Bab 11. Vina Kecewa

1664 Kata
Liona duduk di ruang tamu, matanya teralihkan ke luar jendela, memandangi langit sore yang tampak semakin gelap. Dia masih berada di rumah Wirya dengan percakapan hangat yang baru saja dia lakukan bersama Wirya, pria yang kini membuat hatinya berdebar-debar. Mereka baru saja menyelesaikan obrolan tentang pernikahan mereka, yang mungkin akan segera terwujud. "Om Wirya, aku tidak ingin pernikahan kita jadi terlalu mewah. Aku cuma ingin sederhana saja," kata Liona dengan penuh keyakinan saat mereka sedang berbicara di sebuah kedai kopi beberapa jam yang lalu. Wirya, dengan tatapan penuh cinta, mengangguk. "Aku mengerti, Liona. Aku cuma ingin kita bahagia." Liona tersenyum dan melanjutkan, "Mahar juga tidak perlu mahal. Yang penting Om bisa bawa aku pergi dari rumah itu, aku sudah sangat muak di sana, aku ingin Om mengurusku sampai aku benar-benar bisa berdiri sendiri." "Aku tahu kamu bukan orang yang materialistis. Aku setuju, Liona. Yang penting kita berdua saling mengerti satu sama lain," jawab Wirya dengan suara lembut. Liona merasa lega mendengar kata-kata itu. Meskipun dia tahu pernikahannya dengan Wirya tidak akan mudah, tetapi dia merasa yakin bahwa mereka bisa melewati segala tantangan bersama. Setelah percakapan itu, mereka berdua berjalan menuju mobil dan Wirya mengantar Liona pulang ke rumah ayahnya. Setibanya di rumah, Liona merasakan ketegangan yang begitu kental di udara. Ayahnya, tampak sedang duduk di ruang tamu, wajahnya terlihat serius saat melihat Liona yang baru saja pulang. Tanpa berkata apa-apa, Doni mengangkat tangan, memberi isyarat agar Liona mendekat. "Liona," kata Doni, nada suaranya tegas. "Kita perlu bicara. Aku dengar kamu sudah membicarakan cara pernikahanmu dengan Wirya." Liona berhenti sejenak. Dia tahu pertanyaan itu akan datang, dan dia juga sudah siap untuk menjawab. "Iya, Ayah. Aku serius. Aku mencintai Om Wirya dan aku yakin dia juga mencintaiku." Doni menatap Liona dengan ekspresi ragu. "Kamu serius memilih pria yang sudah pernah gagal dalam pernikahan sebelumnya? Dia duda, Liona. Kamu yakin itu pilihan yang tepat?" Liona menahan napas, berusaha menenangkan diri. "Ayah, aku bukan melihat masa lalunya, tapi masa depannya. Om Wirya berbeda dari yang kamu pikirkan. Dia bukan orang yang seperti Ayah atau orang lain yang Ayah kenal. Dia jauh lebih baik." Liona menunduk sejenak, perasaannya mulai tercampur aduk. Dia merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam keluarganya dan itu bukan hanya masalah pernikahannya dengan Wirya. "Aku juga ingin keluar dari rumah ini, Ayah. Aku sudah tidak tahan lagi tinggal di sini." Doni tampak terkejut. "Kenapa, Liona? Apa yang kamu maksud?" Liona menatap ayahnya dengan mata yang penuh emosi. "Karena aku merasa terabaikan di sini, Ayah. Semua kasih sayangmu hanya untuk Vina. Seakan-akan aku ini tidak ada. Aku merasa seperti bayangan, Ayah. Kamu lebih mengasihi Vina daripada aku." Doni terdiam, namun Liona melanjutkan, tidak peduli apakah ayahnya akan tersinggung atau tidak. "Aku juga tidak tahan hidup di rumah ini, di antara orang-orang yang penuh dengan kebohongan dan perselingkuhan. Tante Farah, selalu berpura-pura baik, tapi aku tahu apa yang terjadi di belakang layar. Ayah ... Tante Farah dan Vina, semua itu berputar di dunia yang aku tidak mau terlibat. Aku ingin keluar dari sini, Ayah." Liona terengah-engah, menahan perasaan yang semakin berat di dadanya. Tiba-tiba, suara Farah terdengar dari arah pintu ruang tamu. "Apa yang kamu katakan?!" suara Farah tinggi, penuh sindiran. "Jangan sok suci, Liona. Ibumu yang sudah mati itu juga bukan wanita yang bisa menjaga rumah tangga dengan baik, kan? Kalau dia bisa lebih baik, mungkin ayahmu tidak perlu mencari wanita lain seperti aku." Liona terkejut mendengar sindiran tajam dari Farah. Sekilas, dia merasakan amarah yang membakar dalam dadanya. Tapi Liona bukan tipe orang yang mudah tunduk. Dia tahu betul bagaimana harus membalas sindiran itu. "Loh, Tante Farah," kata Liona dengan nada datar dan tajam. "Mungkin kamu benar, ibuku bukan wanita yang sempurna. Tapi setidaknya, dia tidak merusak rumah tangga orang lain. Tidak ada alasan untuk perselingkuhan, apalagi kalau hanya karena w************n yang ingin merusak dan merebut pasangan orang lain." Liona membalas dengan penuh percaya diri, menatap Farah dengan tajam. Farah terdiam. Wajahnya memerah, matanya melotot, namun Liona tidak gentar. Farah sudah cukup lama menyakitinya dengan sikap pilih kasihnya terhadap Vina, serta tindakan-tindakannya yang penuh dengan kebohongan. Liona tidak akan membiarkan dirinya terus diinjak-injak. "Jangan anggap aku bodoh, Tante Farah. Aku tahu persis apa yang terjadi di rumah ini. Semua sikapmu itu justru semakin memperburuk keadaan," lanjut Liona dengan suara yang lebih tegas. "Dan jangan pernah lagi meremehkan ibuku, karena dia jauh lebih baik daripada semua wanita yang ada di rumah ini." Doni terdiam mendengar percakapan itu. Wajahnya terlihat cemas, namun dia tidak mengatakan apa-apa. Sebagai seorang ayah, dia tahu bahwa hubungan antara anak dan ibu tiri memang tidak selalu mudah, tetapi dia juga tidak bisa membiarkan keadaan semakin buruk. "Karena semua orang yang ada di rumah ini tukang selingkuh, Ayah berselingkuh dengan Tante, Tante dan anak Tante perebut pria orang lain, sudah sangat cocok berkumpul di rumah ini. Jadi biarkan aku keluar dari rumah ini tanpa kalian tanya apa pun!" *** "Yo, Ryan!" Angga menyapa dengan suara ceria. Ryan hanya mengangguk dan menatap cangkir kopinya tanpa berucap apa-apa. Angga duduk di depan Ryan, langsung memesan minuman, sebelum akhirnya membuka percakapan. "Jadi, bagaimana dengan hidupmu, bro? Kamu tahu, kan kita belum pernah ngobrol serius sejak perpisahanmu dengan Liona." Angga membuka topik yang sudah lama mengendap. Mendengar nama Liona, Ryan merasa sejenak dunia berhenti. Nama itu selalu membuatnya teringat pada segala kenangan yang tak pernah bisa dia lupakan, pertunangan yang batal, hubungan yang rusak dan keputusan yang harus dia buat antara dua wanita, Liona atau Vina. "Jujur, Angga, aku masih bingung. Aku memilih Vina, tapi ada bagian dari diriku yang merasa ragu," ujar Ryan, suaranya pelan dan penuh keraguan. Angga terkejut. "Kamu memilih Vina, padahal Liona jauh lebih menarik, bro. Aku tidak paham, kenapa kamu malah pilih dia. Apa kamu tidak lihat apa yang ada di depan mata?" Ryan menghela napas panjang. "Aku tahu Liona lebih baik, lebih matang, lebih bisa diandalkan. Tapi ... entahlah. Ada sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan. Mungkin aku cuma tidak siap." Angga mengangguk, seolah mencoba memahami perasaan sahabatnya. Namun, tatapan matanya berubah serius ketika dia mulai membuka topik lain yang tak kalah sensitif. "Aku dengar Liona bakal menikah sama ayahmu, ya? Tadi dia mengirim undangan ke kampus, dan aku tak bisa menahan rasa ingin tahu. Kenapa bisa tiba-tiba Liona milih menikah sama ayahmu, setelah hubungan kalian berakhir?" tanya Angga, tampaknya mulai merasa penasaran dengan dinamika hubungan yang ada. Ryan terdiam sesaat. Memang, Liona sudah mengirim undangan pernikahan ke kampus beberapa hari yang lalu dan itu adalah hal yang membuatnya gelisah tanpa bisa dia katakan pada siapapun. "Aku tidak tahu," jawab Ryan pelan. "Mungkin karena dia merasa sudah siap dengan pilihan hidupnya dan mungkin dia menemukan sesuatu yang dia butuhkan dari ayahku. Aku tidak bisa menghalangi itu." Angga mengangkat alis. "Hmm ... tapi Liona kayaknya