14. Penyakit Aneh

1336 Kata
“Masih muntah-muntah juga?” Ibu Dini amat sangat heran. Ia bergegas memasuki kamar mandi Atlantis, menghampiri Atlantis yang tengah muntah-muntah di wastafel. “Sudah cek darah, sudah cek kesehatan menyeluruh. Kamu sampe CT Scan ... hah!” Ibu Dini menangis putus asa mengurus putranya. Setelah memijat tengkuk Atlantis, ibu Dini berinisiatif menelepon ART-nya untuk mengambil minyak kayu putih. Ia tak tega meninggalkan Atlantis lama-lama lantaran tubuh Atlantis sampai gemetaran karena muntahnya. Ditambah lagi, Atlantis belum sepenuhnya bisa berjalan. Meski fakta bahwa Atlantis sudah bisa berdiri, bahkan melangkah beberapa langkah, tak ubahnya mukjizat bagi mereka. Penuh kasih, ibu Dini mendekap putranya. Ia memperlakukan Atlantis layaknya bocah yang memang masih harus sangat diurus. “Lemas banget, Ma. Kepalaku juga pusing banget. Mualnya enggak karuan.” Bersuara saja, Atlantis tak berdaya. Suaranya nyaris tak terdengar. Ibu Dini kewalahan mendekap putranya. Tubuh Atlantis merosot karena pingsan. “Mbak tolong, Mbak! Mbak tolong!” serunya meminta pertolongan kepada siapa saja yang mendengarnya di luar sana. Hati ibu mana yang tak hancur, melihat putranya terus diuji dengan sakit. “Semoga bukan kanker. Muntah, pusing, kedua kebiasaan Atlantis ini mirip pengidap kanker ya Allah. Jangan sampai anakku juga kena.” Berurai air mata, Ibu Dini mendekap Atlantis, hingga akhirnya dua ART datang, membantunya memindahkan Atlantis ke tempat tidur. Anehnya, ketika Atlantis menjalani kesehatan, bahkan sampai di luar negeri. Semua hasil menyebut bahwa Atlantis baik-baik saja. Semuanya terpantau normal, hingga pemikiran bahwa Atlantis terkena ilmu hitam, akhirnya mencuat. “Pasti memang ilmu hitam kalau sudah begini keadaannya,” ucap Langit, kakak sekaligus kembaran Atlantis dan Atlantis panggil Mas Tata. Ibu Dini, dan pak Levian sang suami, jadi ketar ketir. Sambil menimang Aksara—putra Langit, keduanya jadi mempertanyakan sikap Atlantis ketika memutus hubungan dengan Riana. “Nah, bener kata Mama Papa tuh. Kamu kan kalau ngomong enggak pernah lewat jalan, Dek!” ucap Langit, si paling serius. Ia duduk gelisah di sofa tunggal menghadap Atlantis. “Rempong amat, mau ngomong harus lewat jalan. Mau ngomong fan kebetulan lagi berak, sempat-sempatnya lewat jalan!” ucap Atlantis si paling tidak bisa serius. Langit sudah langsung menghela napas pelan sekaligus dalam karena balasan putranya. “Maksudnya, Dek!” ucap Langit merasa putus asa pada sakitnya sang adik. Sudah tujuh bulan berlalu dari siuman, masih ada saja keluhan dan kali ini malah tak masuk akal. Lemas, mual, muntah, pusing, terus Atlantis rasakan dan kadang sampai pingsan. Apalagi jika sampai harus berpergian jau menggunakan mobil, Atlantis mirip orang mabok kendaraan, muntah-muntah tak karuan. Yang mana jika itu sedang terjadi, Atlantis lebih memilih naik motor atau berjalan kaki. “Masa iya, ya, si Riana guna-guna bahkan nyantet aku!” batin Atlantis yang diam-diam jadi kepikiran. Selain jadi kerap sakit dan bagi mereka aneh karena tak terlihat di medis. Kecelakaan yang dialami, dan sampai membuat Atlantis mengalami banyak keluhan, juga menjadi awal mula Atlantis murung. Atlantis yang awalnya periang, sangat ceria, menjadi pribadi pendiam. Sering kali, Atlantis juga lebih memilih menyendiri di kamar. Di tengah kegelisahan yang kian mencekam, ibu Dini menatap suaminya. Melalui tatapannya, ia menuntut sang suami untuk segera mengambil keputusan. Keputusan yang bisa membuat Atlantis mereka segera sembuh, tak sakit-sakitan lagi. “Apa karena namamu terlalu berat ya, Dek. Atlantis Samudra ... apa diganti saja ya. Soalnya karyawan kantor, kompak nyaranin. Ganti Slamet, apa Soleh—” Mendengar usul sang papa, Atlantis langsung panik. Lain halnya dengan ibu Dini apalagi Langit yang jadi sibuk menahan tawa mereka. “Apa-apaan sih si Papa. Sekate-kate banget mau ubah namaku jadi Slamet!” “Biar selamat dan kamu enggak sakit-sakitan, Dek!” Pak Levian berusaha memberi pengertian. “Nggak ... enggak. Pokoknya aku enggak mau kalau namaku sampai diubah jadi Slamet!” heboh Atlantis berakhir merengek lantaran kembarannya, ngakak brutal dan itu menertawakannya. “Mas Tata!” rengek Atlantis. “Ya sudah, kalau gitu, dalam waktu dekat kita umroh ya. Kita sama-sama minta pertolongan ke Allah!” ucap ibu Dini. Ia yang awalnya duduk di sebelah sang suami, sengaja menghampiri kemudian duduk di sebelah Atlantis. Layaknya semenjak Atlantis kecelakaan, ia memperlakukan putranya itu layaknya bayi. Ketika akhirnya Atlantis kembali sendiri, di kamar berteman dengan sepi, lagi-lagi pikirannya melayang-layang. “Sebenarnya ada apa? Aku bahkan tidak bisa mengendalikan diriku.” “Adakah yang telah aku lewati? Hal yang hanya aku ketahui, dan tak ada satu orang pun yang tahu, bahkan itu keluargaku?” “Namun, aku seperti merindukan seseorang.” “Bukan, ... seharusnya bukan Riana.” “Apa ... apa iya, sebenarnya aku masih berharap ke Riana?” Belum sempat selesai dengan renungannya, Atlantis yang awalnya duduk di pinggir tempat tidur, langsung tertatih-tatih ke kamar mandi. “Kumat lagi!” “Mual, muntah, pusing, lemas, pingsan!” keluh Atlantis. Sementara itu, di tempat berbeda, Ayana juga ada di kamar mandi. Ayana yang baru beres mandi, mendapati aliran darah dari pangkal pahanya. Di kamar mandi sederhana dan lampunya juga terbilang temaram, Ayana memanggil-manggil ketakutan sang ibu. “Bu, ... darah, Bu!” “Memangnya dari tadi kamu enggak merasa aneh apa gimana, hah?” Ibu Lastri tak kalah panik. Buru-buru ia lari keluar, meminta bantuan tetangga kontrakan mereka tinggal. “Bilang ke si Anton buat bawa mobil ke sini. Si Ayana pendarahan.” Beruntung, Ayana dan ibu Lastri memiliki tetangga rasa keluarga. Setelah terusir dari desa bahkan rumah sendiri, di Bandung, mereka diberi tetangga yang sangat baik. Ayana langsung diboyong oleh tiga ibu-ibu. Sisanya, ada yang membantu ibu Lastri berkemas. Ada juga yang membersihkan darah Ayana baik di kamar mandi maupun jejak Ayana, dan bagi mereka pamali, wajib dibersihkan. “Bu, aku takut banget Bu!” Karena belum berpengalaman, Ayana dengan kondisi yang sampai pendarahan layaknya sekarang, tidak bisa untuk tidak takut. Ibu Lastri yang terjaga di samping Ayana juga tak kalah takut. Ia menguatkan melalui dekapan sekaligus genggaman kuat. Sementara di sebelah Ayana, ibu Marina—istri pak Anton selaku pemilik mobil, terus menguatkan mereka. “Minum air putihnya, Ayana. Kamu jangan sampai setres karena bakalan berpengaruh banget ke kamu dan janin kamu,” ucap ibu Marina yang sudah menyiapkan sebotol air mineral dan sudah ada sedotannya. Ayana cukup minum saja. “HPL masih sebulan lagi. Sementara dua hari lalu, pas USG, kata dokter, janinku masih kecil. Bobotnya masih kurang.” Terisak-isak Ayana mengatakannya kepada ibu Marina yang sudah langsung memberinya dukungan mental. “Sepuluh menit lagi kita sampai!” ucap pak Anton yang menyetir mobil. Di tengah hiruk pikuk malam kota Bandung, akhirnya mereka sampai rumah sakit ibu dan anak. “Kamu kecapaian, Ay. Kerja non stop dan sering lembur kan," ucap ibu Marina. “Iya, Bu. Soalnya niatnya, satu minggu lagi bakalan cuti hamil kan," balas Ayana yang sudah langsung pasrah ketika dokter menyarankan untuk melakukan operasi sesar secepatnya. “Sesar, normal, sama saja. Yang penting kamu dan bayinya selamat, Ay! Semangat ya! Semangat, jangan mikir macam-macam!” Sebagai orang tua tunggal sekaligus satu-satunya yang Ayana andalkan, ibu Lastri terus memberikan dukungan. Terlebih sejak ibu Lastri memutuskan untuk menutup hubungan Ayana dan Atlantis. Sebagai gantinya, ibu Lastri jadi menjadi orang tua siaga, sekaligus sosok yang bisa Ayana andalkan. “Aku lihat ayah, Bu!” racau Ayana di tengah kedua matanya yang berlinang. “Sttt, Ayana ... dengarin Ibu. Istighfar, Nak!” berat ibu Lastri tercekat. Air mata ibu Lastri makin deras lantaran kedua mata Ayana nyaris tak berkedip menatap ke sudut ruang IGD mereka berada. Ibu Lastri menepuk-nepuk kedua pipi Ayana. Tepukan yang makin lama makin bertenaga seiring detak jantungnya yang juga berdetak sangat kencang. “Suster ... suster, tolong Sus! Sus tolong anak saya, Sus!” Ibu Lastri histeris. Hingga perawat yang ada di ruang sebelah, segera berbondong-bondong masuk ke ruang Ayana berbaring, dan hanya dikelilingi tirai. Ibu Lastri dipaksa keluar lantaran dua perawat dan seorang dokter yang masuk, segera melakukan penanganan kepada Ayana. “Detak jantungnya lemah banget, Dok!” “Tekanan darahnya pun makin turun, Dok!” Hati ibu Lastri seketika hancur mendengar ucapan tersebut. “Ya Allah ... kenapa lagi ini. Ayana ....” Tubuh ibu Lastri merosot ke lantai. Ibu Marina dan pak Anton yang kebetulan melongok dari pintu, segera menghampiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN