15. Anak Siapa Ini?

1440 Kata
“Ibu siapanya nyonya Ayana?” tanya perawat yang baru saja keluar dari ruang operasi. “S–Saya, ... saya Ibunya.” Ibu Lastri yang masih terjaga di sana, masih belum baik-baik saja. Begitu juga dengan pak Anton dan ibu Marina. Keduanya yang masih setia menemani, masih sangat khawatir. Sebab Ayana yang menjalani persalinan sesar, tampaknya belum akan memberikan kabar baik. “Terus, suami nyonya Ayana, mana?” sergah sang perawat yang kemudian berkata, “Kami harus membahas ini dengan suami nyonya Ayan, Bu. Sebab pendarahan yang terus berlanjut, membuat rahim nyonya Ayana harus diangkat.” "Innalillahi wainnailaihi rajiun ....” Ibu Lastri, ibu Marina, berikut sang suami, refleks mengucapkannya lirih. “Angkat saja, Sus! Angkat! Lakukan yang terbaik daripada Ayana terus pendarahan. Tolong selamatkan nyawa anak saya, Sus!” ucap ibu Lastri berderai air mata, mengiba. Ibu Lastri sampai tidak bisa menjelaskan perasaannya saat ini. Sebisa mungkin dirinya menguatkan diri, tak membiarkan dirinya jatuh pingsan. Bahkan walau kedua kakinya seolah sudah tak sanggup menyentuh lantai. Ibu Lastri bertekad untuk tetap kuat. Andai ibu Marina tak mendekapnya erat dari samping kanan, tubuh ibu Lastri sudah sepenuhnya merosot. Satu hal yang ibu Lastri maupun kedua tetangganya syukuri. Dari dalam ruang operasi terdengar tangis bayi yang tak kunjung berhenti. Tangis bayi yang tentu saja cucu ibu Lastri, bayi yang telah Ayana lahirkan, dan membuat Ayana bertaruh nyawa. * “Masya Allah ... anak Neng Ayana, cantik banget!” komentar ibu Marina ketika akhirnya, bayi yang Ayana lahirkan, dibawa keluar. Apa yang sang istri katakan, pak Anton benarkan. Sebagai satu-satunya lelaki di sana, Pak Anton diminta untuk mengadzani putri Ayana. Sambil kembali berderai air mata, ibu Lastri memohon kepadanya. Agar sang cucu segera mendengar lantunan adzan. “Mentang-mentang anaknya Den Atlantis. Benar-benar mirip tanpa ada yang dibuang. Andai kamu juga laki-laki, tentu kamu ibarat papa kamu versi bayi, Nak!” batin ibu Lastri. Tak pernah terbayangkan oleh ibu Lastri, bahwa dirinya akan mengalami cobaan yang begitu dahsyat layaknya kini. “Yang penting semuanya sehat. Yang penting semuanya baik-baik saja," batin ibu Lastri ikhlas pada pengangkatan rahim yang sedang Ayana jalani di ruang operasi. “Bayi neng Ayana sehat. Enggak sampai harus masuk ke tabung inkubator, ” ucap ibu Marina yang dengan sukarela membantu menjaga bayi Ayana. Seiring bergulirnya waktu, bayi perempuan yang Ayana beri nama Alessya, pada akhirnya mampu menjadi pelipur lara mereka. Sedikit demi sedikit luka mulai terhapus oleh tawa maupun tangis Alessya. Cuti satu bulan yang Ayana jalani, berakhir hingga Ayana harus meninggalkan sang putri. Ayana harus kembali bekerja, sementara ibu Lastri bertugas menjaga Alessya. Di Bandung, mereka sungguh tidak sendiri. Para tetangga benar-benar mirip keluarga. Rumah mereka selalu ramai, termasuk ketika malam. Bahkan ketika Alessya sedang tidak enak badan, ada saja yang ikut ronda untuk ikut mengurus. * “Alessya anak Mama. Bisa-bisanya semua wajahmu mirip papa kamu. Terus Mama, dapat apa?” “Tapi orang-orang bilang, bibir sama mata kamu mulai mirip Mama.” Seperti biasa, sebelum dirinya tidur dan sudah selesai dengan kesibukannya, Ayana akan mengawasi sang putri. Tanpa terasa, putrinya sudah mulai pintar melarikan diri. Alessya yang di usia sembilan bulan sudah lancar berjalan, kini sudah berusia dua tahun. “Punya anak begini, berasa punya mainan sekaligus semangat baru. Sekarang, setelah seharian berpisah dan capek di kerjaan, ada alasan buat Mama terus semangat.” “Walau kalau pas berangkat, harus penuh drama karena Alessya enggak mau ditinggal,” lirih Ayana tersenyum ceria, kemudian mengecup kedua pipi putrinya lagi. * “S—Saya dapat rekomendasi jabatan, dan akan dikirim ke Jakarta?” Ayana terbengong-bengong menatap sang atasan yang duduk di hadapannya. Empat tahun mengabdi, dan Ayana juga selalu memberikan kinerja baiknya. Akhirnya hasil dari semua itu tak mengkhianati perjuangan Ayana. Masalahnya, setelah empat tahun berlalu pula, Bandung dan segala kenangannya, membuat Ayana merasa jiwanya telah sepenuhnya ada di sana. Bandung dan semua kenangannya, sudah Ayana anggap sebagai rumahnya. “Bahkan malam Minggu besok, aku mau lamaran sama kak Dika ...,” batin Ayana gundah gulana. Harusnya Ayana memang bahagia. Promosi jabatan di Jakarta, dan sudah sampai disiapkan tempat tinggal berupa rumah subsidi tak jauh dari kantor baru Ayana. Bukankah itu sudah sangat luar biasa. “Masalahnya, tetangga rasa keluarga, enggak bisa dibeli. Bismillah deh, ini juga demi kemajuanku dan juga keluarga kecilku. Moga saja kak Dika dukung. Ayah lihat, kan? Akhirnya setiap cita-citaku mulai terwujud!” Ayana pulang menggunakan motornya. Sebelum sampai rumah, Ayana sengaja mampir ke alfa dekat kontrakannya. Ia membeli beberapa keperluan. Termasuk s**u formula dan jajan untuk Alessya. Layaknya bocah pada kebanyakan, Alessya juga mengalami masa di mana bocah itu bosan makan nasi. Makanan sehat untuk bayi yang kini sudah sangat banyak variannya, menjadi pilihan Ayana sebagai solusinya. Baru akan masuk gang kontrakannya berada, Ayana sudah dihebohkan oleh para tetangganya yang sibuk mencari-cari. “Ayana ... Alessya hilang!” ucap ibu Marina tak lama setelah Ayana menghentikan laju motornya. “G—Gimana ceritanya, Bude?” Kacau. Nyawa Ayana seolah dicabut paksa detik itu juga. Buru-buru ia melepaskan helm berikut mematikan mesin motornya. “Tadi, main sama anak-anak ke taman depan. Kata mereka sudah diantar sampai gang dari satu jam lalu. Tapi enggak ada yang lihat, dan semuanya lagi cari. Dika juga sudah lagi cari!” “Ya ampun Alessya ... kamu ke mana, Nak?” Air mata Ayana langsung berjatuhan. Bergegas ia pergi juga menyusul ibu Marina dan yang lainnya mencari Alessya. Sudah malam, dan suasana sungguh sudah gelap. Ke mana bocah tiga tahun dan memang sedang aktif-aktifnya itu pergi. “Kak, ... gimana, Alessya sudah ketemu?” sergah Ayana langsung menelepon calon tunangannya. Ternyata sudah banyak yang berusaha menghubungi Ayana. Setiap pesan WA yang masuk dan itu dari tetangga termasuk dari Dika, mengabarkan hilangnya Alessya. “Belum, Sayang. Yang sabar ya. Ini aku masih cari keluar dari kompleks kamu. Aku ada di sebelah alfa biasa kita beli jajan sama Alessya. Takutnya Alessya inisiatif masuk ke sini buat beli jajan kesukaannya,” ucap Dika dari seberang. “B–barusan, aku juga dari sana, Kak!” sergah Ayana sambil terus melangkah. Kedua mata Ayana terus mengawasi sekitar. “Oh iya ...? Tapi enggak ada salahnya aku cek lagi. Lagian si Alessya kan sudah pinter belanja,” balas Dika. Di alfa yang mereka maksud dan sebelumnya baru Ayana tinggalkan, yang dicari-cari sungguh ada di sana. Alessya tengah membuat seorang pria berdasi, terdiam kesal karena bosan. “Dek, ... Om mau ambil uang. Gantian, ya.” “Runggu mama, Om! Mama duga mau ambil uang!” ucap Alessya sewot. “Cuma bentar Dek. Lagian Mama Adek kan enggak ada. Coba, mana mama Adek? Ini ATM bukan punya nenek moyang Adek loh!” ucap si pria dan tidaklah lain Atlantis. Ketika Alessya balik badan, hingga bocah itu sepenuhnya menghadap sekaligus menatap Atlantis. Jantung Atlantis seolah nyaris copot. Bukan karena Alessya memasang wajah galak sementara kedua tangannya berkecak pinggang. Mirip bos besar yang berhak marah sesuka hati, dan sudah menjadi bagian dari tradisi Atlantis. Melainkan .... “Kenapa wajah nih bocah mirip banget sama wajahku?” batin Atlantis. “Kok Om telnata danteng, syih?” ucap Alessya sambil mengawasi wajah Atlantis. “Ealah ... nih bocah sudah tahu orang ganteng!” batin Atlantis tetap saja penasaran kepada Alessya. Pujian dari Alessya barusan, sama sekali tidak membuat Atlantis besar kepala. Padahal biasanya, dipuji dikit akan membuat Atlantis lupa daratan. Di tempat berbeda, Ayana masih mencari-cari putrinya. “Alessya ....” Terdengar tangis anak-anak, yang begitu kompak dari kanan Ayana. Mereka anak-anak tetangga, dan sebelumnya mengawasi sekaligus mengantar Alessya. Para orang tua memarahi mereka yang sudah lalai dan membuat Alessya hilang. Sebenarnya, Ayana juga tidak tega, jika semuanya jadi kena marah bahkan dihukum. Namun, itu menjadi pelajaran berharga agar lebih bertanggung jawab demi kebaikan bersama. Bukan memaklumi hanya karena usia mereka masih kecil, dan paling tua baru berusia tujuh tahun. Melalui kejadian ini, mereka bisa belajar untuk lebih bertanggung jawab lagi. Di restoran, Alessya yang sedang membuat orang geger justru tengah lahap memakan eskrim. Atlantis mentraktir Alessya. Dan Alessya mau-mau saja, dengan syarat, Atlantis tak menculiknya. “Masih bocah, tapi pinter banget. Minta ditraktir es krim, dan satu kecamatan diabsen mau dikasih semua. Jadi penasaran, siapa orang tuanya. Sumprit, beneran penasaran. Bukan mau minta ganti rugi karena aku harus membayar semua pesanan es krimnya,” batin Atlantis. Gara-gara mengikuti Alessya yang membuat isi lemari es krim ya dikeluarkan semua, Atlantis jadi ikut asyik memakan es krim yang bentuknya mirip spongebob. “Es krim yang Aleca makan, rasa apa?” tanya Atlantis amat sangat manis. Tak mau kalah manis dari Alessya yang baginya sangat cantik. “Pisyang tama tokat putih, Om. Ada tutu-tutuna. Mantap!” ucap Alessya sambil mengacungkan jempol kanannya kepada Atlantis yang detik itu juga langsung tertawa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN