Wirya berdiri di dapur, tangannya sibuk memotong bahan-bahan untuk hidangan sederhana. Ia terbiasa memasak, tapi ia merasa ingin melakukan sesuatu yang istimewa untuk Liona. Wanita itu sedang duduk di ruang tamu, mengenakan piyama baru, yang baru saja dibelikan Wirya. Piyama berwarna ungu muda dengan motif bunga yang lembut, tampak serasi dengan rambut panjang Liona yang tergerai. Wirya tersenyum sendiri, sedikit bangga dengan pilihannya.
Sambil menyalakan kompor, Wirya mengingat bagaimana Liona begitu senang saat pertama kali melihat piyama itu. “Aku suka banget, Om. Terima kasih,” kata Liona waktu itu, matanya berbinar. Wirya merasa senang bisa memberi kebahagiaan sekecil itu untuk Liona.
Makanan yang ia buat tidak sempurna, tetapi cukup enak untuk dinikmati berdua. Ia membawa nampan berisi piring, mangkuk, dan gelas ke ruang tamu, tempat Liona sedang duduk dengan tenang di sofa. Liona menatapnya saat ia masuk, senyumnya selalu membuat Wirya merasa lebih baik.
"Ini, makan malamnya," kata Wirya sambil meletakkan nampan di meja rendah depan mereka. Liona mengangguk, lalu memperhatikan hidangan yang disajikan. Sebuah pasta sederhana dengan saus tomat dan sedikit keju parut di atasnya, serta sepotong roti panggang.
"Wow, ini enak banget kelihatannya," ujar Liona. Mereka mulai makan sambil berbincang-bincang ringan.
"Omong-omong." Liona memulai percakapan. "Kenapa Om mengajakku menginap?" tanyanya sambil menyendok pasta ke mulutnya.
Wirya mengangguk. "Ya, karena kamu tidak tampak baik setelah bertemu dengan Ryan, belum lagi yang kamu ceritakan tentang keluargamu, pasti mereka akan memarahiku karena berdebat dengan putri kesayangannya." Ia tersenyum, melemparkan pandangan lembut ke arah Liona yang sedang makan dengan lahap.
Liona tersenyum balik, tapi di balik senyumnya, ada rasa ingin tahu yang tak bisa ia sembunyikan. "Om kelihatan lebih santai. Aku cukup menyukai bersama Om."
Wirya menghela napas panjang, menunduk sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk mengungkapkan sesuatu.
"Sebenarnya ada yang perlu aku ceritakan," ujar Wirya, suaranya agak berat. Liona menatapnya dengan serius, menunggu kelanjutan dari kata-kata Wirya. "Liona, kamu pasti tahu bahwa Ryan anakku, kan? Sebenarnya dia bukan anak kandungku."
Liona terdiam sejenak, terkejut dengan pernyataan itu. "Maksudnya, dia bukan anak Om?" tanyanya, memastikan apa yang baru saja didengarnya.
Wirya mengangguk perlahan. "Iya. Ryan itu anak dari istriku sebelumnya. Dulu aku menikah dengan seorang janda dan Ryan adalah anaknya." Ia menunduk, seolah-olah kata-kata itu berat untuk diucapkan.
"Aku nggak pernah bilang ke siapa pun. Aku yang memilih untuk mengambil tanggung jawab dan membesarkannya seperti anakku sendiri," lanjut Wirya. "Mungkin itu yang membuat kita lebih dekat, karena aku merasa dia adalah bagian dari hidupku, meski bukan darah dagingku."
Liona merasa ada keheningan yang mendalam setelah pengakuan itu. Ia mengerti betul bagaimana perasaan Wirya. "Tapi kenapa Om baru bilang sekarang?" tanya Liona pelan, mencoba memahami.
"Karena aku pikir, mungkin saatnya sudah tepat. Aku tidak mau ada rahasia antara kita," jawab Wirya, suaranya semakin pelan. Liona mengangguk perlahan. "Aku menghargai kejujuran Om."
Mereka melanjutkan makan dengan sedikit keheningan, masing-masing merenungkan percakapan tadi. Liona merasa kagum dengan Wirya yang memiliki hati sebesar itu. Mengambil tanggung jawab untuk seorang anak yang bukan darah dagingnya, menunjukkan betapa besar kasih sayang dan komitmennya pada keluarga.
Beberapa saat kemudian, mereka berdua berpindah ke sofa dan menyalakan televisi. Acara ringan yang mereka tonton membuat suasana menjadi lebih santai. Liona duduk dengan nyaman di samping Wirya, meletakkan kepalanya di bahu Wirya. Tangan Wirya secara otomatis merangkul pundaknya, merasakan kehangatan tubuh Liona yang semakin dekat.
Tanpa sadar, Liona mulai merasa mengantuk. Matanya yang tadinya terjaga mulai terpejam, dan dalam hitungan detik, dia tertidur lelap di bahu Wirya. Wirya tersenyum, merasakan ketenangan yang datang bersama kehadiran Liona. Namun, setelah beberapa menit, ia menyadari bahwa posisi mereka tidak nyaman dan Liona pasti akan terbangun jika dibiarkan begitu saja.
Dengan hati-hati, Wirya berdiri, berusaha agar tidak membangunkan Liona yang tertidur pulas. Ia mengangkat tubuh Liona dengan perlahan, menyusun langkah kaki menuju kamar tidur mereka. Liona sedikit bergerak dalam tiduran, tapi tidak terbangun. Wirya merasa sedikit cemas, tapi tetap melanjutkan perjalanan menuju kamar.
Ketika mereka sampai di ranjang, Wirya dengan lembut meletakkan Liona di atas kasur. Dia merapikan selimut di sekitar tubuh Liona, memastikan agar wanita itu tetap nyaman. Wirya menatap Liona sejenak, lalu memberikan ciuman lembut di keningnya. "Selamat tidur, Liona," bisiknya pelan, sebelum menutup pintu kamar dengan hati-hati, meninggalkan Liona yang masih terlelap dalam mimpi.
***
Malam itu, langit di luar tampak mendung, dengan awan-awan hitam menggantung berat, menandakan hujan yang mungkin segera turun. Di ruang tamu rumah sederhana mereka, Vina duduk di sofa dengan wajah cemberut, tangan yang terlipat di d**a, mencoba menenangkan hatinya yang masih terasa panas. Di hadapannya, orang tuanya, Farah dan Doni, duduk berseberangan, menatapnya dengan penuh perhatian.
"Vina, ada apa? Kenapa kamu kelihatan tertekan begini?" tanya Doni, suaranya tenang, tapi penuh rasa khawatir. Farah, yang duduk di sebelahnya, menatap putri mereka dengan tatapan penuh kekhawatiran. Vina menghela napas panjang, matanya menatap lantai sejenak sebelum akhirnya dia mengangkat wajahnya.
"Ada masalah besar dengan Liona," kata Vina, suaranya terdengar lebih tajam dari yang ia inginkan. Farah dan Doni saling pandang, ekspresi mereka berubah serius.
"Liona? Ada apa dengan dia?" tanya Farah, mencoba mendalami situasi. Vina menelan ludah, merasa sulit untuk mulai mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi.
"Tadi siang, aku, Liona, Ryan, mengobrol tentang pembatalan pertunangan mereka." Vina mulai, perlahan. "Aku tidak tahu kenapa, tapi Liona tiba-tiba ngomong hal yang tidak pantas tentang Mama." Vina berhenti sejenak, menatap wajah orang tuanya untuk melihat reaksi mereka.
Farah terkejut, sementara Doni mengerutkan keningnya. "Apa maksud kamu? Liona bilang apa?" tanya Doni, suaranya lebih serius, seakan sudah menebak bahwa situasi akan berujung pada ketegangan.
Vina menunduk, mencoba menahan emosi yang mulai menggelegak. "Dia bilang Mama sebagai w************n. Bahkan bilang kalau Mama itu tak tahu diri, karena hubungannya dan Ryan terancam gara-gara Mama." Vina menatap kedua orang tuanya dengan mata yang berkaca-kaca, marah dan kecewa sekaligus.
Farah terdiam, mulutnya terbuka seolah kata-kata yang baru saja didengar belum sepenuhnya sampai di otaknya. Doni pun terlihat terkejut, namun lebih terkesan kecewa. “Liona bilang itu?” tanya Farah, seperti berusaha memahami kenyataan yang baru saja terungkap.
Vina mengangguk, wajahnya memerah menahan amarah. “Iya, Mama. Itu benar-benar tidak bisa diterima. Dia bilang, Mama itu cuma w************n yang cuma bisa merebut Ayah,’” Vina menirukan kata-kata Liona dengan suara bergetar. "Kenapa dia bisa ngomong gitu? Apa salah Mama?"
Doni menatap Farah, lalu beralih ke Vina. “Kamu yakin dia bilang begitu?” tanyanya, ingin memastikan apakah kata-kata itu datang dari mulut Liona atau mungkin hanya kesalahpahaman.
Vina mengangguk lagi, lebih tegas. “Iya, Ayah. Aku denger sendiri. Dan saat aku coba bilang ke Liona kalau itu tidak pantas, dia malah tambah marah dan bilang kalau Mama harusnya tahu diri,” katanya, bibirnya hampir bergetar menahan emosi.
Farah menunduk, menarik napas panjang. Ia berusaha meredam amarah yang mulai meluap. "Liona itu ... dia memang bukan anak kandungku. Tapi aku sudah anggap dia seperti anak sendiri. Aku tidak pernah melakukan apa-apa yang bisa bikin dia mikir buruk tentangku," ucap Farah pelan, suaranya penuh keputusasaan.
Doni menatap Farah dengan penuh perhatian. "Mungkin ini bukan masalah tentang kamu, Farah. Mungkin Liona hanya kesal karena situasi yang menekan dia," katanya, mencoba menenangkan istrinya.
"Tapi, apa pun alasannya, kata-kata seperti itu tidak seharusnya keluar dari mulut anak yang sudah dianggap bagian dari keluarga kita."
Vina menggigit bibirnya, kesal. "Aku tidak kenapa Liona bisa sampai sebenci itu sama Mama. Bahkan Ryan pun nggak tahu harus bagaimana." Vina menghela napas, merasakan kekecewaannya semakin dalam.
Farah mengangguk pelan, meskipun hatinya terluka. "Aku tidak tahu lagi harus bagaimana, Mas. Aku merasa Liona semakin jauh dari kita. Bahkan aku merasa dia tidak menganggap aku bagian dari keluarganya." Suaranya hampir putus-putus, seperti sedang berjuang untuk menahan tangis.
Doni menggenggam tangan Farah dengan lembut. "Kita harus tetap sabar, Farah. Liona masih muda, dia masih perlu waktu untuk menerima semua ini. Tentang Ryan, tentang kamu, tentang semuanya."
"Tidak, Mas. Tidak ada alasan apa pun yang bisa membenarkan kata-kata itu. Dia mungkin masih muda dan penuh emosi, tapi kalau dia tidak tahu menghargai orang yang sudah menerima dia seperti keluarga, kita harus beri dia pelajaran. Kita tidak bisa terus diam saja."
Doni bingung antara siapa yang dia pihak, istrinya atau putrinya. "Tapi Liona sedang mengalami masalah emosional yang sangat wajar, bukan berarti aku mewajarkan dia yang mengatakan dirimu seperti itu, tidak sama sekali. Hanya saja, sepertinya kita harus lebih sedikit mentoleransi sikapnya karena dia sudah mau melepaskan Ryan untuk Vina," kata Doni mencoba menengahi.
Farah berdecak sebal karena suaminya tidak ingin berpihak padanya. Padahal dari tadi dia sudah memasang wajah yang tersakiti dan membangun sosok ibu yang menerima anak tiri dengan begitu baik.
"Jadi kamu menganggap tidak masalah istrimu dihina karena yang menghina adalah anak kandungmu? Jika memang seperti itu, aku sudah cukup tahu dan cukup mengerti bagaimana caramu menanggapi masalah ini, aku tahu adalah anakmu!" kata Farah penuh penekanan agar Doni merasa tersindir.
Doni memejamkan matanya sejenak. "Bukan begitu ... ah sudahlah, jika dia pulang nanti aku akan memberinya pelajaran dan mengajaknya mengobrol kenapa dia bisa mengatakan hal itu." Pada akhirnya Daniel tidak bisa melindungi Liona dan terus berpihak pada Farah serta Vina.
"Aku tidak menerima jualan omong kosong, aku hanya menerima fakta yang terjadi di hadapanku, jika kamu memang berniat memberikan Liona pelajaran, maka lakukanlah dihadapanku, maka aku tidak akan mempercayaimu."