PART 3 - ISTRI YANG MENGENASKAN

1707 Kata
Ancaman Lukman sepertinya mengena. Nurul terpaku dan mematung. Matanya mengerjap dua kali. Dilempar keluar? Malam-malam begini? Bukan ia takut, tidak! Ia tak takut, tapi apa kata orang jika dia keluar di malam pertama pernikahannya? Mengenaskan sekali bukan? "Kalau kau masih mau tidur nyaman di rumah ini, sekarang juga kembali ke kamarmu!" Lukman sama sekali tidak memperlakukan Nurul layaknya istri, lebih tepat seperti atasan pada bawahan. Pintu itu tertutup lagi dengan begitu kencang, hingga membuat Nurul berjengkit kaget. Kali ini Nurul tetap tak bergerak. Telapak tangannya mencari dinding untuk pegangan agar ia tak jatuh pingsan. Air mata kian merebak. Telinganya bahkan mendengar tawa canda dari dalam kamar. Nurul sakit hati dan terhina luar dalam. Desisan syarat kesakitan terdengar dari bibirnya yang kian bergetar menahan tangis. "Ibu, kenapa nasibku selalu menderita?" Semua teman Nurul pernah bercerita, jika seorang wanita pasti menangis di malam pertama. Karena pengalaman pertama itu amat menyakitkan dan juga gerbang kebahagiaan. Tapi tangisan Nurul kali ini berbeda. Ia menangis karena sakit hati. Ia sungguh terhina sekali. Posisinya sebagai ratu di rumah ini sudah tercoreng oleh ulah suaminya sendiri. Menyedihkan sekali nasibnya ini. Apa kata kedua orang tuanya jika tahu putri mereka seperti ini hidupnya? Pagi menjelang. Nurul sudah bangun dari tidurnya dan kembali menangis. "Lukman b******k! Menyesal aku menikah denganmu!" Kimononya tampak tergeletak di lantai. Bukan karena dilepaskan ala-ala kisah malam pengantin layaknya di film, tapi karena ia lempar dengan kesal sekali. Tubuhnya masih membentang di ranjang dengan kasur nomer satu. Dengan posisi tengkurap. Layaknya huruf X. Ini adalah hari pertama statusnya menjadi seorang istri. Lingerie seksinya tidak berguna. Harum tubuhnya tidak dilirik sama sekali oleh Lukman. Keterlaluan! Masih merenungi nasib sialnya, telinganya mendengar ketukan di pintu. Nurul kembali menghapus air matanya. "Siapa?" tanyanya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. Ia yakin wajahnya pasti sembab karena menangisi nasibnya. "Aku, buka pintunya." Nurul mendengar suara suaminya. Ia berdecak. Memang siapa lagi yang tinggal di sini selain suami dan istri tuanya itu? Nurul menggeleng. Ia tidak pernah menghayal bakal jadi istri muda. Dan apakah nanti suaminya akan memberi jatah bergiliran? Nurul jijik membayangkannya. Ia tidak sudi tubuhnya disentuh oleh lelaki yang sudah menyentuh tubuh wanita lain. Hanya Nurul heran, apa kurangnya ia sebagai seorang wanita? Tubuhnya mulus tiada cela, dia pun tidak jelek dan tidak terlalu cantik. Duh, bingung kan menjabarkannya. Ya dibanding Joya, lebih cantik dia. Bahkan Joya sering dititipin salam oleh para customer, tapi sayang mereka sudah beristri. Nurul benci mereka. Benci lelaki yang ganjen dan menggoda wanita lain untuk dijadikan istri muda. Dan sialnya, kini ia menikah dengan lelaki yang sudah beristri. Dia menjadi istri muda. Pintu terbuka. Nurul memasang wajah kecut. Lukman menatap Nurul sekejap lalu memalingkan muka. Ia berdehem. "Sarapan dulu, supaya kamu gak sakit." Begitu saja, lelaki itu berbalik pergi. Nurul menutup pintu kamar, dan menyandarkan kening di pintu. Bahkan suaminya tidak tergiur sama sekali dengan tubuhnya. Nurul sengaja ingin memancingnya tadi. Mengenakan lingerie yang semalam ia pakai, tanpa mengenakan kimono luar. Tapi Lukman justru melempar pandangan. Ya Tuhan! Nurul, naas amat hidupmu. Tubuhmu mungkin tidak menarik bagi lelaki manapun. Menghembuskan napas, Nurul berbalik dan melepas lingerienya. Kekesalan memuncak, ia lempar begitu saja lingerie nya ke atas ranjang. Tak lupa memungut kimono satinnya yang tergeletak mengenaskan di lantai. Lalu dengan kesal, ia membuka lemari dan mencari daster! Nurul meringis. Ia sudah mirip ibu-ibu rumahan dengan daster kebesaran begini. Semakin meringis ketika memandang cermin. "Ini bukan wajah wanita yang baru menikah dalam sehari. Ini muka istri yang terzalimi." Mata bengkak, hidung merah dan kantong mata besar. Ia ingin menangis sekaligus ingin tertawa melihat penampakan di cermin. Sungguh menyeramkan sekali mukanya ini! Bisa tertawa Joya kalau tahu nasibnya seperti ini. "Cerita pengalaman malam pertama? Hah! Kalau saja aku bisa nekad, mungkin akan berakhir viral dengan judul berbeda. Pengalaman malam pertama pemilik butik Azizah berhasil dengan memotong-motong tubuh suaminya dan istri tuanya! Ya ampun Nurul-Nurul. Dari gadis sampai jadi bini orang, nasibmu sial terus. Apa aku harus mandi kembang tujuh rupa dan tujuh sumur ya? Tapi di Jakarta sini mana ada sumur? Mungkin ganti tujuh sungai atau tujuh comberan?" Setelah yakin bisa menguasai diri, Nurul keluar kamar. Ia menatap suami istri yang tengah suap-suapan sarapan pagi. Ya Tuhan, harusnya aku yang disana bersama Mas Lukman. Rasa tak rela masih saja menguasai hati Nurul. "Hmm." Nurul berdehem sekeras mungkin. Niatnya agar menyadarkan sepasang suami istri yang tidak tahu aturan ini, agar tahu diri. Ia di sini bukan penonton. "Nurul, makan." Setelah semalam lelaki ini tak peduli pada perasaannya, kini ia menjelma menjadi seorang suami yang khawatir akan istrinya. Bagus sekali! "Aku gak mau kamu sakit." Lukman melirik ke piring di depan Nurul. Nurul berdecak dalam hati. Tapi Lukman benar, ia tidak boleh sakit. Ia harus kuat, karena hidupnya ke depan butuh tenaga dan kekuatan hati. Nurul terlalu banyak mengkhayal hidupnya akan sempurna dengan menikah. Siapa sangka menikah hanya membuat batinnya makin tersiksa. Siapa bilang madu manis? Yang ia lihat madunya ini sepahit empedu! Nurul menatap sebungkus nasi uduk yang ada dihadapannya. "Itu nasi uduk langganan aku, enak kok." Menjawab tanya di kening Nurul, Lukman berkata. Ia kembali menyendok piringnya dan menyuap ke arah Sekar. Mereka makan saling tatap dan saling melempar senyum. "Kamu kenapa gak mulai makan? Mau aku suapi juga?" Menggeleng cepat, Nurul bergegas meraih sendok dan mulai makan. Amit-amit pake acara suap-suapan! Gak sekalian itu sendoknya suapi sampai kerongkongan, biar ketelan sekalian! Bagus kan jika sepasang suami istri terkapar di lantai karena saling suap-suapan sendok! Nurul hanya makan nasi uduk, tapi kenapa serasa menelan biji kedongdong! Berat dan susah sekali uduk ini ia telan. "Sekalian aku mau kasih tahu kamu sesuatu." Wajah Lukman tampak serius menoleh ke arah istri mudanya. Nurul langsung memasang aba-aba. Ia yakin ada hal tak mengenakkan kembali akan ia hadapi. "Mulai hari ini dan selamanya, Sekar akan tinggal di sini." "Uhuk!" Nurul tersedak butiran nasi yang ia makan. Bahkan satu butir nasi uduk itu keluar lewat lobang hidungnya. Ia berusaha menggapai gelas dengan tangannya, sambil menepuk d**a. Lukman yang kasihan menyerahkan gelas ke arah Nurul. Segelas air akhirnya mampu melegakan kerongkongannya. Nurul bernapas lega. "Apa kamu bilang Mas? Wanita ini akan tinggal bersama kita?" Nurul melotot tak percaya. Bahkan tidak peduli ketika ia memberi pelototan setajam silet pada wanita bernama Sekar. Bisa ditebak Sekar langsung ketakutan. "Wanita ini yang kamu sebut itu istri aku, Nurul. Satu-satunya wanita yang aku cintai." Nurul menggebrak meja. Sudah cukup Nurul melihat kemesraan sepasang suami istri yang tidak pada tempatnya ini. "Kalau kamu cinta dia, kenapa kamu nikahi aku Mas!" berang sudah Nurul jadinya. Sungguh ia membenci dijadikan boneka permainan seperti ini. "Sudah aku katakan alasannya bukan? Demi perusahaanku dan demi butikmu. Lupa kamu?" Nurul mengaduh ketika keningnya di sentil. Benar juga sih? Tapi kan gak gini juga. "Aku gak setuju!" Nurul bangkit berdiri dengan hidung kembang kempis. Ia akan menunjukkan jika ia tidak bisa ditindas. Iya bukan wanita yang lemah. "Eh, gak setuju kenapa?" Lukman menatap aneh pada istri mudanya. Tak percaya jika istri mudanya ini berani membentaknya. "Aku gak mau seatap dengan dia!" Jari telunjuk Nurul terarah ke Sekar. "Terus?" Lukman bertanya santai. Ia bahkan bersandar sambil memandang Nurul dengan tatapan miris. "Ya kamu suruh dia keluar dong! Aku satu-satunya ratu di rumah ini! Bukan dia!" Lukman terkekeh. "Siapa kamu berani memutuskan siapa yang harus keluar dari rumah ini?" Nurul meneguk ludahnya. "Kamu lupa ini rumah siapa?" Pertanyaan Lukman seolah mengingatkan Nurul akan statusnya di rumah ini. Ah sial! Kenapa aku lupa, inikan rumah suamiku. Ya tapi gak juga harus sepondok dua cinta. Eh gak ya! Aku gak cinta sama lelaki b******k ini, aku cuma gak ikhlas dan gak rela ditipu mentah-mentah begini. Melihat Nurul yang tak bisa berbuat apa-apa, Lukman kembali bicara. "Jadi Nurul! Persiapkan dirimu untuk bertemu dengan Sekar di rumah ini. Paling tidak sampai tujuh bulan pernikahan kita. Ingat jangan macam-macam, atau ...." Mata Nurul mendelik, menunggu ucapan Lukman yang tertahan. "Kamu akan kehilangan butik kamu untuk selamanya." Sial, lelaki ini tahu kelemahanku. Lukman meraih telapak tangan Sekar dan mengajaknya bangun. Dengan mata menyipit, Nurul melirik mereka yang melangkah ke dalam kamar. Matanya horror. Astaga mereka mau begituan lagi? Gak ada bosennya gitu? Tiba-tiba Nurul merasa iri. Bukan karena ingin bersama Lukman, tidak! Ia sudah tidak berminat menjadi istri lelaki itu. Ia hanya muak, muak pada semua mimpinya yang hancur lebur, dan kini ia sendiri di meja makan dengan setengah nasi uduk yang seakan menertawakan nasibnya. Gak pacaran, gak jadi istri, kapan sih aku bahagia? Tubuh Nurul menegang ketika sayup-sayup mendengar gelak tawa dari dalam kamar. Hanya tawa, bukan desahan. Tapi membuat darah Nurul mendidih. Dengan kesal ia raih gelas dan ia banting sekeras-kerasnya. Napasnya turun naik emosi. Lubang hidungnya bahkan kembang kempis. Berhasil, pintu kamar terbuka. Kali ini tidak hanya Lukman yang keluar dengan d**a telanjang. Sekar istrinya keluar dengan tubuh terbalut lingerie. Ternyata Nurul mengganggu kegiatan mereka. Memang itu tujuannya. Ya Tuhan, ingin sekali aku lempar muka mereka dengan gelas dan piring ini. "Kenapa Nurul?" Lukman bertanya tanpa dosa. Lelaki itu melirik lantai di mana terdapat pecahan gelas dan piring karena perbuatan Nurul. "Gak apa, cuma kesenggol sedikit gelasnya." Nurul bangkit, berusaha mengangkat wajah dari sisa-sisa kekalahannya. "Kamu bereskan pecahan itu dong, itukan ulahmu!" Lukman bertolak pinggang. Ia kesal karena bunyi nyaring ini mengganggu aktivitasnya bersama istri tercinta. Dan ini semua karena ulah istri mudanya. Langkah Nurul yang hendak meraih gagang pintu berhenti, menoleh perlahan demi menampilkan senyuman miring. "Maaf, jariku biasa untuk melukis bukan untuk membereskan pecahan kaca." Lalu Nurul membanting pintu kamarnya. Puas sudah ia mengganggu Lukman dan istrinya. Tapi sesaat ia tersenyum miris. Kini pasti mereka melakukannya lagi. Argh sial sekali hidupku. Ia mondar-mandir di dalam kamarnya. Ada yang aneh, sejak semalam ada yang mengganggu pikirannya. Ia seperti pernah melihat Sekar tapi dimana? Nurul meremas rambutnya. "Ayo Nurul berpikir, kamu pasti ingat." Di butik? Ya, dimana lagi kalau bukan di butik. Ia yakin pernah bertemu wanita itu di butik. Nurul bukan wanita yang suka hangout keluar seperti ke Mall atau café. Ia lebih sering menggambar menyalurkan hobby dan mencari ide baru untuk rancangan terbaru butiknya. Jadi, jika memang ia merasa pernah bertemu wanita itu, pasti hanya dibutik. Dan jika dibutik, berarti wanita bernama Sekar itu pernah memesan gaun kebaya untuk akad nikah. Terus bagaimana bisa Sekar menjadi istri Lukman? Nurul harus mencari tahu siapa Sekar dan bagaimana wanita itu tiba-tiba merebut Lukman darinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN