13. Membunuh Tanpa Menyentuh

1319 Kata
“Alhamdullilah, Bu Lastri. Atlantis sudah siuman. Insya Allah semuanya juga akan membaik, dan Atlantis juga bisa kembali beraktivitas. Meski Atlantis juga mengalami amnesia—” “Sebelum dan sesudahnya, saya mewakili keluarga saya, benar-benar minta maaf. Kami tetap berduka untuk kepergian Pak Supri, yang sudah mengabdi kepada kami.” “D—Den, ... Den Atlantis, ... Den Atlantis amnesia, Bu?” “Iya, Bu Lastri. Enggak tahu ini, belum ada pemeriksaan lebih lanjut. Namun Atlantis kehilangan memori lima tahun terakhirnya.” Obrolan antara dirinya dan ibu Dini selaku mama dari Atlantis kembali terngiang di ingatan ibu Lastri. Alasan yang membuat ibu Lastri memutuskan untuk mengabarkan kabar bohong. Mengenai Atlantis yang ia kabarkan kepada Ayana, sudah meninggal. Agar, Ayana tak lagi menggantungkan harapan kepada Atlantis. Dirasa ibu Lastri, amnesia yang Atlantis alami, mustahil membuat Ayana berharap, bahkan sekadar kesempatan. “Pilihan ada di tangan kamu, Ay. Jadi orang tua tunggal, atau gugurkan saja karena masa depan kamu masih panjang. Lagi pula, mustahil kita bisa berkomunikasi lebih lanjut dengan den Atlantis sekeluarga. Mulai sekarang pun, Ibu akan memilih untuk memutus hubungan bahkan komunikasi dengan mereka. Rasanya terlalu sakit karena berhubungan dengan mereka, hanya membuat Ibu ingat ayahmu,” batin ibu Lastri melepas kepergian Ayana yang mengusir Aishar hingga keluar dari rumah mereka. Ayana benar-benar berduka. Bukan perkara pada kenyataannya yang telah sepenuhnya menjadi janda dan terancam menjadi orang tua tunggal, andai dirinya tetap mempertahankan kehamilannya. Melainkan, ia teramat sedih karena anaknya sama sekali tidak akan pernah merasakan figur apalagi kasih sayang seorang ayah. * Kabar bahwa Atlantis sudah mninggal, seketika menyeruak ke seluruh penjuru desa. Membuat para pria dewasa, tanpa terkecuali mereka yang sudah menikah, berbondong-bondong melamar Ayana. “Ngeselin banget sih! Mereka bahkan enggak segan antre gitu mirip mau antre pembagian sembako!” kesal Ayana dalam hatinya. Ia mengintip dari sela jendela kamar yang agak ia buka. Pemandangan para pria antre untuk melamar atau sekadar apel Ayana, akan membludak di waktu selepas maghrib hingga tengah malam. Terlebih semua orang mengakui, bahwa semenjak dikabarkan hamil dan Atlantis justru meninggal, kecantikan Ayana makin menjadi-jadi. Kondisi membludaknya pria yang berusaha melamar Ayana terus berlanjut. Bahkan lama-lama Aishar juga tak segan melakukan hal-hal nekat. Termasuk paksaan masuk ke kamar Ayana kemudian berusaha menidurinya. Hanya agar Ayana mau menerima Aishar. “Aku benar-benar minta maaf, Bu. Mau enggak mau, meski ini belum seratus hari dari kematian ayah. Kita harus pergi, Bu.” Ayana berbisik-bisik mengatakannya kepada sang ibu. “Ibu harus ikut aku. Karena Ibu satu-satunya yang aku punya. Ayo kita ke Bandung lagi.” “Lama-lama di sini, aku jadi ngeri. Apalagi si Aishar makin nekat saja. Di depan Ibu saja, dia nekat berusaha begitu ke aku.” “Aku takut banget Bu! Karena andai aku melawan, sia-sia.” “Apalagi sekarang, enggak ada mas Atlantis yang bela dan memperjuangkan harga diriku.” Berderai air mata Ayana mengatakannya. Membahas jasa-jasa Atlantis dalam memperjuangkan harga dirinya, membuat hati Ayana terenyuh. Ayana mendadak merasa sangat rapuh. Dan akhirnya, permintaan Ayana langsung ibu Lastri sanggupi. Malam ini juga, keduanya berkemas membawa apa yang sekiranya mereka butuhkan. Dua tas jinjing, dan dua kardus lumayan besar, mereka jinjing secara mengendap-endap meninggalkan desa. Air mata mereka menetes karena sekadar pamit ke makam pak Supri saja, mereka tak melakukannya. Takut andai mereka melakukannya, para pria yang berhasrat menikahi Ayana, khususnya Aishar, justru membuat mereka tak bisa kabur dari desa. Melalui tatapan, Ayana dan sang ibu saling menguatkan. Hingga pada akhirnya mereka sampai di jalan aspal di mana travel yang Ayana pesan, sudah menunggu di sana. “Alhamdullilah. Ini akan menjadi langkah awal sekaligus lembaran baru untuk kami. Ayah, maaf kami pergi tanpa terlebih dulu mengunjungi. Namun aku janji, sekuat tenaga aku akan merawat sekaligus membahagiakan Ibu. Selain itu, aku juga akan jadi orang tua yang baik untuk anakku. Aku akan jadi orang sukses, melanjutkan tekadku mengangkat derajat keluarga,” batin Ayana yang membiarkan barang-barangnya disusun di bagasi oleh sang sopir travel. Sementara dirinya menuntun ibu Lastri untuk masuk ke mobil lebih dulu. Selanjutnya, menggunakan jarit yang sebelumnya sudah Ayana siapkan di tote bag miliknya dan ia taruh persis di sebelah kakinya. Ayana turut menyelimuti sang ibu. Ayana memeluk ibu Lastri yang kembali terisak pilu seiring lampu mobil travel dimatikan, sementara mobil juga jalan. Musik dangdut yang dinyalakan dengan suara keras hingga menghasilkan suara jedag-jedug, menjadi alasan Ayana maupun sang ibu melepaskan tangis. Mereka berpelukan sambil menangis. Maksudnya saling menguatkan, tetapi yang ada kali ini mereka memang tak sekuat itu. * Keesokan harinya. “Kecelakaan yang Mas alami membuat Mas kesulitan memiliki keturunan. Sementara Mas tahu, aku anak tunggal.” Riana berderai air mata duduk di sebelah Atlantis yang baru beres menjalani terapi jalan. Kecelakaan yang Atlantis alami, memang tak sampai membuat fisik Atlantis berdarah-darah. Bahkan sekadar luka goresan pun, nyaris tidak ada. Namun, kecelakaan yang membuat Atlantis kehilangan ingatan lima tahun terakhir. Menimbulkan dampak luar biasa. Sungguh bukan hanya amnesia yang Atlantis alami. Karena selain Atlantis dikatakan akan sulit memiliki keturunan, kedua kaki, dan juga tangan kiri Atlantis juga lumpuh. Sementara sekarang, Riana yang sudah Atlantis kenal sejak SMP, dan dikata keluarganya merupakan calon istrinya, justru mengabarkan perpisahan. “Di belakangmu ada pintu. Pergilah. Mulai sekarang juga, aku membebaskan kamu. Rencana pernikahan kita juga aku pastikan akan dihentikan. Segala urusan di dalamnya, nanti biar orang tuaku yang urus.” Atlantis menyikapi Riana dengan dingin. “M—Mas, ... aku benar-benar minta maaf. Aku harap kamu mengerti. Apalagi semenjak bersamamu, ... aku merasa, bahwa aku makin jauh dari Allah.” “Jangan bawa-bawa Allah ke hubungan kita, kalau yang jadi panutan kamu saja, dajal. Enggak usah banyak drama lah. Malu ke penampilanmu.” “M—Mas ....” “Justru aku bersyukur karena kamu bilang gini dulu. Karena dari kemarin, baru lihat kamu dan tahu ternyata kamu calon istriku,aku langsung enggak sreg. Masa iya, seleraku rendah banget. Memangnya enggak ada yang bagusan dikit, ... masa iya, aku dapat kamu.” “M–Mas ... maksud M–Mas, apa?” “Aduh gimana ya? Aku enggak tega bilangnya.” “.....” “Bahasa ramahnya, KAMU TERLALU BIASA BUAT SEORANG ATLANTIS SAMUDRA WIJAYANTO yang punya SEGALANYA!” tegas Atlantis yang dengan entengnya mencoba menegakkan punggung agar duduknya di brankas, jadi agak lebih nyaman. Setelah sibuk menangis dan tampak sungkan kepada Atlantis, tanpa basa basi, Riana melepas cincin emas di jari manis tangan kirinya. “Jangan bilang kalau kamu mau balikin tuh cincin. Itu cincin tunangan kita, ya?” “ ....?” “Eh ... udah buang saja jauh-jauh dari aku. Itu bekas dipake kamu. Haram bagiku masih berurusan dengan wanita terlalu biasa, yang juga berpikiran rendah seperti kamu. Jauh-jauh. Sori, aku mahal. Oh iya sekalian ... tunggu dan cukup lihat ketika aku kembali bisa jalan dan tangan kiriku juga bisa normal lagi!” “Semua yang kamu sebutkan memang mungkin bisa diobati, Mas. Namun mengenai keturunan, masihkah kamu bisa mengobatinya? Masihkah seorang pria mandul sepertimu, bisa memiliki keturunan?'' Alih-alih puas karena sudah berhasil membalas, Riana makin kesal saja lantaran Atlantis yang ia hina, malah membalasnya dengan senyum menyepelekan. Mengangguk-angguk, Atlantis berkata, “Si picik yang merasa paling sempurna! Pergilah, ... waktuku terlalu berharga bila harus aku buang dengan wanita rendahan berlindung di balik hijab sepertimu. Iya, ... iya, ... kamu wanita suci. Sudah sana pergi. Pastikan, aku tidak pernah melihatmu lagi.” “Siapa juga yang sudi berurusan dengan pria arogan sepertimu, Mas!” Riana sudah sempat pergi membawa kekesalannya. Namun, nyatanya Atlantis juga mengancam usaha keluarganya. “Pastikan kalian sudah nyetok sembako. Karena ketika aku dibuat sakit hati, ... aku bisa lebih keji dari ilmu hitam. Membu nuh tanpa harus menyentuh. Aku suka itu!” tegas Atlantis. Jujur, ancaman Atlantis yang kali ini memang membuat nyali Riana menciut. Namun, Riana yang sadar bahwa dirinya telanjur kalah, sengaja memasang wajah tidak takut. “Andai kamu tidak menghinaku, pasti aku akan menganggap kepergianmu layaknya angin lalu,” batin Atlantis segera memalingkan wajah dan tak sudi melepas kepergian Riana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN