"Aku akan bantu bu bos. Tenang saja. Bu Bos duduk manis dulu sambil menenangkan pikiran, biar aku yang cari semua data yang bu bos mau. Oke." Joya menepuk bahu Nurul.
Joya selalu menjadi penolong bagi Nurul. Tak aneh Nurul menjadikan dia sekretaris sekaligus asisten terbaik.
"Thanx Joya. Kamu memang sahabat sejati." Nurul menghembuskan napas lega.
"Sama-sama Bu bos. Jangan cuma ucapan makasih doang, dong. Joya terima dalam bentuk transferan."
Joya mengulum senyum. Hanya sesaat karena mata Nurul mendelik.
"Bercanda bu bos," ucap Joya meralat ucapannya.
Hadeh Bu bos kalau marah serem.
"Udah ah Joya cari dulu ya berkasnya."
Lalu Joya keluar ruangan menuju ruang arsip, meninggalkan Nurul yang menunduk lemas.
Nurul memijat pelipisnya yang semakin berdenyut. Dulu ia sering mendengar cerita dari ibunya ketika dirinya masih kecil. Tentang sebuah keluarga yang harmonis. Sayang, sang ibu meninggal di saat ia belum bahagia.
Memilih untuk mandiri, karena Nurul yakin ke depan akan banyak masalah menerpa. Dan ia harus menyediakan semua sendiri. Sudah cukup asmaranya berakhir dengan sad ending. Hingga ia menurut diminta menikah dengan Lukman.
Nyatanya lelaki itu hanya bisa membuatnya bahagia kurang dari dua puluh empat jam. Tahu gitu ia tak akan menerima lamaran dari pihak keluarga Lukman.
Sudah sepuluh menit Nurul ditinggal sendiri. Hembusan angin yang keluar dari pendingin udara membuat Nurul terlena. Ia yang awalnya memejamkan mata demi menguar rasa pusing, lama-lama kebablasan.
Sementara Joya sibuk membongkar lemari mencari data enam bulan lalu. Butik Nurul ini berlantai dua. Ruangan Nurul berada di lantai bawah, sedang ruang arsip ada di lantai atas, berserta dapur dan ruang istirahat Nurul.
Beberapa karyawan ada yang tidur di dalam ruko jika sedang diuber pesanan.
Nurul memang masih menyewa ruko ini. Ia lebih menyukai menanamkan modal pada bahan baku daripada untuk membeli tempat usaha.Ia pikir menjadi istri Lukman bisa membuat lelaki itu membantunya membeli ruko ini, tapi kini ia ragu.
Belum lagi ayahnya yang mengancam akan mengambil alih usaha ini, jika Nurul tak jua menikah.
Sebenarnya Nurul ragu ayahnya mengancam seperti itu. Bisa jadi karena ia tak mau menikah. Ya sudahlah, paling tidak ia sudah berusaha.
Mengikuti maunya sang Ayah.
Enam bulan waktu yang singkat bukan? Ia pasti bisa melaluinya. Itu menurut Nurul.
"Ah ini dia." Sebuah map berhasil Joya keluarkan dengan mudah.
"Oke kita cari yang namanya Sekar."
Joya membuka perlahan-lahan data di dalam map. Map itu memang diletakkan berdasarkan bulan, jadi Joya mudah menemukannya. Hingga pada map yang ia cari, matanya membola.
"Astaga, dia yang datang bersama ... oh gak salah?" Mata Joya melotot.
"Bu bos harus tahu ini."
Joya segera membawa map yang ia pegang dan keluar dari ruangan, menuju ruang Nurul.
Ketika membuka pintu, ia menganga.
Pasalnya menemukan kepala Nurul lunglai di kursi. Nurul terlelap.
"Lah bu bos tidur. Kasihan amat ya." Dengan garuk kepala Joya meletakkan begitu saja map di atas meja.
Memandang dengan miris wanita yang kemarin menjadi pengantin. Padahal Joya masih ingat senyum atasannya kemarin. Tampak bahagia.
"Begini amat sih nasib bu bos. Gak beda jauh ama aku. Sama-sama jomblo."
Joya menghela napas.
"Sebaiknya aku ke mini market deh. Cemilan di lemari bu bos kan habis. Pasti dia kelabakan cari cemilan kalau habis."
Lalu Joya keluar dari ruangan atasannya.
Kira-kira lima belas menit Joya pergi, kepala Nurul terantuk.
Lalu ia mengerjap.
"Lho kok aku ketiduran sih?"
Membenarkan letak duduknya, Nurul memandang sekeliling ruangan. Memastikan ia sendiri di sini.
"Joya kemana ya?"
Ia meraih kembali cangkir di atas meja dan baru sadar ada map yang tergeletak.
Sepertinya ini dari Joya.
"Lho inikan data enam bulan yang lalu."
Baru saja Nurul akan membuka map, pintu terbuka dari luar.
"Lho Bu Bos sudah bangun?" Joya masuk sambil membawa bungkusan.
"Kamu dari mana?" Nurul mengucek matanya.
"Aku beli cemilan buat bu bos."
Joya memperlihatkan plastic berisi cemilan aneka rupa.
"Ini barangkali ibu bos perlu ngopi."
Tak lupa kopi kemasan Joya keluarkan pula.
"Berhubung bu bos sedang mode panas, aku belikan kopi yang dingin-dingin."
"Thanx."
Nurul menerima kopi kemasan dalam botol dan mulai menenggaknya.
"Bu bos gak bisa tidur semalam? Kok tumben ngantuk?"
Joya bersandar di kursi menatap Nurul.
"Menurutmu aku bisa tidur setelah semua yang terjadi? Inginnya sih aku ngamuk."
Meringis ketika membayangkan menjadi Nurul.
Ya iyalah, pasti semua juga gitu. Malam pertama malah dikasih madu bermakna empedu.
"Terus, data yang aku minta?"
"Itu." Joya menunjuk map yang dipegang Nurul.
Nurul meletakkan kopinya dan kembali membuka map.
"Bu bos inget gak, yang kubilang kita kedatangan tamu yang gantengnya ya ampun paripurna banget."
Nurul mengangkat satu alisnya.
"Yang bikin heboh butik?"
Jelas Nurul ingat. Sepulang dari luar kota, tak henti Joya bercerita klien mereka yang memesan sepasang baju akad nikah. Yang laki-laki tampan luar biasa.
"Iya, benar."
"Terus?"
Nurul membuka lembaran map hingga di tengah.
Matanya melotot.
"Ini ...." Nurul menatap Joya.
"Ini dia wanita yang Mas Lukman bilang istrinya, Joya. Serius dia beli kebaya di butik aku?"
Tatapan horror Nurul alamatkan pada bawahannya.
Joya ikut melihat.
Foto seorang wanita dengan baju akad yang memang pesan dari sini, dan Joya langsung yang menangani karena Nurul sibuk saat itu.
"Nah ini kan yang aku bilang bu bos. Dia itu calon suaminya yang aku bilang tampannya itu paripurna sekali."
Nurul mengerjap.
"Serius kamu? Ini ... itu istri Mas Lukman yang pertama Joya."
"Lah kok bisa?" Joya menganga.
"Suaminya itu, ya ampun lebih ganteng dari Pak Lukman kok bu bos."
Nurul menyangga dagunya.
"Kalau suaminya lebih ganteng dari Mas Lukman, kenapa dia pisah? Gak mungkin wanita itu punya dua suamikan?"
Mata Joya melotot.
"Mungkin gak suaminya guy?" tanya Joya iseng.
"Ck, jangan asal nuduh kamu."
"Lah abis kenapa bu bos? Asli lho saya aja ngiler lihat penampakan suaminya. Coba, ada gak sih fotonya di situ."
Joya meraih map yang Nurul pegang. Membolak-balik lembaran kertas yang ia simpan rapi
"Gak ada ya bu bos."
"Kenapa kamu gak foto? Biasa kan yang pesan baju semua di foto."
Seakan menyalahkan atas keteledoran karyawannya.
"Waktu itukan repot banget bu bos, mana itu laki gak mau lagi di suruh berdiri bareng buat di foto saja. Tapi asli ya bu bos. Kalau itu si Sekar lebih milih Pak Lukman daripada lakinya, aku bingung!"
"Siapa tahu suaminya b******k, makanya mereka pisah. Lukman yang menurut kamu lebih jelek dari lakinya aja b******k, apa lagi lakinya!"
"Ih aku gak bilang Pak Lukman jelek kok," protes Joya.
Repot kalau di dengar si pemilik wajah.
Ya kali dia hina suami atasannya ini.
"Kan kamu bilang lebih ganteng calon suaminya."
"Lebih ganteng bu bos. Bukan bilang Pak Lukman jelek."
"Buat aku dia jelek!"
Joya menganga.
Kalau jelek, kok Bu bos mau jadi istri Pak Lukman sih!
"Sudah aku ambil data yang ini." Nurul bangkit setelah menghabiskan kopi kemasan yang di tangan.
"Sekalian kamu cek CCTV kali saja aku menemukan seperti apa mukanya suami pertama si Sekar. Bisa gak kamu dapatkan alamat lelaki itu sekalian?" tanya Nurul sambil menunjuk pada berkas yang ia pegang.
"Lah bu bos mau apain itu berkas? Terus buat apa alamat laki ganteng itu?"
"Berkas ini mau aku bawa pulang. Dan alamat laki yang kamu bilang ganteng itu, aku mau datangi dia dan aku suruh bawa pulang istrinya dari rumahku secepatnya."
Nurul bergegas menuju mobil dan tujuannya adalah pulang ke rumah.
Ia akan mencari perhitungan dengan wanita itu. Tidak akan ia biarkan satu orang pun memperlakukan dirinya seperti ini.
Tak berapa lama mobil yang ia kendarai sampai di depan rumah.
Mobil Lukman tidak tampak sama sekali.
"Apa mereka berdua pergi? Ah, baguslah. Syukur-syukur jangan ada yang kembali ke rumah ini."
"Ck, tapi mana mungkin!" Nurul menghembuskan napas.
"Inikan rumah si Lukman brengsek."
Bukan Nurul cemburu pada kemesraan mereka, tapi ia takut kegilaan yang terjadi di dalam hidupnya diketahui ayahnya. Bisa hilang butik Nurul kalau begini.
Lalu ia melangkah keluar dari mobil.
Memandang sekali lagi teras rumah yang bersih dan terawat. Seingatnya ia belum membersihkan teras ini. Bodo amat, emang aku pembantu! Biar si Lukman suruh istrinya saja!
Untung ia simpan kunci rumah ini.
Ia masih memikirkan ucapan Joya, yang mengatakan lelaki yang menjadi suami Sekar sangat tampan dan menghebohkan butiknya. Tapi kenapa dia menjadi istri siri suaminya? Itu yang harus Nurul cari tahu.
Makanya ia pulang membawa berkas ini.
Nurul membuka pintu dan aroma masakan jelas tercium.
"Siapa yang masak?"
Hidungnya kembang-kempis.
Rumah ini tidak berhantu kan? Duh gak lucu dong, udah tidur sendiri diganggu hantu juga.
Dengan perlahan ia memasuki rumahnya dan menuju bagian dapur.
Jantungnya berdebar-debar, apalagi mendengar bunyi alat-alat dapur.
Hantu bisa masak?
Kalau benar itu terjadi, dia kalah pintar.
Hingga ia sampai di ambang dapur.
Matanya melotot ketika melihat siapa yang memasak.
"Sekar?"
Wanita yang tengah sibuk memasak itu menoleh dan senyumnya mengembang.
"Mbak Nurul dari mana? Sebentar lagi masakan matang lho, kita makan sama-sama yuk?"
Nurul menyeringai.
Makan sama-sama? Memang aku bodoh, nanti dia taroh racun di piringku.
Sekar mengulurkan piring berisi udang dengan siraman saos yang membuat cacing di perut Nurul demo.
"Ini makanan kesukaan suami kita."
Suami kita? Cih!
"Mbak Nurul pasti gak tahukan apa makanan kesukaan Mas Lukman?"
Tanpa dosa, Sekar menata meja makan.
Kesal karena dianggap patung, Nurul mencekal lengan Sekar.
Memaku mata wanita yang kini terlihat mengerutkan keningnya atas perlakuan Nurul yang mendadak tidak sopan sama sekali. Padahal ia berusaha ramah pada madunya.
"Aku mau tahu, enam bulan yang lalu saat kau datang ke butikku memesan kebaya. Kamu jadi menikah kan?"
Mata Sekar mengerjap.
"Ah, jadi itu butik Mbak Nurul?" tanya Sekar aneh.
"Wah butiknya lumayan bagus Mbak, kebayanya juga bagus. Saya suka."
Mendengar itu kini Nurul yang bingung.
"Kamu suka kebaya dari butik aku?"
"Ya iyalah Mbak. Bagus itu."
Mata Nurul menyelidik.
"Memang kamu pakai kebaya yang kamu beli dari butik aku?"
Senyum Sekar mengembang.
"Ya saya pakai dong mbak, kan saya pesan kebaya memang buat nikah."
"Nikah dengan Lukman?"
"Oh bukan, Lukman itu suami kedua saya."
"Apa?" Nurul hampir terlonjak.