfirmasi dari pihak pengantin.” “Aku datang bukan untuk membahas pernikahan, tapi-” “Kalau begitu, nggak ada alasan kamu boleh datang ke sini sesuka hati.” Tiara menunjukkan ketidaksukaan nya, melihat Edo berkeliaran di area tempat kerjanya. “Ada hal penting yang ingin aku tanyakan dan aku ingin tahu kepastiannya.” Edo menaruh kap mie dan air mineral di meja kecil, dekat pos security. “Boleh kita bicara di tempat lain? Nggak nyaman ngobrolin masalah serius seperti ini.” “Nggak ada yang serius, kalau mau bicara silakan. Aku mendengarkan.” Tiara tidak ingin memberikan ruang atau waktu khusus untuk lelaki itu. “Jika ingin bicara silahkan disini, kalau tidak mau terserah, aku mau pulang.” Edo menghela, tidak ada pilihan sebab Tiara pasti akan menolak ajakannya. “Baiklah, kalau kamu tetap bersikeras nggak mau cari tempat lain yang lebih nyaman. Disini saja.” Lelaki itu menatap serius ke arah Tiara, sementara Tiara memalingkan wajahnya enggan untuk bertatap muka. “Selama ini kamu baik-baik saja?” Pertanyaan itu terlontar dari bibir Edo, yang membuat Tiara menoleh dengan tatapan sinis. “Aku masih bisa bernafas sampai saat ini, Artinya aku masih baik-baik saja.” Jawabnya ketus. “Syukurlah.” “Kalau kamu berharap aku menderita dan mati, kamu salah besar! Aku nggak selemah itu!” “Tiara, aku nggak pernah berharap seperti itu. Sungguh.” Sorot mata lelaki itu jelas menunjukkan penyesalan, tapi Tiara tidak akan mudah luluh. Lelaki itu pernah mencampakkannya dengan alasan yang sangat tidak masuk akal . “Jadi, kedatangan kamu kesini hanya untuk menanyakan hal sepele seperti itu?!” Tiara menatap tajam. “Atau kamu takut rahasiamu terbongkar di depan calon istrimu? Ah,, aku ingat, Rima tidak tahu bahwa calon suaminya pernah menikah, kan?” Tiara tertawa mengejek. “Tenang, aku bukan tipe wanita pendendam. Apapun yang terjadi di masa lalu nggak akan aku ungkit lagi, selagi kamu tidak mencampuri kehidupanku, aku akan menganggap kita tidak pernah menikah dan rahasia itu akan terjaga dengan aman. Kecuali, orang lain yang memberitahunya. Itu di luar kendaliku, tapi aku sangat bisa dipercaya.” Edo tahu, kekecewaan yang dirasakan Tiara menumbuhkan kebencian yang mungkin semakin besar setiap harinya dalam hati Tiara. Itu hal wajar dan sebagai konsekuensi yang akan diterima karena ia telah menyakitinya. Tapi Edo tidak menyangka bahwa sosok Tiara yang selalu bersikap lembut kini berubah menjadi sosok yang begitu keras dan sulit diajak bicara. “Bukan itu. Aku nggak takut jika suatu hari nanti Rima tahu masalaluku. Aku dan masalalu nggak akan bisa dipisahkan, sudah menjadi satu paket yang harus Rima terima.” “Baguslah. Aku nggak perlu repot-repot untuk menjelaskan apalagi terlibat diantara kalian. Buang-buang waktu saja!” Edo melangkah lebih dekat. “Kamu berhasil melahirkan anak kita?” Poin utamanya itu, bukan tentang rencana pernikahan atau statusnya sebagai duda. Edo tidak peduli jika pada akhirnya Rima kecewa dengan statusnya saat ini, fakta bahwa ia pernah menikah tidak bisa di tutupi selamanya. Tapi, fakta ia adalah seorang ayah tentu harus di pertanggung jawabkan dan Edo siap untuk menebusnya sekarang. “Anak kita?” Tiara tertawa. “Anak yang kamu anggap cacat dan tidak layak lahir ke dunia ini lantas kamu dengan teganya meninggalkanku?!” “Tiara, aku tidak bermaksud seperti itu.” Edo mendekat, namun Tiara sudah terlebih dulu menghindar. “Jangan mendekat!” Tegasnya, agar masih ada jarak diantara keduanya . “Kamu berhasil melahirkan dan membesarkannya? Jawab jujur.” Edo berusaha untuk tidak mendesak, apalagi memaksa Tiara jujur, sebab wanita itu akan semakin menghindar dan mengelak. “Tidak!” Jawab Tiara. “Jika kedatangan kamu ke sini untuk mencari tau apakah aku berhasil melahirkan dan membesarkan anak itu, jawabannya tidak! Aku tidak pernah melahirkan anakmu!” Tegas Tiara. “Jangan pernah mengusik kehidupanku lagi, kita orang asing sekarang, jadi berhentilah bersikap baik padaku. Karena di mataku, kamu adalah lelaki paling jahat di dunia ini.” Tiara mundur perlahan. “Aku benci kamu! Jangan pernah muncul dihadapanku lagi!” Edo ingin mengejar, saat wanita itu perlahan mundur, menjauh dan masuk ke dalam mobilnya. Ia hanya bisa menatap dengan penuh penyesalan, saat mobil milik Tiara pergi menjauh, meninggalkannya sendiri dengan penyesalan yang semakin membesar dalam hati. Wanita itu berusaha mengelak, tapi tatapan penuh luka itu semakin membuktikan bahwa selama ini Tiara menahan sakitnya sendiri. Edo tidak butuh pengakuan atau kejujuran Tiara, ia sudah begitu yakin bahwa gadis kecil bernama Davina itu adalah putrinya. Buah hatinya yang dulu sempat dianggap cacat dan tidak berkembang dengan baik. Bodohnya saat itu, Edo justru meminta Tiara untuk menggugurkannya, sesuai saran dari keluarga dan juga dokter kandungan Tiara. **** Beberapa tahun lalu… “Janinnya tidak berkembang dengan baik.” Ucap seorang dokter dengan wajah sedihnya. “Apa? Nggak mungkin, dok. Pasti ada yang keliru, bisa periksa ulang?” Calon ibu muda itu terlihat terkejut sekaligus sedih. “Tolong periksa satu kali lagi, saya yakin pasti ada kesalahan.” . sayangnya dokter justru menggelengkan kepalanya, membuat hati si calon ibu semakin sakit. “Pemeriksaannya sudah benar, hasilnya akan tetap sama. Janin tidak berkembang, walaupun tetap dipertahankan dia akan terlahir cacat.” Hati si ibu semakin sakit, seperti dihantam batu besar. Sakit sekali. “Tidak ada pilihan lain, selain menggugurkannya. Tidak akan dianggap kriminal, jika kondisi janin benar-benar tidak bisa berkembang dengan baik sebab dipertahankan sampai lahir pun, dia akan cacat dan usianya tidak akan bertahan lama.” Dokter wanita itu menghampiri si ibu dan mengusap pundaknya secara perlahan. “Saya sangat menyesal, tapi kenyataannya memang seperti itu. Kamu masih sangat muda, jangan putus asa, masih ada kesempatan lainnya.” Tapi si ibu sudah terlanjur mencintai janin yang ada di dalam perutnya, meskipun belum pernah bertemu secara langsung, tapi cinta yang dirasakannya begitu besar. Keinginan untuk mempertahankan pun semakin besar, sebab ia percaya akan keajaiban yang mungkin saja terjadi padanya dan sang bayi, atau mungkin hanya kekeliruan manusia yang disengaja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN