Butik Azizah buka dari jam sembilan pagi sampai jam empat sore. kecuali kalau sedang ramai pengunjung dan banyak pesanan. Nurul sering memberlakukan jam lembur dengan bayaran seimbang. Ia bukan atasan yang suka semaunya.
Ketika ia tiba di butik ini, suasana tampak sepi. Mungkin karena sudah lewat siang hari.
Di dalam butik, Joya tampak berdendang sambil meneliti kebaya yang ia pasang di manekin. Keluaran terbaru sudah jadi. Tinggal ia posting di media social dan duduk manis depan laptop, pasti akan banyak pertanyaan datang dan itu berarti pesanan siap meluncur. Ah enaknya kerja bareng sahabat. Gak perlu jaim, bisa gosip siapa aja.
Dari mulai klien dan customer yang ganteng ampe yang merasa ganteng.
Benar ya, orang ganteng dan merasa ganteng itu beda tipis. Seperti uang sepuluh ribu dan seratus ribu, cuma beda nol saja satu. Itu beda tipis kan?
Senyum Joya berhenti dan matanya melotot demi melihat siapa yang datang.
"Ibu bos?" Joyo terpekik. Meninggalkan manekin yang semula ia tatap dengan wajah puas, melebihi tatapannya pada lelaki incaran Joya.
"Ya ampun ibu bos bisa jalan?"
Dari sekian pertanyaan, kalimat itu yang keluar dari mulut Joya.
Mungkin Nurul bisa dibilang anugerah sekaligus musibah jika mengatakan memiliki asisten bernama Joya. Karena selain kepo, Joya ini rewel, cerewet dan sedikit aneh?
Kadang Joya gak bisa membedakan antara bos dan supir. Semua yang pake jas dan safari dia bilang bos, padahal supir-supir orang kaya itu sekarang pakai safari. Nurul harus tahan-tahan muka jika pergi dengan Joya. Mereka kerap adu argument hanya untuk menentukan apakah lelaki yang mereka temui ini supir atau bos?
"Apa sih?" Nurul menepis tangan sahabatnya.
"Benaran jalannya normal?" tanya Joya lagi sambil melirik ke arah Nurul.
"Kamu kira aku korban kecelakaan apa?" Nurul menjawab sengit.
"Ya ampun habis malam pertama lho ini." Joya bertolak pinggang.
Nurul mengerjap. Sial, kenapa sih dia diingatkan lagi soal itu!
Joya menyelidik.
"Malam pertamanya ketunda ya?" Selidik Joya dengan mata menyipit.
"Joya," lirih Nurul denga mata memohon untuk tidak membahas hal menyedihkan itu. Tapi sayang, Joya juga sedikit lemot.
"Kecapean ya." Joya menebak sebisanya dengan menjentikkan jarinya.
"Joya please." Mata Nurul sudah memberikan isyarat memohon dan nyaris mulai berkaca.
"Ya ampun, gak berhasil?" pekik Joya sambil merangkum pipinya.
"Joya! Please stop!!" Terpaksa Nurul teriak.
Joya mengedip sekali. Kok ada yang aneh ya?
Ia bingung. Raut wajah atasannya ini bak orang teraniaya dan-
"Aku ... aku ...." Dengan terbata seperti menahan beban berat di d**a, Nurul menggeleng.
"Ya, kenapa?" Wajah Joya penuh penasaran yang akutnya parah.
"Aku mau nangis."
Lalu tiba-tiba Nurul memeluk Joya.
Terisak hingga bahu Joya ikutan berguncang.
"Lho-lho bu bos."
Joya berusaha melerai pelukan tapi Nurul justru memeluk semakin kencang.
"Bentar Joya, aku butuh bahu buat nangis," isak Nurul.
Mengangguk tanda mengalah justru Joya mengetatkan pelukan.
Seumur hidup, Joya jarang melihat atasan sekaligus sahabatnya ini menangis sampai terisak.
Dulu pernah sih, ketika diselingkuhi. Dulu ya.
Terus pernah juga pas dikhianati. Dulu juga ya.
Eh tapi, Joya mengerjap.
Jangan bilang kalau sekarang sama?
Ya Tuhan siapa selingkuhi siapa? Joya bingung. Perasaan kemarin dia melihat senyum Nurul melebihi cerahnya sang mentari, kini kenapa berubah datang mendung dan hujan yang deras sekali. Joya yakin bajunya akan basah terkena air mata atasannya. Tangisannya ini sangat memilukan.
"Bu Bos itu habis menikah kan? Bukan habis dari pemakaman?" Joya menggigit bibirnya. Ia takut salah bicara.
Joya meringis ketika pelukan itu terurai. Ia melihat Nurul masih saja menghapus air matanya dengan tissue. Bukan hanya satu tisue, lebih dari dua tisue bahkan!
Joya bergegas menuntun Nurul untuk duduk di kursi kebesarannya.
"Bu bos duduk dulu ya. Sebentar aku kembali."
Melesat menuju pantri. Joya bergegas membuat teh manis hangat.
Tak lama, ia kembali dengan membawa secangkir teh manis.
"Minum bu bos."
Dengan perlahan Joya meletakkan di atas meja Nurul.
"Ini teh manis kan?" tanya Nurul lagi sambil memandang cangkir di hadapannya.
"Iya, spesial buat bu bos he he he. Bu bos kan habis nangis. Takut kena dehidrasi."
"Beneran manis ya? Aku gak mau pahit. Hidupku sudah pahit, Joya."
"Beneran manis kok Bu Bos. Yakin! Kalau kurang manis tinggal lihat muka Joya saja."
Nurul mendengus. Tambah pahit yang ada!
Sejak pagi Joya tidak membereskan ruangan ini, karena ia pikir Nurul gak akan datang dalam waktu beberapa hari, karena menikmati hari-hari menjadi nyonya Lukman.
Kini, yang ia lihat sungguh jauh dari yang bayangkan.
Nurul menyeruput sedikit demi sedikit air di cangkir.
Menghembuskan napas demi menguar rasa sesak di dalam d**a.
"Jadi, apa yang terjadi?" Joya mendadak penasaran.
Bagaimana tidak, alih-alih berita bahagia yang dibawa pengantin, malah air mata yang tak tanggung-tanggung membanjiri wajah yang kemarin tampak cantik karena menjadi ratu sehari.
"Mas Lukman, ternyata laki-laki yang brengsek."
Setelah membersit hidungnya, Nurul mulai bercerita. Tetap saja matanya berkaca.
"Hah, yang benar?" Joya memperbaiki duduknya.
"Dia jadikan aku istri keduanya. Aku dimadu dihari pertamaku jadi istri dia. Eh bener gak sih?Aku dimadu kan namanya?"
"Astaga!" Joya hampir terlonjak.
"Et tunggu! Bu Bos aku bingung, sumpah!"
"Ini kan kemarin bu bos nikah?"
"Hmmm." Nurul mengangguk.
"Terus resepsi gede-gedean."
"Iya," isak Nurul sambil menghapus air mata yang kembali turun.
"Pas malam aku pamit pulang, bu bos masih cantik berseri dan senyum-senyum kan."
"Kamu benar."
Nurul mengangguk.
"Lalu? Apa yang terjadi."
"Aku pulang ke rumah. Aku mandi dan beredam dengan wangi aroma yang kamu beli di online tuh."
"Terus?"
"Aku sejam berendam lah ya kira-kira." Nurul berusaha mengerjapkan matanya menghalau air mata yang kembali turun.
Joya mengangguk lagi semakin tegang.
"Sudah mandi aku semprot parfum ke kanan dan kiri di leher aku sebelah sini nih, seperti yang kamu ajarkan."
Nurul bahkan menunjuk lehernya.
"Aku juga pakai lingerie yang aku buat khusus untuk malam pertama aku."
"Terus?" Ingatkan Joya untuk menghitung berapa kali dia menyebut kata tanya terus hari ini.
"Aku tunggu dia pulang dan dia pulang." Senyum Nurul menyedihkan sekali.
"Tapi ... dia pulang gak sendiri."
"Dia pulang bawa wanita lain dan taraaa, dia memperkenalkan wanita itu sebagai istri pertama dan aku istri kedua."
"Ya Tuhan."
Joya menggeleng ngeri.
"Kamu tahu apa yang lebih menyakitkan?"
"Apa?" Sungguh, Joya tak tega mendengarnya.
"Mereka yang malam pertama dan bukan aku." Air mata Nurul kembali banjir.
Andaikan Joya yang jadi Nurul, mungkin ia sudah mengamuk.
"Kenapa bu bos gak keluar malam itu juga?" Perasaan baru kali ini Joya mendengar kasus seaneh ini. Eh, bukan aneh, tapi lebih tepat mengenaskan!
"Keluar? Apa kata orang Joya! Di hari pertama jadi istri si Lukman gila itu, aku keluar rumah? Oh astaga, aku beneran pengen banget cincang tubuh mereka."
Tatapan Nurul yang semula menyedihkan kini berubah seram.
"Mereka ... mereka permainkan aku kan Joya, astaga! Mereka pikir siapa mereka. Mereka pikir aku iri gitu?"
"Jadi bu bos gak iri?"
Nurul mengedip.
"Ya iri sih."
Ya salam! Joya menepuk kening.
"Eh tapi bukan aku ngarep sama si Lukman ya, bukan! Mulai hari ini, jam ini, menit ini dan detik ini, aku bersumpah, aku haramkan tubuh aku dijamah si Lukman."
"Memang Pak Lukman minta jatah sama bu bos?"
"Ya gak sih." Bahu Nurul merosot.
Boleh gak sih Joya bilang sama bu bos, gak usah bersumpah.
Oke, berhubung Joya sahabat sekaligus karyawan yang baik hati, ia tetap harus memberi semangat sama atasannya ini.
Kadang Joya bingung. Bosnya ini cantik, walau kalau ia akui dibanding Sandrina Michelle jauh lebih cantikan Sandrina kemana-mana. Wajar sih doi kan artis Indo Jawa Amerika. Nah bosnya ini asli keturunan pulau jawa, tak ada darah bule-bulean. Tinggi juga kalau dibanding Luna Maya, bosnya ini kalah jauh. Tapi walau begitu kan, bukan alasan dia diperlakukan seperti ini sama lelaki bernama Lukman itu.
"Anggap itu semua cobaan bu bos. Paling tidak, petik hikmahnya." Nasehat Joya sambil mengusap bahu Nurul.
"Hikmah apaan sih? Mana ada aku petik hikmahnya."
"Maksud aku, walau Pak Lukman eror, kan berkat dia, bu bos bisa jadi ratu sehari. Kemarin kan bu bos sempat bahagia kan naik pelaminan. Paling tidak dimata agama dan negara bu bos itu sudah menikah. Jadi kan gak diuber-uber lagi kapan nikah sama siapapun juga."
Benar juga sih!
Tiba-tiba Nurul ingat sesuatu, yang membuat ia datang ke butik ini.
"Joya, kamu simpan semua foto dan data diri orang yang belanja di butik kita ini kan?"
Joya mengangguk.
"Kamu bantu aku sekarang juga," titah Nurul
"Bu bos mau apa? Mau aku bantu labrak istri tuanya Pak Lukman?" Mata Joya melotot.
"Bukan itu. Aku seperti pernah melihat dia di butik ini tapi aku lupa."
"Maksudnya?"
"Aku yakin dia pernah beli baju kebaya di butik ini."
"Itu artinya?" Alis Joya naik satu.
"Kalau dia pernah beli baju kebaya di sini, berarti dia sudah pernah menikah." Nurul menyipit dengan lobang hidung yang kembang kempis.
"Kalau dia sudah menikah, kenapa dia menjadi istri tua Pak Lukman?" Sungguh Joya bingung.
"Itu yang mau aku cari tahu. Bisa kamu cari data-data atas nama Sekar, enam bulan lalu. Aku ingat saat itu aku sibuk bolak-balik ke luar kota demi mengikuti seminar. Jadi hanya bulan itu kamu kasih aku liat foto yang pesan baju. Aku yakin pernah melihatnya di butik ini. Entah hanya sekelebatan atau sekedar melihat foto."
Joya bangkit dari duduknya.
"Oke Bu Bos, aku akan cari."
Joya berdiri dengan semangat empat lima.
"Aku akan ke ruang arsip sekarang juga."
Nurul menatap asistennya yang langsung mengerjakan apa yang ia perintahkan. Nurul yakin ada yang aneh di sini, dan ia harus mencari tahu.
"Aku akan cari tahu siapa kamu sebenarnya Sekar."