cepat sekali move on, ya? Tidak lama setelah tunangannya batal, sekarang malah langsung ingin menikah sama ayahmu." Ryan terdiam, memikirkan perkataan Angga. Tidak ada yang lebih berat dari kenyataan bahwa Liona yang dulu begitu dekat dengannya, kini malah akan menikahi ayahnya. Namun, ada bagian dalam dirinya yang merasa seolah Liona berhak memilih jalan hidupnya sendiri. Namun, perasaan itu selalu disertai penyesalan yang tak bisa ia ungkapkan. Angga melanjutkan, seolah tak peduli dengan perasaan Ryan. "Mungkin aku juga harus coba deketin Liona, sih. Dia sekarang, kan sudah tidak ada hubungan sama kamu lagi, jadi kenapa tidak coba saja? Kalau dia jadi istri ayahmu, ya itu urusan lain," ujar Angga dengan nada santai. Namun, Ryan langsung mengangkat wajahnya dan menatap Angga dengan tajam. "Jangan bercanda, Angga. Liona sudah bertunangan. Itu sudah pasti." Angga tertawa sinis. "Serius, bro? Setelah putus sama kamu, Liona malah mengejar ayahmu? Menurutku itu ... agak gampangan, kan? Dia kayaknya gampang banget move on. Bahkan nyaris tidak ada jeda." Tiba-tiba, hati Ryan terasa terbakar. Sebuah api amarah menyala dalam dirinya. Kata-kata Angga menghantamnya, seperti tamparan di wajah. Dia tahu Angga sedang menganggap rendah Liona, tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam dirinya yang merasa tersakiti. Liona bukanlah wanita seperti itu dan Ryan tak bisa membiarkan sahabatnya merendahkannya. "Jangan katakan Liona seperti itu!" teriak Ryan, suara penuh amarah, matanya penuh benci. "Kamu tidak tahu apa-apa tentang dia! Dia bukan w**************n seperti yang kamu pikirkan!" Angga tersentak, dan dalam sekejap, suasana yang semula santai berubah tegang. "Jadi, kamu masih bela dia, ya? Padahal dia sudah jelas-jelas pindah ke ayahmu, Ryan! Dan kamu masih belain dia, bro?" Angga membalas, tidak terima. Ryan melayangkan pukulan pertama, menghantam wajah Angga dan Angga membalas dengan sebuah pukulan keras ke arah wajah Ryan. Mereka bergulat, saling dorong dan tubuh mereka saling berbenturan dengan meja dan kursi di sekitar kedai kopi itu. Keduanya tidak peduli dengan orang-orang di sekeliling mereka yang mulai memperhatikan. Semua yang ada dalam diri Ryan adalah kemarahan, kebingungannya yang tak terucapkan, dan rasa sakit karena mendengar Angga merendahkan Liona, wanita yang pernah sangat berarti dalam hidupnya. "Tunggu," kata Angga pelan, meraba wajahnya yang memerah. "Aku... tidak bermaksud ... buat kamu marah begitu, Ryan." Ryan menghela napas berat. "Jangan pernah bicara seperti itu tentang Liona lagi, Angga." Saat itu, Vina yang baru saja masuk ke kedai kopi untuk mencari Ryan mendengar percakapan yang baru saja terjadi. Dia melihat Ryan dengan wajah merah dan penuh luka. Hatinya langsung terasa berat dan kecewa mulai menghampirinya. Dia mendekat, berdiri di samping Ryan, dan menatapnya dengan tatapan yang berbeda. "Jadi, kamu masih peduli sama Liona?" tanyanya dengan suara datar. Ryan terdiam, tidak tahu bagaimana menjawab. Dia menatap Vina, namun ada sesuatu yang terasa menyesakkan di d**a. "Vina, aku ...." Vina menggelengkan kepalanya, suaranya penuh kekecewaan. "Aku tahu, Ryan. Aku tahu kamu masih punya perasaan untuk dia, kan? Tapi kenapa kamu tidak bertahan? Kamu sudah memilih aku, tapi di dalam hatimu Liona tetap ada, kan?" Ryan terdiam. Di dalam hatinya, ada rasa bersalah yang mengganjal, tapi dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan perasaannya yang berantakan. Di satu sisi, dia memilih Vina, tapi di sisi lain, ada perasaan yang tak bisa dia hilangkan untuk Liona. Vina tersenyum pahit, menatap Ryan dengan mata yang mulai memerah. "Aku pikir aku yang kamu pilih, Ryan. Tapi mungkin aku salah."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN