“Sorry, Han, tapi lagi nggak ada ujian, kan?” tanya Bias ketika Farhan menghampiri.
“Nggak, Kak.” Farhan duduk di sebelah Bias, mengatupkan jemarinya dengan kedua siku bertumpu di paha. “Tapi, ngapain ke sini?”
“Aku mau tanya masalah Cinta.”
“Oh ...”
Bias melihat jelas perubahan dari wajah siswa kelas tujuh Sekolah Menengah Pertama itu. Sebenarnya, ada apa dengan Cinta dan keluarganya.
“Kak Bias mau tanya apa?” Farhan menegakkan tubuh, mencari posisi yang nyaman agar lebih santai.
“Tapi tolong janji, jangan bilang siapa pun kalau aku ke sini.”
“Oke.” Farhan langsung mengangguk tanpa ragu. “Tanya aja.”
“Apa Cinta memang nggak ada di rumah beberapa hari ini?” tanya Bias mulai dengan pertanyaan pertamanya.
Farhan menggeleng, tidak bisa memastikan. “Sudah ...” Farhan mengingat-ingat, kapan terakhir kali ia melihat keberadaan salah satu kakak perempuannya. “Dari malam minggu. Ya! Aku yakin dia nggak tidur di rumah dari malam minggu. Tapi, aku nggak tahu, dia pulang apa nggak pas siang.”
“Yakin?” tanya Bias. Ia setuju jika malam minggu Cinta tidak di rumah, karena wanita itu sedang bersamanya di bar.
“Yakin,” angguk Farhan. “Soalnya, Aku tiap malam ma tidur itu pasti ke dapur, makan. Kalau lampu kamarnya nyala, dia pasti ada di rumah.”
“Mungkin aja lampunya mati,” sambar Bias. “Kan, lagi tidur.”
“Kak Cinta nggak bisa tidur kalau lampu kamarnya mati,” terang Farhan.
Bias mengangguk saat mengetahui satu fakta tentang Cinta. “Kenapa anggota keluargamu yang lain sepertinya nggak suka sama Cinta? Mereka seperti ... nggak mau peduli sama dia.”
“Itu ... dari yang aku dengar, kak Cinta itu selalu cari masalah dan iri sama kak Cia,” papar Farhan.
“Dari yang kamu dengar.” Bias mengulang kalimat yang menurutnya wajib diberi perhatian lebih. “Memangnya kamu dengar dari siapa?”
“Mama, Kak Cia.” Farhan mengendik singkat. “Papa sama kak Altaf juga pernah bilang begitu. Katanya, Kak Cinta pernah dorong Kak Cia dari lantai dua sampe masuk rumah sakit. Kak Cia juga dibully di sekolah gara kak Cinta. Pokoknya, masih banyak lagi. Begitu katanya.”
“Dan bagaimana menurut pendapatmu?” tembak Bias langsung. “Sepertinya kamu nggak setuju dengan itu.”
Farhan bersandar, bersedekap. “Kalau menurutku, kak Cinta itu ... dibilang baik juga nggak, tapi nggak bisa dibilang jahat juga. Mungkin lebih ke ... cuek. Mungkin karena orang rumah nggak peduli sama dia, terus dia juga jadi nggak peduli sama orang rumah.”
“Kalau dibilang dia suka seenaknya, itu berarti benar?”
“Kalau pulang pergi seenaknya, sih, benar, Kak,” jawab Farhan. “Tapi, aku bisa ngerti kenapa dia bisa begitu.”
“Menurutmu kenapa?”
“Mungkin, karena selalu dibandingin sama kak Cia.”
“Jadi benar kalau Cinta iri sama Cia?”
“Aku nggak ngerti,” jawab Farhan. “Soalnya, kak Cinta itu cueknya kebangetan. Jadi, kalau dibilang iri, mungkin nggak, karena kak Cinta juga nggak pernah peduli dengan orang rumah. Makanya, kadang aku bingung dengan keluargaku sendiri.”
“Kalau aku bilang ... Cinta itu dianaktirikan, apa kamu setuju?”
Farhan mengangguk pelan, ragu. “Sepertinya ... memang begitu.”
“Oke.” Bias bangkit dan mengulurkan tangan pada Farhan. “Terima kasih banyak atas infonya dan maaf kalau aku ganggu jam sekolahmu.”
“Nggak papa, Kak.” Farhan menjabat tangan Bias setelah bangkit. “Kalau ada yang mau ditanyain, Kak Bias bisa telpon aja daripada jauh-jauh ke sini.”
“Oke! Aku pasti telpon kamu lagi. Terima kasih!”
~~~~~~~~~~~~~~~~~
“Yosep!” Bias memanggil asisten pribadi papanya, ketika melihat pria itu sedang berdiri di depan vending machine yang ada di lobi.
Bias terus berjalan menuju lift dengan langkah cepat dan tidak berapa lama Yosep berada di sisinya.
“Apa hasilnya?” tanya Bias sambil menekan tombol lift. Namun, sejurus kemudian ia menggeleng. Memutar tubuh lalu melangkah menuju tangga darurat.
“Cinta Naratama sudah izin dari kantor sejak hari minggu,” terang Yosep mau tidak mau harus mengikuti Bias. “Itu artinya sampai hari ini dia sudah nggak masuk selama lima hari. Tapi ...”
“Tapi apa?” Bias menaiki tangga dan melirik pada Yosep yang berada di sebelahnya. “Nggak usah diputus kalau ngomong. Langsung teruskan sampai titik.”
“Ada surat keterangan dokter dari rumah sakit Medika dengan jangka waktu satu minggu,” papar Yosep. “Saya su—”
“Satu minggu?” putus Bias lalu berhenti di tengah tangga. “Itu artinya dia bukan sakit biasa? Opname? Operasi?”
“Kecelakaan.”
Mata Bias melebar seketika. “Kecelakaan?”
“Iya, Mas.” Yosep mengangguk. “Saya dapat info dengan susah payah—”
“Langsung, Yos!” putus Bias bersedekap. “Aku nggak mau tau bagaimana caramu dapat info itu. Yang penting, aku terima bersih.”
“Tabrak lari.” Yosep kembali meneruskan hasil temuannya. “Motor yang nabrak nggak pakai plat nomor dan kasusnya ngambang. Nggak diteruskan.”
“Jadi, Cinta masih di rumah sakit?” Bias berbalik, menuruni tangga dengan cepat. Berniat pergi ke rumah sakit.
Jika benar gadis itu kecelakaan, mengapa sampai tidak ada satu pun orang rumah yang tahu? Bukankah ini sungguh keterlaluan?
Meskipun sikap Cinta apatis dan tidak disukai oleh hampir seluruh anggota keluarga Naratama, mereka tidak sepatutnya bersikap seperti ini.
“Cinta sudah keluar, Mas.”
Bias menutup kembali pintu tangga darurat yang baru di bukanya. Berbalik dan menatap kesal pada Yosep.
“Tapi dia nggak ada di rumahnya,” sanggah Bias. “Nggak mungkin dia kecelakaan dan izin satu minggu, tapi nggak ada di rumah?”
“Tapi info saya valid, Mas.” Yosep pun bertahan dengan argumennya. “Cinta masuk rumah sakit sekitar jam tiga sore dalam keadaan nggak sadar. Dan besoknya, dia maksa keluar, dijemput temannya. Kondisi terakhir yang saya dapat, tulang bahu kiri geser, kaki terkilir, dan memar di beberapa bagian tubuh. Harusnya, kemarin waktunya dia kontrol, tapi dia nggak datang.”
“Dan di mana dia sekarang?”
“Saya ...” Yosep mengangkat bahu, lalu tersenyum lebar sambil menggeleng. “Saya juga nggak tahu, Mas.”
Bias menggeram sambil mengepalkan kedua tangan. Menatap tajam. “Yoseeep!”