PART 10 - PRAS VS NURUL.

1480 Kata
Matahari belum mencapai atas kepala, ketika Nurul dan Joya akhirnya sampai di sebuah gedung yang cukup tinggi. Entah berapa tingginya, Nurul tak menghitung, karena dia kemari memiliki misi khusus, bertemu si pemilik gedung, bukan untuk menghitung lantai gedung. Tapi, walau begitu terdengar mulutnya mendesis. "PT. ARIZONA SEJAHTERA." Sejahtera? Yakin? Kalau sejahtera gak mungkin istrinya merusak pernikahanku! "Benar ini kantornya, Joya?" tanya Nurul memastikan lagi pada sang asisten yang menganga karena melihat megah dan tingginya gedung di depan matanya. "Pantas orangnya saja ganteng abis, kantornya saja besar dan mewah begini." Sungguh berbeda suara yang keluar dari dua wanita beda kedudukan ini. Mendengar bisikan dari samping, Nurul menolehkan kepalanya secara perlahan. "Joya kamu dengar gak sih saya bertanya?" Mata Nurul mendelik tak suka. Apalagi melihat raut wajah Joya seperti orang kampung yang baru datang ke kota Jakarta, alias norak! Bukankah mereka sering keluar masuk gedung dan Mall! Kenapa melihat gedung begini saja aneh! "Eh iya Bu bos!" Joya mengerjap. Ia lupa kalau atasannya ini tengah gundah gulana. Jadi kalau ditanya, harus cepat menjawab! "Benar kok Bu bos. Sesuai yang ada di kartu nama kan?" Joya balik bertanya. Kan dia yang cari alamat, aku mana ngerti! Tapi karena dia atasan, ya sudah! Joya mengandung paham, bos selalu benar. Nurul mengangguk. "Oke, ayo kita masuk ke dalam," ajaknya dengan dagu terangkat. Mereka berdua berjalan menuju arah dalam gedung. Membaur bersama karyawan yang lainnya. Sementara di dalam gedung. Pras dan Anton baru saja memasuki lobby bersama sang asisten. "Bacakan lagi agendaku, Pras!" titah Pras sambil berjalan dengan sesekali mengangguk membalas sapaan para karyawannya. Sekalipun tampang Pras terkesan dingin melebihi dinginnya pendingin ruangan, tapi ia selalu membalas sapaan para karyawannya. Anton mengernyit. Sambil menggeleng, ia membuka ponselnya. "Kalau dihitung-hitung sudah lima kali saya ingatkan Pak Bos." Anton menghela napas. "Hari ini langsung ke lantai lima karena ada meeting dengan-" "Stop! Aku ingat!" Pras mengangkat telapak tangan yang sontak membungkam mulut sang asisten. Tadi nanya! Kalau ingat kenapa pakai nanya? Mereka melangkah dan tak lama keduanya sudah sampai di depan lift. Pras kembali melirik Anton. "Ck, ini lift sebelah sini masih belum diperbaiki juga?" keluh Pras sambil memasang raut wajah yang sangat kesal. "Rencana hari ini kok." Anton menjawab pasti. Padahal ia sudah menghubungi tim teknisi, tapi entah kenapa belum juga datang. "Dua hari yang lalu kamu juga bilang begitu." Pras berucap sambil melirik angka di lift yang masih berada di angka lima belas. Ck. Lama sekali! "Tumben bos inget," bisik Anton. "Ingatlah! Setiap hari aku harus antri mau naik ke lantai atas!" "Benar juga ya!" Anton menepuk kening. Beberapa karyawan menutup mulutnya dengan terpaksa, padahal ingin sekali tertawa. Mereka tahu atasannya ini tipe orang yang gak sabaran. Berhubung lift untuk direksi dan staff tertinggi rusak, jadilah Pras menunggu lift khusus karyawan. Bisa dipastikan ia harus antri! Menyusahkan saja. "Pastikan hari ini liftku benar Anton, kalau gak ....!" "Siap Pak bos, ini aku telepon segera." Anton menunjuk pada ponselnya. Bisa berabe kalau marah pasti gajinya yang menjadi taruhannya. "Hmmm." Lama juga ternyata! Anton mulai kesal, pasalnya ia harus ke suatu tempat. "Hmmm pak bos. Aku ke toilet bentar ya," bisik Anton dengan wajah meringis. "Ngapain?" Demi apa, bosnya ini nanya! "Mau cek pintu toilet! Ya mules lah bos." "Oh, ya sudah sana." Pras mengibaskan tangannya. Anton berbalik. "Eh Anton!" "Ada apa lagi?" Wajah Anton nyaris putus asa. Sejak tadi ia menahan mules di perut. Ini pasti karena tengah malam makan mie rebus pakai cabe lima butir. "Meeting di lantai?" "Lima!" Sambil berucap Anton memberikan tanda dengan kelima jarinya. "Oke, lima. Sip!" Pras membalas dengan acungan jempol. "Meeting di lantai lima." Pras bergumam. Ia menyesal membuat ruang meeting di setiap lantai. Jadinya dia yang pelupa kadang bingung di mana meeting dari hari senin hingga sabtu. Besok akan ia buat peraturan lagi terkait meeting di setiap lantai. Nurul dan Joya baru saja mencapai lobby. Mereka disambut oleh staff keamanan karena tidak mengenakan tanda pengenal khas karyawan sini. "Selamat pagi." "Selamat pagi Pak. Kami mau bertemu Pak Prasetya." Nurul tersenyum ramah. "Silahkan." Pintu kaca terbuka lebar. "Bu bos, kita tanya ke bagian receptionist ya," ajak Joya. Nurul mengangguk. Langkah keduanya pun terarah ke meja receptionist. "Selamat pagi Mbak." Nurul menyapa. "Selamat pagi." Seorang wanita yang mengenakan seragam cream dan rambut yang disanggul cantik membalas sapaan Nurul. "Saya mau bertemu dengan-" "Bu bos!" Nurul menoleh ketika lengannya ditarik Joya. "Itu orangnya yang ada di depan lift!" Nurul mengikuti gerak arah yang ditunjuk Joya. "Dia?" "Iya bener! Cepetan sebelum masuk ke dalam lift!" Tak menunggu lama, Nurul langsung berlari. Pasalnya lift yang sedang ditunggu orang itu terbuka lebar. "Tunggu!" teriak Nurul dengan suara menggema. Nyaris ia kehilangan orang yang ia tuju, andai ia tak tepat waktu. Baru selangkah orang yang ditunjuk Joya masuk ke dalam lift. Nurul sekuat tenaga menarik lengan orang itu hingga kembali keluar. Pras memang mendengar suara teriakan itu. Ia pikir itu adalah suara orang yang mau masuk ke dalam lift. Jadi dia pun cuek. Tapi ternyata yang terjadi selanjutnya membuat Pras ingin memaki habis-habisan. Pasalnya lengan Pras ditarik secara kencang hingga ia gagal masuk ke dalam lift dan pintu lift tertutup sempurna. Brengsek! Pras memaki dalam hati! Ingin murka pada orang yang dengan kurang ajarnya menahannya masuk ke dalam lift, hingga ia harus menunggu lift itu turun lagi dan dapat dipastikan ia akan telat hadir di meeting penting pagi ini. Kurang ajar sekali! Mulut Pras sudah berniat membuka dengan kata-kata makian, namun saat ia menoleh ke samping, suaranya menghilang. "Tunggu dulu!" Nurul berteriak lagi. Ya, lagi-lagi teriakan yang masuk ke gendang telinga Pras. Kening Pras melipat. Sejak kapan di kantornya diperbolehkan ada teriakan yang berasal dari salah satu karyawannya? Mata Pras memindai seorang wanita dengan napas ngos-ngosan berada di samping tubuhnya dan mencengkeram lengannya dengan erat. Pras berusaha mengingat dengan keras, karyawan di bagian mana wanita ini. Atau ... dia bukan salah satu dari karyawannya? Karena tidak ada tanda pengenal di depan tubuhnya. Atau dia tamu yang sedang ia tunggu? Opsi kedua tak mungkin. Seharusnya semua tamu sudah di lantai lima, karena ia terlambat. Kalau karyawannya pun tak mungkin! Karena kalau karyawannya, tak mungkin sekurang ajar itu berani mencengkeram erat lengannya seolah takut ditinggal! Lebih mirip seorang istri yang tak mengizinkan suaminya pergi untuk berperang! "Anda Prasetya Alfarizi?" tanya Nurul. Membuyarkan semua prasangka Pras. Dia tahu namaku? Siapa dia? Pras mencoba mengingat. Mata Pras mengarah ke lengannya yang masih saja dipegang wanita yang entah siapa namanya. Merasakan kemana tatapan lelaki di depannya, Nurul melepaskan cekalannya. Sungguh, ia tak sadar telah memegang begitu erat. Dan ia malu sekali. Tapi gak apa, Nurul menghela napas. Ini semua demi misinya. "Saya tanya, apakah anda yang bernama Prasetya Alfarizi?" tanya Nurul lagi sambil menatap lekat pada lelaki dengan jas warna abu dan dasi hitam ini. Dari pakaiannya sudah jelas mencerminkan ciri khas seorang pengusaha yang pastinya bukan orang sembarangan. Sekelumit mampir ke otak Nurul. Kalau dia orang kaya, kenapa Sekar lebih memilih si Lukman yang kekayaannya saja Nurul yakin di bawah lelaki ini. Setengah lega, Pras membetulkan pakaiannya yang seolah lecek karena perbuatan Nurul. Lebay! "Ya, saya Prasetya Alfarizi." Pras menjawab pertanyaan wanita di depannya dengan tatapan sedingin es batu. Nurul menghela napas lega. Seolah menemukan durian runtuh atau mungkin undian berhadiah tepatnya. "Kalau begitu anda harus ikut ke rumah saya sekarang juga!" Titah Nurul jelas membuat Pras mengernyitkan keningnya. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Pras balik bertanya. "Belum." Nurul menjawab pasti. "Apakah kita pernah terlibat cinta satu malam?" Pras mengigit lidahnya sesaat setelah bertanya. Jelas ia yakin, jika ia masih perjaka. Lantas mengapa mengajukan pertanyaan serendah itu? Mata Nurul membola. Ugh! Jadi dia lelaki model itu! Cinta satu malam? Jangan-jangan si Sekar itu istri satu malam dia! "Aku bukan wanita seperti yang kau katakan itu!" geram sudah Nurul jadinya. Bukan pertemuan pertama yang baik sepertinya. Gak istrinya! Gak suaminya! Kesan pertama menyebalkan sekali! "Kalau begitu, apakah kau salah satu mantan kekasihku yang kini tengah menuntut sebuah tanggung jawab?" Ah, Nurul hampir pingsan! Ya Tuhan! Lelaki model apa dia ini? "Bukan itu juga!" hardik Nurul kesal. Tidak adakah pertanyaan yang lainnya? Semua pertanyaannya abnormal! Pras kini memastikan dengan tatapannya yang kian menyelidik. Memindai Nurul dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Kita belum pernah bertemu sebelumnya, dan kamu bukan cinta satu malamku, juga bukan mantan kekasih hatiku, benar begitu?" Hah! Kekasih hati! Kayak yang punya saja! Pras memaki dalam hati. Nurul mengangguk-angguk. "Lalu untuk apa kau menyuruhku ke rumahmu! Kau tidak memintaku untuk menikah denganmu kan?" Sengaja Pras ajukan pertanyaan itu. Ia tak mau berurusan dengan wanita gila yang tiba-tiba mengaku hamil anaknya atau segala macam jebakan hanya karena menginginkan dirinya sebagai suami yang memiliki kesempurnaan. Tentu saja, kecuali satu wanita itu. Yang Pras lepaskan begitu saja, sesuai yang wanita itu mau! Kepala Nurul menggeleng keras. Nikah sama dia? No way! "Ini berkenaan dengan istrimu!" Seolah memiliki kekuatan, Nurul menjawab. "Istri?" Kening Pras semakin melipat. Maksudnya? "Ya, istrimu Sekar. Kau harus ke rumahku dan membawa istrimu keluar dari sana sekarang juga!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN