Dari penampilannya, jelas Dika belum sempat pulang ke rumah. Sama seperti Ayana, pria itu tampaknya baru saja pulang kerja. Namun karena insiden Alessya yang tiba-tiba kabur, Dika ikut turun tangan mencarinya.
“Sudah selesai makan es krim, sekarang Alessya mandi lagi ya, sama Mama?” ucap Ayana sambil melepas sepatu dan jasnya.
“Enda mau! Tadi udah mandi!” sahut Alessya, ngeyel seperti biasa.
“Lho, nggak bisa begitu. Lihat tuh, makan es krim aja sampai belepotan banget.” Ayana membalas, sangat sabar.
Sisi keibuan Ayana tampak begitu kuat. Membuat Dika yang refleks mengawasinya, jadi makin terpesona. Dalam diamnya, Dika yang sibuk tersenyum hangat, tak hentinya mengawasi Ayana.
“Yang belepotan itu Oum! Oum Dika! Tuh, pegang piling makan es klim!” balas Alessya sambil menunjuk piring plastik bergambar karakter lucu yang ada di tangan Dika.
“Hahahaha!” Dika langsung tertawa terbahak.
Ayana pun ikut tergelak, sudah paham betul dengan watak putrinya yang suka menggoda. Ya, begitulah Alessya — kecil-kecil hobi minggat dan pintar cari alasan. Entah mirip siapa, tapi Ibu Lastri pernah bilang, Alessya tak mirip Ayana kecil yang cenderung pendiam. Alessya justru penuh drama, cerewet, dan punya akal seribu.
Ayana kemudian menyuguhkan segelas teh tubruk, kesukaan Dika. Dengan hati-hati, ia meletakkan gelas beralas lambar di meja kecil di samping Dika yang sedang duduk santai.
Di sofa ruang tamu yang juga merangkap ruang keluarga itu, Dika duduk sambil merangkul Alessya dengan penuh kasih sayang. Seolah mereka sudah seperti ayah dan anak kandung. Melihatnya, Ayana kembali diyakinkan bahwa bersama Dika, Alessya takkan pernah kekurangan cinta. Bersama Dika, Alessya sudah mendapatkan figur seorang papa yang sejak lahir, belum pernah Alessya dapatkan.
Alessya yang duduk bersila di samping Dika masih asyik melahap es krim hingga belepotan. Dika pun sigap, menyiapkan piring plastik sebagai alas, agar tetesan es krim tak mengotori sofa.
“Sayang, kamu mandi dulu. Biar seger, habis itu tinggal makan,” ucap Dika penuh kelembutan. “Bilang ke Ibu, enggak usah masak. Kalian sama-sama capek. Sekarang, biar aku pesan makan buat kita.”
“Oh, oke, gitu saja. Kalau gitu ... aku mau–” Belum sempat Ayana mengutarakan makanan yang ingin dirinya pesan, Alessya sudah wanti-wanti agar sang mama tidak makan yang pedas.
“Nanti peyutna takit, mecelet lagi, diinpus!”
“Masya Allah ... Alessya ya, ... pinter banget!” Lagi, Dika jadi sibuk tertawa karena kelakuan Alessya.
Sampai akhirnya mereka beres makan. Sementara Alessya yang sudah mandi juga ketiduran di pangkuan Ayana. Alessya mengutarakan promosi sekaligus kenaikan jabatan. Promosi dan kenaikan jabatan yang mengharuskan Ayana pindah Jakarta.
“Di sana sudah disediakan rumah subsidi. Rumahnya bagus, dekat sekolah dan cukup dekat juga dengan pusat keramaian.”
Sebenarnya kabar yang baru saja Ayana sampaikan, merupakan kabar bahagia dan amat sangat luar biasa. Ayana dan kerja kerasnya akhirnya diakui, hingga mencapai kenaikan jabatan sebagai apresiasi. Masalahnya, ini mengenai hubungan Ayana dan Dika. Apalagi, lusa saja harusnya mereka lamaran.
Berkaca-kaca ibu Lastri menatap putrinya. Batin ibu Lastri bersorak mengabarkan kepada mendiang suaminya. Berharap meski mereka tak lagi bisa sama-sama, jauh entah di mana, suaminya tetap bisa melihat kesuksesan putri mereka.
“Akhirnya yah, Ayah. Ayana beneran jadi orang kantoran. Naik jabatan, dikasih fasilitas rumah. Dengan kata lain, kami enggak perlu ngontrak lagi,” batin ibu Lastri masih duduk di hadapan Ayana dan Dika.
Kebersamaan mereka hanya dipisahkan oleh meja cukup panjang. Selain utu, berbeda dari ketika Alessya makan es krim, kini mereka tak duduk di sofa.Mereka sengaja duduk di karpet sekitar sofa.
“Tentunya Ayah juga jangan tutup mata. Bahwa putri kita, punya pasangan yang sangat penyayang. Lihatlah, sekadar cuci tangan saja, sampai Dika bantu. Dika sangat meratukan Ayana. Selain itu, Dika juga sayang banget ke Alessya. Sampai-sampai, orang mengira Alessya memang papanya.” Sampai detik ini, ibu Lastri masih berbicara dalam hati. Meski jauh di lubuk hatinya, dirinya juga jadi khawatir, putrinya tak mengantongi izin Dika.
“Sini, ... biar Alessya, Ibu pindah ke kamar,” ucap ibu Lastri. Tentu agar Ayana dan Dika, bisa mengobrol dengan leluasa.
Ibu Lastri menggendong Alessya, dan Ayana sampai membantunya.
“Dipikirkan baik-baik. Kalau Ibu sih terserah ke kalian. Karena masih kalian juga yang menjalani, ” ucap ibu Lastri sesaat sebelum pergi membawa Alessya.
Tatapan Dika dan Alessya yang awalnya melepas kepergian punggung ibu Lastri, pada akhirnya saling bertemu.
“Aku akan selalu mendukungmu. Aku enggak masalah kamu pindah ke Jakarta. Andai aku kangen, aku bisa langsung susul kamu hari itu juga. Pulang pergi pake motor kan cepet!” lembut Dika dan langsung membuat hati Ayana terenyuh.
Sejauh ini, sumur hidup Ayana, Dika merupakan pria paling romantis yang selalu mencintainya dengan sempurna. Dika sangat paham cara membuat Ayana bahagia bahkan damai.
“Makasih banget ya, Kak! Padahal aku sudah sempat khawatir!” lirih Ayana yang sudah langsung memeluk Dika erat.
“Alhamdullilah,” lirih ibu Lastri sengaja melongok dan memang menguping dari sebelah pintu kamar.
“Alhamdullilah banget ya Allah karena Dika sangat mendukung karier maupun cita-cita Ayana!” batin ibu Lastri benar-benar bersyukur.
Dika balas memeluk Ayana. “Jadi, besok merupakan hari terakhir kamu, kerja yang di Bandung?” ucapnya penuh kelembutan.
Dalam dekapan Dika, Ayana mengangguk-angguk. “Kurang lebih memang begitu. Jadi, pulang kerja aku langsung packing, besoknya baru siap-siap lamaran. Beres lamaran langsung ke Jakarta?”
“Besok aku sewa mobil buat antar kalian ke Jakarta. Papa mamaku pasti juga ikut seneng," balas Dika.
“Ih ... berarti aku harus ngabarin mereka juga, kan?” Ayana buru-buru mengakhiri dekapannya terhadap tubuh Dika.
Kedua mata Ayana langsung menatap. Dika penuh keseriusan. Tak sabar pada balasan yang akan Dika berikan.
Dika berangsur mengangguk. “Tentu. Kamu WA dulu. Habis dibalas, kamu langsung WA aku. Barulah setelah itu, kita ngomong bareng-bareng," ucap Dika.
“Kamu tahu sendiri, mamaku sayang banget ke kamu maupun Alessya. Jadi, kamu enggak usah khawatir apalagi takut.”
Apa yang baru saja Dika katakan, langsung menjadi angin segar untuk Ayana. Ucapan Dika sungguh membuat Ayana tersenyum riang sesaat sebelum keduanya kembali berpelukan.
*
Keesokan harinya, di koridor depan ruang kerja Ayana.
“Eh, Ay! Akhirnya kamu sampai juga!” ucap pak Santo, si pria botak bertubuh gempal.
Pak Santo yang sampai lari hanya untuk menghampiri Ayana, jadi ngos-ngosan.
“Santai ... Om, santai. Aku enggak mungkin lari, apalagi ngilang.” Ayana yang tengah memegang ponsel, juga mendapati pesan sekaligus telepon tak terjawab dari pak Santo.
“Tadi Om telepon, ya? Maaf banget, tadi aku masih di jalan. Ada apa sih, Om?” sergah Ayana yang memang sudah memiliki hubungan baik dengan pak Santo maupun karyawan satu divisinya.
Setelah mengatur napas dan sampai meminum bekal air minum Ayana, pak Santo berkata, ”Kamu dicari HRD. Kamu mau ditugasi buat menemani Pak Atlantis, selama beliau di Bandung. Apalagi kan pas di Jakarta, kalian akan satu kantor."
Yang mengusik Ayana dan sampai membuatnya merenung serius. Bukan perkara tugas Ayana dan itu menemani salah satu bos mereka yang dari Jakarta. Melainkan, nama si bos yang mengingatkan Ayana pada mantan suami dadakannya.
“Kok bisa kebetulan banget, ya. Namanya sama. Atlantis. Bedanya, mas Atlantis papanya Alessya sudah meninggal,” batin Ayana yang sudah langsung mengikuti arahan pak Santo.
“Langsung ke HRD. Sudah ditungguin soalnya!” sergah pak Santo sangat serius kepada Ayana yang tak jadi masuk ke ruang kerja mereka.
“Baik, Om. Ini aku langsung ke HRD. Om atur napas dulu,” ucap Ayana penuh pengertian. Ia melangkah santai meninggalkan pak Santo.
“Aku khawatir kamu gugup bahkan takut. Dan itu bikin kamu melakukan banyak kesalahan. Sementara Pak Atlantis terkenal kejam banget.”
Apa yang baru saja pak Santo kabarkan, sukses mematahkan langkah Ayana.
“Masa sih, Om?”
“Iya, Ay! Makanya aku khawatir banget. Kenapa juga malah kamu yang ditunjuk!” Pak Santo sungguh menyayangkan dipilihnya Ayana dalam menemani Atlantis, selagi salah satu bos besar mereka ada di Bandung.
“Bentar, Bos Atlantis tipikal yang enggak segan memecat tanpa sebab, kah?” tanya Ayana memastikan, sementara pria yang menjadi lawan bicaranya langsung sibuk mengangguk.
“Baru dengar saja, udah kesel banget. Apalagi kalau ketemu orangnya, dan dia juga langsung berulah! Awas saja kalau beneran kejadian!” batin Ayana yang kemudian pamit untuk menemui HRD, dan mendengar arahan lanjutan.
“Berarti, antara bangga karena aku karyawan terpilih. Namun dengan kata lain, aku juga ditumbalkan, ya?” batin Ayana yang baru saja keluar dari ruang HRD.
Tiga dokumen kini ada di tangan Ayana, diberikan langsung oleh pihak HRD. Awalnya ia mengira hanya akan menemukan agenda harian yang harus dijalaninya bersama Pak Atlantis. Namun ternyata, selain jadwal, ada satu bagian lain yang membuat jantungnya seketika mencelos—daftar kebiasaan dan larangan pribadi sang bos.
“Bos macam apa yang sampai harus dihafal hal-hal yang dia benci? Kelihatan banget kalau nih orang rese. Lebih rusuh dari Alessya, kayaknya!” gumam Ayana dalam hati, dan refleks tertawa kecut. Namun senyum itu seketika lenyap ketika matanya menangkap satu nama yang tertera jelas di halaman depan. Nama yang menjadi bagian dari biodata Atlantis sang bos.
Atlantis Samudra Wijayanto.
Dahi Ayana langsung berkerut. Nama itu terlalu familiar. Terlalu dekat. Terlalu lekat di memorinya.
“Hah? Atlantis Samudra Wijayanto?” Ayana mengulang perlahan, seakan memastikan ia tak salah baca. Tapi tidak. Tulisan itu jelas. Identik. Sama persis dengan nama pria yang pernah menikahinya secara mendadak. Suami dadakan yang sempat hadir, menghadirkan Alessya sebagai buah cinta mereka.
“Masa iya, dia?” Suara hati Ayana mulai bergetar.
Ayana mencoba menepis kemungkinan yang mulai menyusup ke pikirannya. “Enggak mungkin. Mas Atlantis itu sopir. Kadang jadi kuli bangunan juga. Mana mungkin dia jadi bos besar di Jakarta, bahkan terancam jadi bosku ...?”
Namun, logika Ayana goyah ketika ingatannya menepis keraguannya. Iya, Ayana ingat betul, bahwa saat menikah dulu, dirinya sempat melihat KTP Atlantis suaminya. Bukan nama samaran. Wajahnya pun asli. Bahkan usia mereka sesuai dengan yang tertulis di dokumen ini.
“Kalau pun mereka kembar ... rasanya enggak masuk akal. Kembar segitu miripnya, terus punya nama dan usia sama?” Ayana menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa gelisah yang mulai menghimpit dadanya.
Ada bagian dalam dirinya yang penasaran setengah mati. Namun, ada juga sisi yang dicekam rasa takut. Takut kemungkinan bahwa yang akan ia hadapi hari ini bukan sekadar bos baru—melainkan bayangan dari masa lalu yang masih membekas di hati. Masa lalu yang belum sepenuhnya selesai.
Masalahnya, bukankah Atlantis mantan suami dadakan Ayana, papa dari Alessya, sudah meninggal?