PART 7 - PRASETYA ALFARIZI.

1658 Kata
Nurul keluar kamar dan matanya kembali melihat pasangan suami istri itu sedang bersenda gurau sambil menonton televisi. Lukman mencubit hidung Sekar dengan mesra. Dan Sekar tampak terkekeh geli. Menikmati sekali perlakuan suaminya. Nurul mendengus. Mereka gak ada puasnya ya mesra terus. Please Nurul jangan iri. Ingat cuma enam bulan saja. Hatinya meringis. Dulu dia jomblo sering sekali melihat pasangan mesra dan dia keki karena belum pernah merasakan seperti itu. Dan kini, tak tanggung-tanggung dia melihat langsung di depan mata. Ajaib bukan hidupnya! Dan pelakunya adalah lelaki yang sudah membubuhkan namanya di sebuah buku nikah. Buku nikah! Buku yang seharusnya hanya Nurul miliki satu seumur hidup. "Mau kemana kamu?" Lukman bertanya pada Nurul. Lelaki itu tak berniat melepaskan sedikitpun rangkulannya pada bahu Sekar. Seakan tangannya menempel erat melebihi perangko pada amplop. Lihatlah, Sekar bahkan tengah meletakkan kepalanya di d**a Lukman. Raut wajahnya seakan menyiratkan ia pemenang hati Lukman. Sungguh! Godaan untuk melangkah ke pojok ruangan, ingin sekali Nurul lakukan demi meraih guci dan menimpuk pasangan itu yang kini bak tengah sayang-sayangan. Uh! Darah Nurul kian mendidih. Please, kamu gak cemburu buta! Lagian itu guci berat banget pastinya, yang ada kalau aku angkat, aku ketiban. Bisa ringsek badan aku! Nurul mengenyahkan pikiran negatifnya. "Aku tanya kamu mau kemana? Kamu dengar gak sih? Apa ada masalah sama kedua telinga kamu? Kamu gak budek mendadak kan?" Tumben peduli. Lukman kini menatapnya sinis. Belum lagi matanya aneh menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Bak penampakan Nurul ini mirip alien nyasar ke bumi. "Bukan urusanmu!" jawab Nurul ketus maximal. Nurul bermaksud keluar rumah hari ini. Menenangkan otaknya yang kian panas jika terus berada di tempat ini. Ia beranjak ke arah pintu. Terserah mereka mau sayang-sayangan, mau mesra-mesraan, aku gak peduli! Tapi baru sesaat tubuhnya hampir mendekati pintu, langkahnya terhenti. Tangannya ternyata dicekal Lukman. "Ini sudah malam, kamu mau pergi kemana?" geram Lukman karena pertanyaannya tidak mendapatkan jawaban. Nurul menghempaskan tangan suaminya. "Kemana pun aku pergi, memang apa pedulimu? Kau urus saja istrimu itu." Mata Nurul menghunus tajam pada Sekar. "Kalau kamu mau pergi, besok saja pergi. Sepertinya kau belum makan juga. Sekar sudah memasak untukmu." Lukman menghalangi langkah Nurul. "Memangnya siapa kau atur-atur hidupku." Nurul mendorong tubuh Lukman. "Aku suamimu, dan sebagai istri kamu harus menuruti apapun ucapan suamimu." "Suami? Gak salah?" Nurul memandang cemooh pada Lukman. Nurul terkekeh dengan wajah miris. "Paling tidak selama enam bulan ke depan. Tolong usahakan hubungan kita baik-baik saja sampai kita pisah." Terpaksa Lukman menurunkan intonasi suaranya. Diingatkan kembali pada nasibnya yang mengenaskan, Nurul semakin emosi. "Hubungan kita gak akan pernah baik-baik saja, karena kau sudah menipuku!" ketus Nurul. Keluar sudah kekesalan yang sudah ia tahan-tahan selama ini. "Bisa-bisanya kau jebak aku ke dalam pernikahan seperti ini. Kau ...." Ugh! Nurul tak akan menangis di depan laki-laki b******k ini. "Aku minta maaf," ucap Lukman pelan. Ia melihat raut wajah sedih di hadapannya. "Aku memang salah karena sudah mempermainkanmu. Tapi aku berkata jujur, aku gak bisa cinta sama kamu, Nurul." Gak cinta lagi! Kenapa lelaki ini terus saja berkata seperti itu! Mengapa Nurul merasa menjadi wanita yang paling jelek di dunia ini. Atau apakah memang aku ini jelek banget! Kalau aku jelek, aku gak mungkin sering dapat salam dari para klienku. Walau dari sekian banyak yang memberi salam rata-rata lelaki beristri. Brengsek! Ia semakin kesal ketika selalu diingatkan akan cinta lelaki ini pada istri sirinya. Padahal Nurul pun tak sudi dicintai oleh suami model Lukman ini. "Aku juga gak ingin kamu jatuh cinta sama aku. Jadi ...." Nurul menghela napas. "Jika kamu bisa seenaknya saja di rumah ini, maka aku pun bisa." Nurul melangkah ke luar rumah. "Apa kata orang kalau melihat kamu pergi dari rumah ini, dan melihat Sekar ada di sini." Nurul berhenti hanya untuk tersenyum mencemooh. Ia tak mau bersusah payah menoleh ke belakang. Oh, baru mikir? Kemarin kemana saja? "Memang aku peduli apa kata orang?" Lebih baik aku pergi daripada naik darah melihat kelakuan mereka di rumah ini. Nurul berjalan menuju mobilnya. "Dasar gadis aneh!" Lukman menggeram kesal. Pantas dia susah dapat jodoh. Sudah jadi istri saja, sulit diatur! "Sudahlah Mas biarkan saja. Malah baguskan dia gak ada di sini." Sekar sudah berdiri di belakang suaminya. Lukman menoleh ke arah istrinya. Mendapatkan senyuman manis, disertai pelukan erat di pinggang. Ini yang Lukman suka. Istri yang penurut dan selalu menyunggingkan senyuman semanis madu. Tidak seperti Nurul. Pertama bertemu, tampangnya kecut. Tapi Lukman heran, gadis itu mau menerima lamarannya. Lebih heran lagi ketika malam pertama di rumah ini, gadis itu merayunya dengan pakaian yang sexy dan lebih tersentak mendapatkan gadis itu cemburu melihat kemesraannya dengan Sekar. Ia tidak mungkin cinta sama aku kan? "Mas bagaimana jika kita sementara tidur di kamar Nurul? Mumpung orangnya gak ada?" Sekar mengusap d**a bidang suaminya dengan gerakan menggoda. "Ah kamu benar. Biar saja sekalian tuh orang gak pulang. Ck, tapi kalau tiba-tiba orang tuaku dan orang tua dia datang gimana?" Lukman pusing sendiri. "Gak usah pikirin yang belum terjadi Mas. Yang penting kita sekarang saja." Masih dengan bicara manja, Sekar menuntun suaminya menuju kamar Nurul. Peduli amat dengan si Nurul itu! Salahnya sendiri main pergi saja dari rumah. Lukman pun segera mengikuti langkah istrinya menuju kamar Nurul. "Eh di kunci Mas." Sekar berusaha membuka kamar yang ternyata di kunci Nurul. "Kayak di dalam ada benda berharga saja sih, pakai dikunci segala!" gerutu Sekar kesal. "Oh tenang saja, Mas ada kunci cadangan kok." Lukman lalu melangkah ke arah meja yang ada di sudut ruangan. Membuka laci dan memperlihatkan sebuah kunci dengan menggoyangkan tangannya pada Sekar. "Ini kuncinya." Sekar tersenyum. "Wah beneran. Untung Mas punya kunci cadangan." Lukman terkekeh. "Ini rumahku Sekar, dan akan menjadi rumah kita nanti enam bulan lagi. Mas harap kamu bersabar ya menghadapi sikap Nurul. Dia itu anaknya manja, susah diatur. Bayangkan saja, sudah setua itu belum nikah-nikah. Mungkin memang gak laku." Sekar mengangguk. "Benar juga ya Mas. Padahal kalau dilihat mbak Nurul itu cantik lho Mas." "Masih cantikan kamu lah." Lukman mencolek dagu istrinya. Sekar terkekeh. Dan menatap mesra ke arah suaminya. Lukman, cinta pertamanya. CInta memang buta, sehingga Sekar memilih untuk kembali pada Lukman dari pada menjalankan biduk rumah tangga dengan suami sahnya enam bulan lalu. Lelaki yang menurut Sekar sebenarnya cukup tampan dan kaya raya. Tapi sayang terlalu dingin dan Sekar butuh dicintai, yang hanya ia dapatkan dari Lukman, kekasih pertamanya. Sayang hubungan mereka ditentang kedua orang tua Lukman karena Sekar tidak sesuai sebagai kriteria menantu idaman seperti yang orang tuanya Lukman mau. Jadilah mereka berpisah. Sekar menikah dengan suami pertamanya, walau hanya bertahan satu bulan saja. Kemudian ia bertemu lagi dengan Lukman, dan mereka pun kembali menjalin hubungan dan berakhir dengan nikah siri sebulan yang lalu. Joya sudah menguap berulang kali, tapi karena dia tengah menonton drama korea, dia menguatkan matanya. "Tanggung ah sebentar lagi." Bunyi ketukan di pintu membuatnya mengucek kembali matanya yang sudah mengantuk. "Ketukan itu untuk aku apa ke tetangga ya?" Ketukan kembali terdengar, kali ini kencang sekali. "Eh ke pintu aku ternyata." "Siapa sih? Malam-malam ganggu aja." Joya bangkit dan membuka pintu. Maksud Joya ingin membuka sedikit saja, tapi gerakan dorongan dari depan membuat pintu itu terbuka lebar. Dan masuk sesosok tubuh ke dalam kost-kostannya. "Lho-lho Bu bos?" Joya menatap tak percaya pada apa yang ia lihat. Nurul mungkin sudah nekad, ketika ia memutuskan untuk pergi ke rumah karyawannya. Tepatnya kost-kostan Joya. Joya menoleh ke arah luar. "Bu Bos sama siapa?" "Mobil." Nurul asal menjawab. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal, Joya menutup pintu. "Bu bos mau menginap atau ...." "Aku mau ajak kamu keluar," ajak Nurul. "Keluar?" Joya bingung. "Ya, kepalaku pusing. Kita ke café yuk. Aku yang traktir." Mata Joya mengerjap. Serius! Ini yang ia suka. Sekalipun matanya mengantuk, ketika mendengar kata café, ia langsung berkilat senang. Kapan lagi Bu Bos ke café! "Siap Bu bos. Aku ganti baju dulu ya." Joya bergegas ke kamar untuk ganti pakaian. Tak lama mereka berdua sudah membelah jalanan dengan mobil honda jazz merah milik Nurul. "Cari café yang enak ya Joya. Aku mau menghilangkan penat," pesan Nurul sambil terus fokus menyetir. "Sipp." Joya masih browsing di internet mencari café yang lumayan bagus dan tentunya menunya enak. "Harga gak masalah ya Bu bos." "Sip." Uang Nurul masih cukup jika hanya makan di cafe berdua dengan sang asisten. Hingga akhirnya, Joya mendapatkan café yang cocok dengan tujuan mereka. Nurul dan Joya melangkah ke dalam café. Sebuah café yang terlihat nyaman dan cukup tenang. Mereka mendapat kursi di lantai dua dengan meja nomer sepuluh dan mulai memesan makanan. Nurul membuka dompetnya perlahan. Keningnya melipat. Seperti ada yang hilang? Ah, iya benar satu kartu ilang. "Joya, kamu cek ke mobil deh, kayaknya kartu Atm aku jatuh satu. Coba cari di dalam mobil ya." Nurul memperlihatkan dompetnya. Joya yang hapal jumlah Atm atasannya segera mengangguk. "Oke bu bos." Ia bangkit dari kursinya. "Ini kuncinya." Nurul menyerahkan begitu saja kunci di tangannya pada sang asisten. Tak lama Joya kembali membawa kartu atm yang memang terjatuh di dalam mobil. "Terjatuh di dalam mobil Bu bos." Nurul mengangguk dan ia teringat sesuatu. "Joya, kamu sudah dapat alamat yang aku minta?" tanya Nurul sambil menyesap minumannya. Sementara makanan belum juga diantarkan. "Oh alamat suami pertama Sekar?" "Hmmm. Sudah dapat?" Joya tersenyum. "Sudah bu bos. Ini." Joya memberikan alamat yang diminta Nurul. "Alamat kantor?" Mata Nurul menyipit. "Yup. Aku dapat alamat kantornya." Nurul membaca kartu nama di tangannya. "Prasetya Alfarizi. Nama yang bagus. Orangnya ganteng ya?" tanya Nurul pada Joya. "Bukan ganteng-ganteng lagi bu bos. Ganteng banget." Joya masih ingat jelas wajah lelaki tampan itu. "Oke, besok kamu ikut aku ke sana." "Hah!" Joya terlonjak. "Apa bu bos?" "Kamu besok ikut aku ke tempat dia." Nurul menunjuk pada kartu nama yang sudah diletakkan di atas meja. Joya membetulkan letak duduknya. "Ta-tapi kita mau apa ke sana Bu Bos?" Nurul menyangga dagunya dengan tangan kanan di atas meja. "Aku akan buat perhitungan dengan lelaki ini." "Perhitungan Bu bos?" "Hmmmm." "Perhitungan seperti apa?" Aduh, Bu bos gak bakal buat onar kan? "Aku cuma ingin lelaki ini membawa pulang istrinya dari rumahku, secepatnya!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN