“Mama atu, te mana, ya, Om?” Alessya menengadah hanya untuk menatap wajah pria berusia dua puluh tujuh tahun di sebelahnya.
“Nah loh, kan. Keasyikan main sama nih bocil, aku jadi lupa. Ini anak siapa,” batin Atlantis sudah langsung dikejutkan oleh kasir alfa yang menyapa Alessya. “Barusan nih bocil nanyain mamanya ke mana? Soalnya bahasanya ajaib banget! Butuh tukang translet kalau gini caranya!” batin Atlantis diam-diam sudah merasa sayang kepada Alessya. Sungguh, rasa sayangnya kepada Alessya, melebihi rasa peduli biasa.
“Bentar, berarti si Alessya sudah biasa ke sini. Onty-Onty kasir saja sampai hapal sama bocah berambut brondol mata lebar mirip noni Belanda ini,” batin Atlantis sudah langsung melahap tuntas sisa eskrim stik di tangan kanannya. Sebab dirinya ditertawakan oleh kedua kasir wanita di hadapannya.
Memang bukan tawa yang lepas, tapi dari cara keduanya cekikikan sambil melirik-lirik Atlantis. Harga diri Atlantis seolah diinjak-injak. Gengsi Atlantis menjadi lebih besar dari gaban. Walau kita Alessya mengabsen kinder joy di rak sebelah, Atlantis juga jadi ikut kepo. Tak hanya mengawasi dengan saksama. Sebab Atlantis juga sampai jongkok menyelaraskan tinggi dengan Alessya yang belum ada sepinggangnya.
“Acha, mau?” tawar Atlantis.
Segera Alessya menggeleng. “Nda boyeh. Tata Mbah, bolos!” ucapnya. Namun, kedua matanya masih mengawasi setiap telur kejutan berwarna putih oren dengan sedikit sentuhan keemasan tersebut.
Mendengar itu, Atlantis langsung mesem. Di mata Atlantis, sebenarnya Alessya sangat ingin telur kejutan berisi mainan dan sebagiannya berisi cokelat tersebut. Hanya saja, Alessya sudah begitu patuh pada salah satu ras terkuat di muka bumi ini.
Entah mengapa, bocah perempuan bertubuh segar di sebelah Atlantis, sudah langsung menghanyutkan dunia seorang Atlantis. Padahal alasan Atlantis mampir ke alfa, murni untuk melakukan tarik tunai. Sebab Atlantis memang kehabisan uang tunai. Namun kini, mereka sudah menjelma menjadi bestie. Atlantis tak hanya mem
“Lessya, Mama udah pulang dari tadi, loh,” ucap kasir bernama Alin, tak lama setelah pembeli yang melakukan pembayaran, pergi.
“Oh ... mamanya sudah pulang dari tadi. Maksudnya, nih bocah ketinggalan, apa malah ditinggal?” pikir Atlantis.
“Alessya ... ya Allah Sayang. Semua orang nyariin kamu, Sayang. Kenapa kamu beneran ke sini?” Dika—calon tunangan Ayana, datang.
Terengah-engah Dika menghampiri kemudian merengkuh tubuh Alessya kemudian menggendongnya.
“Oh, ... itu siapanya?” Sebenarnya Atlantis sudah akan langsung bertanya, tapi Dika telanjur mengeluarkan hape kemudian melakukan video call.
Layar ponsel Dika, Atlantis dapati dihiasi wajah seorang wanita cantik. Wanita cantik itu tersedu-sedu, dan langsung menyapa Alessya. Alessya memanggil si wanita mama. Hingga dengan segera Atlantis percaya bahwa orang yang menggendong Alessya memang pihak keluarga Alessya.
“Sayang, kenapa Sayang ke situ, hmm? Semuanya khawatir,” ucap Ayana.
“Mama bilang, mau beliin atu syusyu syama dadan di Alpa ... ya syudah, ... aku te syini, tambil ambil uang di syana. Enggak kelual-kelual uangna!” jujur Alessya dan sudah langsung membuat semuanya tersenyum gemas.
“Maaf, Kak. Totalnya jadi ....'' Ucapan kasir di sebelahnya sukses mengalihkan perhatian Atlantis.
Atlantis yang awalnya sibuk mengawasi wajah Ayana di layar ponsel Dika, segera melakukan pembayaran. Ia membelikan tujuh belas telur kejutan. Karena tadi, Alessya sudah mendata siapa saja yang akan dikasih, dan totalnya ada tujuh belas.
“Harus lebih hati-hati kalau punya anak aktif!” ucap Atlantis sembari memberikan satu kantong belanjaannya, dan ia khususkan untuk Alessya.
Atlantis baru bersuara, sesaat setelah sambungan telepon dengan Ayana, usai.
Kini, Dika menatap Alessya.
“Atu nda ... nda minta. Atu, dibeliin.” Alessya mencoba menjelaskan.
Menyimak itu, Atlantis tersipu dan tetap memberikan satu kantong belanjaan milik Alessya.
“M—maaf ini—” Dika berusaha menyusul Atlantis. Tak mau menerima semua itu cuma-cuma.
“Tidak apa-apa. Itu punya Acha.” Atlantis bersikap sangat manis. Hingga sang sopir yang terjaga di depan pintu setir yang tertutup, menatapnya tak percaya.
“Belalti ini punatu?” girang Alessya yang langsung tersenyum puas menatap Atlantis. Giginya yang kecil-kecil dan agak renggang, tampak sempurna.
Senyum Alessya mendadak menjadi candu untuk Atlantis. Atlantis berakhir menahan tawa karenanya. Ia refleks menghentikan langkah hanya untuk tetap bisa berkomunikasi dengan bocah berkulit putih kemerahan itu. Iya, kulit Alessya sampai terlihat agak merah, saking putihnya.
“Nanti temannya dikasih, ya!” manis Atlantis.
“Enda ah ... ini punatu temua!” ucap Alessya yang masih kegirangan, tersenyum ceria sambil menggeleng.
Walau sempat syok, balasan Alessya barusan malah membuat Atlantis terpingkal-pingkal. “Bocah ya ... lebih rame dari Aksara ....” Atlantis merasa, dirinya sudah kenal Alessya sejak lama. Namun setelah melihat sosok Alessya yang begitu rame, Atlantis mendadak merasa tak berhak mengklaim bahwa dirinya seolah memiliki ikatan istimewa dengan bocah bernama Alessya itu.
“d**a Om!” heboh Alessya melepas Atlantis.
Alessya tak segan memberikan finger heart menggunakan kedua tangannya kepada Atlantis. Sementara Atlantis yang diberi, langsung pura-pura syok, sebelum akhirnya pingsan sambil memegangi d**a. Alessya langsung tertawa brutal karena ulah Atlantis dan ia panggil Si Om.
Sopir Atlantis jadi senyum-senyum sendiri menyaksikan bosnya yang biasanya sedingin kutub utara, bisa langsung hangat hanya karena bocah perempuan bernama Alessya.
“Kok mereka akrab banget, ya? Memangnya pria ini siapa?” batin Dika.
Masalahnya, selain Atlantis tak berniat memperkenalkan diri kepada Dika. Dika juga telat menanyakannya. Atlantis sudah diboyong menggunakan mobil Range Rover keluaran terbaru, warna hitam. Mobil yang Dika sadari merupakan mobil mahal. Selain itu, kode di plat mobil Atlantis juga bukan area Bandung.
“Plat mobil B. Dia orang Jakarta?” pikir Dika.
Di tengah kegelapan malam, Dika menggendong Alessya. Ia memasuki gang sambil mengajak Alessya mengobrol. Bocah itu menyebut sengaja ke alfa karena sebelum pergi kerja, sang mama berjanji akan membelikan s**u formula dan aneka keperluan lainnya. Hingga Alessya berinisiatif datang ke Alfa sendiri.
“Ya ampu Alessya. Berarti dia jalan dari kontrakan ke sini, beneran sendiri, yah, Kak? Ada satu kilo lebih loh. Dan ... dia hapal jalan ya Allah.” Ayana tetap uring-uringan, dan memang jadi lebih protektif kepada putrinya.
“S–sayang ... Sayang. Tenangkan diri kamu. Sini, biar aku yang bawa motor.” Bukan hanya membawa alih motor honda scoopy milik Ayana. Karena Dika juga tetap membiarkan Alessya duduk di depannya.
Ketika Alessya makin ceria saja. Tidak dengan Ayana yang masih berderai air mata. Ayana merasa sangat nelangsa, dan memang telanjur trauma. Ayana mendekap perut Dika, menyandarkan wajahnya di punggung kekasihnya itu. Ayana membiarkan air matanya membasahi punggung Dika.
Kedatangan Alessya langsung disambut heboh oleh para tetangga. Mereka semua termasuk ibu Lastri, langsung mengerumuni Alessya.
“Ah ini buat Tata!” Tanpa beban, Alessya membagikan setiap es krim spongebob berbungkus kuning, kepada anak-anak yang datang. Anak-anak yang juga merupakan teman mainnya.
“Kak, tumben borong gitu? Memangnya Alessya minta?” tanya Ayana yang masih berdiri di sebelah Dika. Mereka sudah menepikan motor di teras kontrakan Ayana.
Sebenarnya, Dika nyaris keceplosan tentang Atlantis, yang sekadar nama saja, tidak Dika ketahui. Namun karena kondisi Ayana saja masih kalut, Dika takut kejujurannya malah berisiko.
“Ya sudah lah, enggak kenal juga. Moga saja, kebaikannya dibalas sama Tuhan,” batin Dika yang memberikan senyum hangatnya kepada Ayana.
“Ya sudah, Yang. Mandi dulu biar seger. Kamu pasti juga capek, kan? Alessya biar aku yang urus.” Dika memperlakukan Ayana penuh kelembutan. Tangan kanannya juga mengelus-elus punggung Ayana.
“Bentar, Kak. Masih lemes. Trauma ....” Ayana merunduk dan berakhir jongkok tak jauh dari motornya. Sementara di hadapannya, sang anak masih asyik bercerita sambil memakan es krim maupun telur kejutannya.
“Ya sudah ... kalau kamu memang sudah siap, ... biar aku saja yang kerja. Kamu fokus urus Alessya.” Dika yang tetap bertutur penuh kelembutan, menatap Ayana penuh cinta. Selain itu, tangan kanan yang awalnya mengelus-elus punggung Ayana, juga berakhir mengelus-elus kepala Ayana.
Awalnya, Ayana memang tersenyum ceria menyikapi ucapan kekasihnya dan terdengar sangat tulus layaknya biasa. Namun tiba-tiba saja, Ayana teringat promosi sekaligus kenaikan jabatan yang dirinya dapatkan.
---
Alasan Ayana menerima Dika sebagai kekasihnya, bukan semata karena kesabaran lelaki itu selama mereka kenal. Atau karena paras tampannya yang menawan. Lebih dari itu, Ayana tersentuh oleh ketulusan Dika dalam memperhatikan Alessya dan juga Ibu Lastri. Kepedulian yang tidak dibuat-buat, hadir begitu alami, seolah Dika benar-benar ingin menjadi bagian dari hidup mereka.
Sebagai manajer di sebuah bank swasta ternama, Dika bisa saja memilih perempuan lain yang lebih ‘sempurna’. Namun Dika sungguh tidak melakukannya. Dika justru menetapkan hati pada Ayana—seorang janda yang telah kehilangan rahim. Namun bagi Dika, keberadaan Alessya putri tunggal Ayana sudah lebih dari cukup. Pria berusia tiga puluh dua tahun itu tak pernah menuntut lebih. Bahkan dengan tegas Dika pernah berkata, “Aku tak butuh anak lagi, Ayana. Aku hanya butuh kamu.”
Ketulusan itulah yang membuat Ayana luluh. Saat dunia memandangnya cacat, Dika justru memeluk semua lukanya, mencintai Ayana dengan sempurna.